TIBA-tiba saja seperti ada yang membisikkan di telinga agar bergegas menulis tentang Demo Damai kemarin. Saat bisikan itu muncul, saya sedang “brunch” (breakfast-lunch).
Sabtu 5 November 2016 ini saya memang bangun agak telat. Maka sarapan pun telat. Sebabnya sepanjang Jumat malam hingga menjelang dinihari Sabtu, begadang.
Secara khusus melakukan pantauan situasi Jakarta, lewat siaran berita dari tiga televisi: TVOne, Metro TV dan CNN International. Tiga channel stasiun TV ini saya “on-off” kan secara bergantian.
Dua televisi lokal saya pantau secara khusus karena ada kesan, keduanya memiliki perspektif dan kebijaksanaan redaksional yang berbeda dalam peliputan peristiwa politik. Termasuk ketika meliput aksi protes terhadap pemerintahan Jokowi dan tautannya dengan Ahok Basuki Tjahaja Purnama.
TVOne agak ‘jauh’ dengan rezim Jokowi, Metro TV agak ‘dekat’. Boleh jadi kesan ini tidak sepenuhnya benar, tetapi inilah kesan subyektif sebagai seorang pemirsa bebas.
CNN International saya masukan dalam pantauan untuk mengetahui sejauh mana perhatian media Amerika Serikat itu terhadap situasi politik di Indonesia.
Sayang sekali, CNN tidak menyiarkan Demo Damai yang disamakan dengan aksi “Sejuta Umat”.
Ada pandangan sementara yang mengatakan untuk mengetahui bagaimana arah politik luar negeri Amerika Serikat, perhatikanlah pola pemberitaan CNN International.
Media ini sekalipun milik seorang partikulir, tetapi seringkali menyebarkan suara pemerintah Amerika Serikat. Berita CNN menjadi barometer, sejauh mana kepedulian & keterlibatan pemerintah Amerika Serikat terhadap sebuah persoalan di negara lain.
Menjelang kejatuhan rezim Soeharto di tahun 1998, CNN menempatkan korespondennya secara permanen di Jakarta. Diawali oleh Maria, seorang jurnalis wanita asal Filipina, dilanjutkan oleh Atika Shubert, puteri Yuli Ismartono wartawati senior asal Indonesia. Tapi setelah berganti rezim, CNN Biro Jakarta ditutup.
CNN terkenal sangat agresif dalam meliput peristiwa internasional apalagi yang berkaitan dengan kekuasaan baik perebutan secara demokratif maupun secara paksa. Tapi terhadap Indonesia, agaknya CNN punya kriteria tersendiri.
Pada September 1992, ketika Indonesia menjadi tuan rumah KTT Gerakan Non Blok di Jakarta, pertemuan besar ini diabaikan CNN. Padahal KTT Jakarta dihadiri oleh 110 pemimpin dunia dan Sekjen PBB Boutros-Boutro Ghali.
Kehadiran Sekjen PBB dan 110 pemimpi dunia tersebut melebihi prestise sebuah KTT APEC yang anggotanya hanya belasan negara. Tapi bagi CNN, APEC lebih penting dari pada GNB.
Konon, KTT GNB Jakarta tidak diliput CNN sebab Gerakan Non Blok itu sendiri merupakan gerakan yang tidak disukai oleh Amerika Serikat. Negara adi daya ini merupakan pemimpin dari Gerakan Blok Barat (GBB) sebuah gerakan global yang anti-komunis.
Bahkan disebutkan para pendiri GNB mulai dari Soekarno, Nehru (India) dan Tito (Yugoslavia, kini Serbia), merupakan figur-figur dari negara dunia ketiga yang tidak disukai oleh para pembuat kebijakan di Washington.
Atas dasar itu timbul pertanyaan ataupun rasa penasaran. Apakah tidak disiarkannya Demo Damai kemarin, karena bagi CNN, peristiwa demokrasi itu, terjadi di Indonesia, negara yang masuk dalam kelompok yang tidak begitu “penting” bagi Washington?.
Atau apakah karena yang terlibat dalam aksi demokrasi kemarin, gerakan massa Islam? Kebetulan Amerika Serikat saat ini sedang dilanda oleh demam Islam atau Moslem Phobie, sehingga faktor inilah yang menyebabkan CNN absen?
Inikah yang kemudian menjadi pemicu dari media Amerika itu untuk memboikot Demo Damai yang pada haketnya merupakan sebuah rekor demo dengan massa terbanyak. Demo Damai ibarat aksi turun jalan oleh “sejuta umat”. Entahlah.
Teringat kepada kebiasaan CNN yang selalu berada di bagian terdepan dalam mewartakan secara luas setiap gerakan protes berbentuk demo massal.
Di hampir setiap kejatuhan sebuah rezim, CNN rata-rata hadir. Revolusi Arab Spring yang terjadi di Mesir, Tunisia dan Libya serta Yaman, selalu diliput secara menyeluruh oleh media tersebut.
Apakah CNN atau Amerika tahu bahwa Demo Damai kemarin tak akan bisa melengserkan Presiden Jokowi? Sehingga nilai beritanya kurang? Walahualam.
Benarkah CNN hanya tertarik pada liputan yang mana kejadian di sebuah negara bakal berujung dengan kejatuhan sebuah rezim?.
Krisis Syria yang saat ini disebut-sebut mengarah ke kemungkinan meletusnya Perang Dunia III, mendapat perhatian yang sangat luas dari CNN. Liputan Syria dijadikan salah satu iklan CNN. Tujuannya untuk menegaskan bahwa CNN ahlinya dalam peliputan sebuah kekacauan.
Hal lain yang cukup mengherankan berkaitan dengan Demo Damai, baru kali ini pemerintah Amerika Serikat tidak mengeluarkan Travel Warning tentang Indonesia. Artinya walaupun ada demo besar, Washington tidak memberi peringatan kepada warganya agar menghindar untuk bepergian ke Indonesia.
Padahal di hari-hari sebelumnya, tidak demikian. Jangkan akan ada demo besar. Sebuah peristiwa kecil di mata Indonesia, yang merupakan hal yang biasa, tapi bisa menjadi sesuatu yang luar biasa bagi Amerika. Bisa dijadikan alasan kuat oleh Washington untuk mengeluarkan Travel Warning.
Sementara Demo Damai 4 November kemarin yang oleh aparat keamanan, kepolisian dan TNI, jauh hari sudah digambarkan memiliki magnitude yang kuat terhadap keamanan dalam negeri.
Tapi justru peristiwa kemarin tidak masuk kategori sebagai seuatu yang harus diwaspadai oleh pemerintah Amerika Serikat. Ada apa ? Kembali saya bertanya.
Di tengah siaran televisi lokal, pada tengah malam lewat beberapa menit, tepatnya pukul 00:07 WIB, Presiden Joko Widodo membuat pernyataan pers. Didampingi antara lain Menko Polhukham dan Kepala BIN, Presiden antara lain menuding aktor-aktor politik sebagaipihak yang terlibat dalam Demo Damai kemarin. Dimana setelah pukul 1800, batas waktu terakhir yang dizinkan berdemo, terjadi anarki.
Presiden tidak menyebut secara khusus. Tetapi tebakan saya terbang ke sebuah desa Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Jangan-jangan Presiden Jokowi sedang mencurigai SBY, Presiden ke-6 RI, sebaga aktor politik yang bermain yang dimaksudkannya.
Alasan saya, dalam pekan ini, antara SBY dengan Jokowi terjadi seperti “uring-uringan”. Atau mungkin lebih tepat disebut “perang urat syaraf”, “perang yang menggunakan pion dan bukan dengan senjata”.
Pada Senin 31 Oktober 2016 Jokowi menemui Prabowo Subianto di desa Hambalang. Pertemuan yang diakhiri dengan makan siang dan diwarnai dengan menunggang kuda bersama, dinilai cukup efektif meredahkan ketegangan politik.
Tapi keesokan harinya, SBY berreaksi. Dia menemui Wapres Jusuf Kalla dan Menko Polhukham Wiranto, secara terpisah. Reaksi SBY dianggap sebagai tanggapan atas manuver Jokowi ke Prabowo.
Suhu politik memanas lagi setelah SBY membuat pernyataan pers yang tensinya cukup emosional. Ada ungkapan bahwa kalau persoalan Ahok tidak diselesaikan, keributan akan terus terjadi bahkan tidak akan berhenti hingga ‘Lebaran Kuda’. Ahok jangan menjadi sosok yang kebal hukum, tanda SBY.
Inisiatif SBY melakukan pembelaan dan klarifikasi bahwa dirinya tidak terlibat dalam pengerahan massa Demo Damai termasuk mendanai mereka yang menghujat Ahok, bukannya menghasilkan respon positif.
Media “Detik” dotkom, misalnya begitu menyiarkan pernyataan emosional SBY langsung dibanjiri oleh tanggapan yangn justru mencela SBY. “Detik” sendiri milik Chaerul Tanjung, sahabat dekat SBY.
Rata-rata mengecam SBY sebagai pihak yang justru menunjukan bahwa dia seorang yang kebal hukum.
Sementara Sjamsuddin Haris, pakar politik dari LIPI menilai SBY sebagai seorang provokator tingkat tinggi. Kemudian oleh Kisman Latumakulita, politisi Nasdem diberi ulasan bahwa anarki yang terjadi pasca demo kemarin, tidak lepas dari povokasi oleh SBY.
“Semestinya kepolisian segera periksa SBY,”kata Kisman Latumakulita.
Tentu saja tidak fair, jika hanya SBY yang dituding ataupun dipersalahkan. Presiden Joko Widodo dianggap punya saham yang ikut menyebabkan massa beringas.
Alasannya Jokowi tidak menyediakan waktu menerma iutusan pendemo yang kemarin siang sudah berada di seberang Istana Merdeka. Mestinya Jokowi menerima mereka dan tidak mengikuti saran pembisik yang lebih memilih supaya Presiden RI itu blusukan ke proyek kereta api Bandara-Jakarta.
Ah ada-ada saja. Aktor politik dan pembisik, nampaknya sama. Tidak memikirkan kepentingan rakyat yang lebih banyak. Negara yang begini besar dan memiliki begitu banyak potensinya justru diobok-obok oleh elitnya sendiri atau para aktor politik.
Oleh Derek Manangka, Jurnalis Senior