KedaiPena.com – Jika memproyeksikan seorang pemimpin berdasarkan pernyataan Jenderal Charles De Gaulle, seorang pemimpin besar Perancis pada Perang Dunia II, belum ada dari tiga capres yang memenuhi kriteria.
Pengamat Geopolitik, Hendrajit menyatakan seharusnya saat ini adalah momentum bagi munculnya kepemimpinan baru dari berbagai lapisan masyarakat, di luar sistem yang dipengaruhi oleh oligarki.
“Saya jadi teringat pemikiran dari Jenderal Charles De Gaulle, pemimpin besar Perancis pada Perang Dunia II, yang menyebutkan tentang keutamaan seorang pemimpin,” kata Hendrajit, Rabu (20/12/2023).
Dalam buku De Gaulle, yang berjudul Mata Sebuah Pedang, ada tiga kualitas penting yang perlu diperlukan oleh seorang pemimpin, yaitu menggariskan jalan yang tepat, yang artinya, seorang pemimpin mengetahui jalan mana atau rute mana yang harus ditempuh; memerlukan kecerdasan dan naluri; dan ketiga, untuk menggerakkan jalan tadi, seorang pemimpin memerlukan kekuasaan.
“Yang mengagetkan saya, meski hal itu membuat saya senang, De Gaulle dengan sadar mengabaikan pentingnya komponen kemampuan intelektual. Penekanan De Gaulle pada pentingnya kecerdasan dan naluri alih alih kemampuan intelek, berarti bagi De Gaulle, intuisi lah yang memandu intelek seorang pemimpin,” tuturnya.
Hendrajit pun mengajak untuk menyimak pandangan De Gaulle, yang berbunyi intelektualisme melengkapi kita dengan pengetahuan teoritis dan abstrak dari sesuatu, tetapi hanya naluri yang memungkinkan seorang pemimpin unruk menangani intisari sesuatu masalah.
“Saya pikir benar juga De Gaulle dan ia sendiri sudah membuktikannya sendiri dalam sejarah. De Gaulle dua kali muncul di pentas Perancis saat bangsanya sangat membutuhkan arah kepeminpunan. Saat De Gaulle tampil sebagai peminpin perlawanan Perancis terhadap fasisme Jerman Hitler pada Perang Dunia II. Dan pada 1958 ketika Perancis mengalami krisis politik akibat sistem parlementer multi-partai yang menyebabkan jalan buntu,” tuturnya lagi.
Ia menyatakan kemampuan intuitif atau naluri seorang pemimpin yang dipadukan dengan kemampuan intelektual dengan keseimbangan yang tepat, akan menghasilkan keputusan yang berpandangan jauh ke depan.
“Mengetahui jalan yang harus ditempuh terletak dalam hati kepemimpinan yang besar,” begitu tutur De Gaulle. Sebabnya? Karena lewat naluri dan intuisi yang kuat lah, yang dapat memberikan rasa yang praktis, khusus dan nyata dari sesuatu masalah atau krisis yang sedang dihadapi seorang pemimpin. Dan jika kita menelisik success story para pemimpin dunia yang mampu membuat tindakan tindakan bersejarah, pandangan De Gaulle rasanya memang benar adanya,” kata Hendrajit lebih lanjut.
Ia memaparkan naluri dapat menembus kerumitan suatu keadaan dan menangkap hakikinya. Baru kemudian, giliran intelek untuk memperinci, membentuk dan menyuling bahan mentah pandangan intuitif atau naluriah itu.
“Nah, adakah keutamaan dan kualitas macam itu yang memancar pada ketiga capres saat berlaga dalam debat capres minggu lalu? Saya belum berani menyimpulkan. Tapi rasanya, ketiga capres belum bisa menembus kerumitan suatu keadaan dan menangkap hakekat dan akar krisis. Sehingga solusi yang ditawarkan bukan hal baru. Masih berputar pada hal yang itu-itu saja,” ungkapnya.
Hendrajit juga menyatakan bahwa bukan wawasan dan gagasan baru yang muncul, tapi hanya terlihat pameran kegagalan.
“Yang justru dipamerkan adalah gagalnya penguasaan dan pengelolaan ‘kekuatan dalam’ serta gagalnya pengendalian ‘kekuatan luarnya’,” pungkasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena