KEPADA
Yth Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
Up Ibu Siti Nurbaya
Perihal: Kerusakan lingkungan akibat aktivitas PT Freeport Indonesia (PTFI) & kawasan hutan lindung yang dirusak.
Dengan hormat,
Ibu Menteri LHK sebagai pembantu Presiden yang secara UU paling bertanggung jawab di sektor lingkungan hidup dan kawasan hutan terhadap semua kegiatan terkait, termasuk aktifitas pertambangan menjadi salah satu obyek yang perlu dibina, diawasi dan ditertibkan secara peraturan yang berlaku apabila ditemukan pelanggarannya.
Berdasarkan banyak temuan dari berbagai pihak, sejak berproduksi 1974 sampai dengan 1994 PTFI telah membuang limbah melalui Sungai Aghwagon menuju Sungai Ajkwa.
Setelah pernah mengalami bencana di tahun 1994, barulah PTFI membangun tanggul penampungan limbah seluas 230 km persegi di sisi barat dan timur sungai Ajkwa yang dikenal ‘Modified Ajkwa Deposition Area’ atau ModADA, meski ternyata masih kurang memadai.
Temuan dari laporan LSM Jatam, Walhi , Konsultan Independen Freeport (Parametrix), masyarakat setempat dan temuan resmi oleh BPK RI menyatakan setidaknya ada lima kandungan logam berat yang terkandung dalam limbah tambang yaitu Selenium, Tembaga, Arsen, Mangan, Timbal dan Kadmium.
Termasuk temuan penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin pinjam pakai maupun kerusakan ekosistem akibat pembuangan limbah tambang sekitar 230 juta metrik ton per harinya.
Hasil audit BPK telah menemukan akibat aktifitas tambang PTFI telah menimbulkan perubahan ekosistem akibat pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuary dan sudah mencapai kawasan laut.
Masih dalam lanjutan laporan BPK menyatakan hasil perhitungan jasa ekosistem yang dikorbankan, didapat hasil total potensi mencapai USD 13 .592.299.294 atau sekitar Rp 185 triliun.
Padahal tahun 2006, BPK sudah melakukan audit yang menyeluruh dan memberikan rekomendasi perbaikan. Termasuk disarankan pembuangan limbah dari tambang ke laut melalui pipa seperti fasilitas mengangkut konsentratnya, karena telah melanggar kualitas air sungai.
Hal ini sesuai PP nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan 2 tahun setelahnya Menteri Lingkungan Hidup kala itu, Rahmat Witoelar menerbitkan persyaratan pengelolaan limbah sesuai Keputusan Menteri Nomor 431 tahun 2008, sehingga munculah solusi agar membuang limbah melalui pipa ke muara laut. Namun infonya selalu ditolak oleh PTFI dengan berbagai alasan teknis dan tidak ekonomis.
Oleh karena berdasarkan 14 item hasil rekomendasi BPK tahun 2017 ada beberapa item yang merupakan tanggung jawab KLHK dalam penentuan perhitungan kerugian maupun tindakan yang harus dilakukan terhadap penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin pakai, tentu merupakan pelanggaran berat yang bisa disanksi pidana menurut UU Kehutanan dan UU Lingkungan hidup.
Bahkan BPK dalam kesimpulan pada butir 9 tegas menyatakan, pengawasan Kementerian ESDM dan Kementerian LHK atas pengelolaan lingkungan PTFI belum dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku.
Mengingat di dalam isi Kontrak Karya tahun 1991 yang sudah disepakati oleh PT Freeport Indonesia mulai pasal 1 ayat 13 tentang pemahaman lingkungan hidup dan telah diatur khusus 3 butir di pasal 26 tentang kewajiban PT FI dalam mengelola lingkungan hidup sesuai undang-undang dan peraturan perlindungan lingkungan hidup dan suaka alam yang berlaku di Indonesia.
Namun sayangnya penjelasan Ibu Menteri LHK Siti Nurbaya di kantor BPK pada hari Kamis 20 Desember 2018 hanya menetapkan denda terhadap izin pinjam pakai kawasan hutan lindung sebesar Rp 460 miliar. Dan mencabut kembali Permen LHK nomor 175 tahun 2018 tentang Pengelolaan B3 (Bahan Beracun Berbahaya), diduga hanya atas keberatan surat dari PT Freeport Indonesia.
Begitu juga didapat informasi bahwa belum adanya persetujuan dokumen Amdal dari Komisi Pusat terhadap aktifitas tambang bawah tanah PTFI, tetapi IUPK telah diterbitkan oleh Menteri ESDM.
Diduga banyak kebijakan yang telah dilakukan oleh pejabat terkait terhadap PTFI telah melanggar UU dan Peraturan berlaku, selain kebijakan ini merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam.
Mereka telah bertindak tidak adil terhadap pelaku industri lainnya, dan yang teramat dikhawatirkan adalah kebijakan KLH tidak menentukan kerugian negara atas temuan audit BPK akan berpotensi memunculkan dosa kerusakan lingkungan oleh PTFI sejak berproduksi tahun 1974 sampai 2018. Dan akan diwariskan kepada PT Inalum tanggung renteng biaya menanggulanginya sesuai porsi saham 51 persen. Ini namanya cilaka 13.
Oleh karena itu, mohon kiranya Ibu Menteri LHK Siti Nurbaya yang sangat saya hormati berkenan menjelaskan ke publik semua pertimbangan yang sudah diambil terkait temuan BPK terhadap PTFI selambatnya lambatnya pada 10 Januari 2019.
Karena saya bersama kawan-kawan dari Koalisi Penyelamatan Sumber Daya Alam sesuai konstitusi sudah sepakat berencana akan melaporkan dugaan pelanggaran hukum oleh pejabat negara yang berpotensi merugikan negara ke KPK terkait temuan audit BPK terhadap pelanggaran lingkungan hidup oleh PT Freeport Indonesia.
Terima kasih kami sampaikan atas perhatiannya.
Oleh Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman