PRESIDEN akhirnya mengeluarkan Surat Presiden Nomor R-25/Pres/06/2017 tentang Penunjukan Wakil untuk Membahas Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual pada tanggal 2 Juni 2017. Surpres ini diterbitkan pasca surat DPR yang dikirimkan kepada presiden untuk pembahasan rancangan undang-undang tersebut 2 bulan lalu.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi kecepatan respon pemeritah dan DPR untuk segera membahasa RUU ini. Ini merupakan perkembangan yang signifikan karena Sebelumnya RUU ini gagal masuk ke dalam Prolegnas setelah diupayakan oleh Komnas Perempuan dan berbagai kelompok masyarakat pada tahun 2015. ICJR melihat terbitnya Surpres ini juga sebagai momentum penting untuk menghadirkan sebuah Undang-Undang khusus bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Indonesia. Oleh karena ICJR berharap harus pembahasan yang berkualitas untuk isu-isu krusial dalam UU ini, yaitu tentang penguatan pengaturan hak-hak korban kekerasan seksual, koordinasi antar lembaga pemerintah, aspek kriminalisasi perbuatan termasuk pemidanaan.
Salah satu isu krusial adalah soal penanganan hak korban. DPR dan Pemerintah harus bekerja keras untuk menghadirkan UU yang secara komprehensif mengatur tentang Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan Korban, karena selama ini tidak ada UU yang menjadi dasar penanganan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual, ketentuan tersebut hanya diatur dalam sebaran UU Sektoral seperti UU Perlindungan Anak, UU Penghapus Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Tindak Pidana Perdagangan orang dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan korban yang diatur dalam UU tersebut hanya menjangkau korban-korban seksual tertentu seperti hanya sebatas pada korban anak, korban kekerasan dalam rumah tangga dan korban eksploitasi seksual dalam konteks tindak pidana perdagangan orang. Ketiadaan pengaturan hak korban yang komprehensif ini selama ini berdampak merugikan korban.
ICJR sangat prihatin karena berdasarkan pemantauan, paling tidak telah terjadi 2 kasus bunuh diri masing-masing pada Mei 2016 di Medan dan Maret 2007 di Kabupaten Bandung. Dua remaja korban perkosaan tersebut bunuh diri karena tidak kuat menghadapi kasus yang dialaminya. Hal ini jelas menunjukkan pentingnya pendampingan psikologis dan penguatan hak korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Saat ini layanan bagi korban kekerasan seksual cenderung minim.
Pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga seharusnya menjadi momentum yang tepat bagi DPR dan Pemerintah khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Sosial untuk mengevaluasi kinerja dan koordinasi antara lembaga pusat perlindungan korban yang berdiri dibawah tanggung jawab kementerian-kementerian tersebut. Pemerintah mengklaim telah berhasil membuat 424 Pusat Pelayanan terpadu dan 16 Rumah Aman untuk penanganan korban kekerasan. Namun tidak pernah tersedia laporan utuh mengenai kinerja ke-424 Pusat Pelayanan Terpadu tersebut. Bahkan hanya segelitir Pusat Pelayanan Terpadu yang memberikan informasi mengenai lembaganya, tentu hal ini perlu dipertanyakan, apakah benar lembaga-lembaga tersebut bekerja memberikan layanannya kepada korban kekerasan kekerasan seksual.
Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2017 juga mencatatat bahwa partisipasi lembaga pemerintah dalam pengumpulan kompilasi data pengada layanan bagi korban terbilang rendah. Dalam Laporan Kinerja KPP dan PA 2015 pun dinyatakan bahawa dari 34 Provinsi yang telah memiliki P2TP2A, hanya 2 provinsi (DKI Jakarta dan Banten) yang memiliki saran pendukung layanan korban yang memadai. Sehingga, proses pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini adalah waktu yang tepat untuk DPR dan Pemerintah sama-sama bekerja keras untuk mengkomprehensifkan layanan korban. Suatu langkah yang tepat bagi Presiden dalam Supres nya memerintahkan beberapa lembaga terkait untuk hadir dalam pembahasan rancangan undang-undang ini, karena koordinasi antara lembaga pemerintah mutlak dibutuhkan dalam pembahasan RUU ini.
Selain persoalan layanan korban, ICJR juga mendorong perhatian yang cukup besar dalam pembahasan mengenai aspek kriminalisasi perbuatan dan pemidanaan. Karena ada beberapa tindak pidana terkait kekerasan seksual yang telah diatur dalam UU khusus lainnya. Sebisa mungkin pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus berupaya mengevaluasi dan memperbaiki perumusan tindak pidana yang ada agar dengan rumusan yang komprehensif, dan logis dari aspek hukum pidana, pemidanaan serta hukum acara pidana. Hal ini lainnya adalah memeriksaan ulang dan mengharmonisasi ketentuan yang sudah ada secara komprehensif dan memastikan bahwa aspek ancaman tindak pidana, penuntutan dan pemidanaan dapat dilaksanakan secara lebih baik ketika UU ini disahkan.
Oleh Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform