APAKAH menyebutkan akan memenggal presiden dapat dikategorikan dan diukur sebagai sebuah permulaan pelaksanaan untuk membunuh presiden? Menyebutkan atau bahkan mengancam akan membunuh presiden bisa jadi merupakan suatu delik pidana, namun belum bisa dinyatakan sebagai pidana makar.
Belakangan ini masyarakat diramaikan dengan tindakan polisi yang menangkap dan menetapkan HS dengan pasal “makar” yang ancaman pidananya adalah pidana mati. HS ini diancam pidana makar dikarenakan menyebutkan akan memenggal kepala Presiden Joko Widodo di tengah kerumunan demontransi.
Terhadap hal ini, maka pertanyaannya adalah apakah Pasal Makar tepat dikenakan kepada dirinya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka penting untuk membaca rumusan pasal yang dikenakan pada HS. HS dijerat dengan Pasal 104 KUHP yang berbunyi: “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
Dalam pasal ini terdapat 2 unsur yaitu : (i) Makar (ii) dengan maksud membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah.
Dari rumusan di atas perlu mengetahui terlebih dahulu apa sesungguhnya makar itu?. Delik makar sesungguhnya merupakan bagian dari kejahatan terhadap keamanaan negara, untuk itu, makar tidak dapat berdiri sendiri, makar adalah sebuah unsur yang harus diletakkan pada tujuan tertentu yang sudah ditentukan dengan jelas di dalam KUHP. Misalnya dalam kasus ini, maka makar diletakkan bersamaan dengan tujuan untuk membunuh presiden dan seterusnya.
Lantas, apakah makar itu? Dalam konteks KUHP, pengaturan makar dimuat dalam pasal 87 KUHP, disebutkan bahwa “dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53”. Singkat cerita, makar adalah niat yang telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan.
Permulaan pelaksanaan sendiri merujuk pada pengaturan percobaan yang ada pada pasal 53 KUHP. Namun, berbeda dengan percobaan, maka dalam konteks makar cukup ada niat dan permulaan pelaksanaan maka pertanggungjawaban pidana pada subjek hukum sudah bisa dilakukan, dalam percobaan, maka ada unsur ketiga yaitu perbuatan itu tidak selesai bukan karena kehendak sendiri.
Itu mengapa kenapa tidak ada “percobaan makar”, sebab tindakan makar cukup ada niat dan permulaan pelaksanaan, sedangkan untuk percobaan, selain ada niat dan permulaan pelaksanaan, percobaan baru bisa dipidana bila perbuatan tidak selesai bukan dikarenakan kehendak sendiri.
Lalu, tindakan apa saja yang dapat dikenakan pidana Pasal 104 KUHP diatas? Setelah memahami konsepsi makar, maka harus dilihat secara historis kenapa ada makar? Seperti sering disebutkan para akademisi, makar memang sebuah delik yang dirancang agar unsur utama yaitu tujuan atau maksud dari makar itu sendiri tidak tercapai, maka dari itu, makar dirancang dengan unsur yang cukup sederhana, niat dalam bentuk permulaan pelaksanaan dengan tujuan tertentu (dalam pasal 104 untuk membunuh presiden dan seterusnya). Dalam hal ini, tujuan atau maksud tersebutlah menjadi kunci dari delik makar.
Dalam pasal 104 KUHP, maka suatu perbutan dapat dipidana apabila ada permulaan pelaksana dengan maksud untuk membunuh presiden dan seterusnya. Dalam pembuktian nantinya, maka perbuatan itu harus dapat diukur sebagai tindakan permulaan pelaksaan dengan maksud membunuh presiden dan seterusnya.
Untuk mempermudah mendapatkan gambaran, maka perbuatan makar ini seperti percobaan untuk membunuh presiden, tapi berbeda dengan percobaan, cukup ada niat dan permulaan pelaksanaan, seseorang sudah dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Kuncinya tetap, permulaan pelaksanaan itu harus dengan logis dan terukur dapat membunuh presiden.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah seseorang yang berteriak teriak akan memenggal kepala presiden bisa dikenakan pidana makar? Atau dengan penjelasan diatas, apakah menyebutkan akan memenggal presiden dapat dikategorikan dan diukur sebagai sebuah permulaan pelaksanaan untuk membunuh presiden?.
Perlu juga ditelusuri suasana kebatinan dari orang yang mengancam Presiden tersebut, apakah tindakan itu dia lakukan tidak serta merta karena ada dalam kerumunan masa yang sepertinya memang sedang berseberangan dengan Presiden Jokowi.
Sebelumnya ICJR pernah mengajukan Pengujian UU KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK), dalam pengujian ini, ICJR meminta agar MK mau mempertegas istilah yang dipakai untuk makar kembali ke kata aslinya yaitu “aanslag” atau dalam terjemahan ke bahasa Indonesia artinya “serangan”.
ICJR beranggapan bahwa penggunaan istilah “aanslag” akan lebih memperjelas penggunaan makar yang selama ini sering disalah artikan sebagai tindakan penghianatan atau pemisahan diri dari NKRI. Salah persepsi ini mengakibatkan penggunaan pasal makar sering disalahartikan dengan pemidanaan yang sangat karet.
Namun, yang harus dipahami, sejak awal dibentuk, berdasarkan risalah pembahasan KUHP di belanda, makar atau aanslag memang susah untuk dijelaskan, saat itu, para pembahas akhirnya sepakat untuk membiarkan Hakim melalui yurisprudensi memberikan batasan bagaimana cara mengukur dan mengkualifikasikan tindakan makar itu.
Tapi sebagai catatan, khusus untuk Pasal 104 KUHP Indonesia, tindakan itu nampaknya jelas dapat diprediksi, karena tujuan dari makar dalam pasal ini cukup jelas yaitu pada individu, berbeda dengan delik makar lain seperti pemisahan sebagainatau seluruh wilayah negara atau menggulingkan pemerintah yang sah yang lebih abstrak.
Terkait hal ini maka kesimpulannya adalah pasal 104 KUHP tidak dapat digunakan untuk menjerat orang yang mengancam akan membunuh presiden pada saat suasana demonstrasi tersebut. Rekomendasinya pertama, harus diperjelas lagi istilah makar khususnya dalam RKUHP, lebih baik menggunakan istilah aanslag atau serangan yang lebih jelas.
Kedua, memperbaiki praktik penggunaan makar baik oleh aparat penegak hukum ataupun putusan Hakim, makar harus diperketat. Ketiga, meminta Polisi untuk lebih hati hati menggunakan pasal-pasal makar dan untuk Hakim agar lebih ketat dalam mengadili kasus sedemikian, sebab buruknya pertimbangan hakim akan memperburuk pemahaman masyarakat dan aparat soal makar.
Oleh Direktur Program Institute Crime and Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu