Artikel ini ditulis oleh Tulus Budi Karso, Pemerhati Sosial Politik
PEMILU sudah di depan mata. Dan sekian kosa kata ini kembali bertaburan di halaman media. Bandar politik, para pemodal, oligarki, serta sebarisan kata yang mengingatkan kita betapa demokrasi mungkin sudah dikurung segelintir manusia.
Pada kurungan itulah, demokrasi tertutup dari mata rakyat. Kian jauh dari demos, yang memberi selubung kemuliaan pada kata kratos. Yang dari keduanya kita untai dalam apa yang kemudian sering kita agungkan: demokrasi.
Kajian akademis, riset, juga penelitian tentang bahaya oligarki bagi demokrasi pun bagi kebajikan bersama, sesungguhnya tak susah ditemukan.
Gerakan saja jemari Anda. Lalu masuk mesin pencari. Maka Anda akan bertemu dengan bejibun literatur. Bahwa oligarki sanggup menyandera demokrasi, dan dari situlah dia mengurung kehidupan kita pada banyak nadi: sumber ekonomi, akses politik, kebijakan, hingga sesuatu yang paling hakiki kita miliki: hak asasi.
Agustus 2021, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) merilis Demokrasi Tanpa Demos. Buku yang merangkum pikiran 100 ilmuwan dari berbagai negara itu menjadi refleksi atas kemunduran demokrasi di Indonesia.
Buku ini, kata Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3S, Wijayanto; “Adalah ikhtiar mendorong konsolidasi demokrasi yang tidak kita biarkan bisa dikuasai oligarki. Ini adalah upaya menantang oligarki.”
Ikhtiar menantang oligarki agar tidak mengurung demokrasi itu, sesungguhnya juga disuarakan oleh banyak kalangan. Dari pakar hukum, akademisi, ekonom, mahasiswa, barisan aktivis, para politisi sendiri, pun lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Jika ingin meresapi jalan pikiran mereka, masuklah lagi ke mesin pencari. Anda akan bertemu dengan rupa-rupa cerita. Himpunan data. Serta sekian peta pikiran yang mungkin perlu direnungkan.
September 2020, Komnas HAM menggelar Forum Group Discussion (FGD), mengusung tema Oligarki dan HAM: Konsep dan Praktiknya di Indonesia. Forum ini hendak memotret kemungkinan pengaruh oligarki pada setiap kebijakan penting di banyak daerah kita, serta benturannya dengan hak asasi.
Komisi itu mengingatkan kepada kita akan bahaya oligarki, terutama dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menegaskan praktik oligarki dalam Pilkada berpotensi mengesampingkan hak-hak warga negara.
“Kami menemukan fakta-fakta aduan yang masuk ke Komnas HAM, banyak sekali konflik terkait agraria,” ujar Taufan. Dan konflik agraria yang dituturkan Taufan ini mungkin juga terkait dengan pengaruh oligarki.
Oligarki
Tapi apa sebetulnya si oligarki itu? Bagaimana cara dia bekerja. Mungkinkah kita semua, yang baik sengaja atau tidak, sesungguhnya punya andil atas terbentuk dan menguatnya peran oligarki itu? Dan apakah tersedia jalan bagi kita untuk mencegah, atau selemah-lemahnya kita, menekan peluang dominasi mereka pada banyak nadi kehidupan bernegara?
Cobalah kembali bersahabat dengan aneka literatur. Jelajahi riset para peneliti, yang pada jaman ini begitu gampang dijumpai. Mungkin tersedia jawaban di sana. Sejumlah ilmuwan melukiskan oligarki sebagai stuktur kekuasaan yang hanya dikendalikan segilintir elite tertentu.
Dalam buku Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market, oligarki diterangkan sebagai sebuah kekuasaan yang terstuktur, hasil fusi antara kekuatan politik birokratis dan kekuatan ekonomi (Vedi R. Hadiz &Richard Robinson).
Fusi dua kekuatan itu menentukan begitu banyak hal, termasuk siapa yang dicalonkan menjadi pemimpin pada sebuah kontestasi Pemilu, sebagai misal. Para calon itulah yang ramai-ramai dicoblos rakyat di kertas suara.
Kritik sejumlah kalangan terhadap praktik demokrasi kita, juga menyangkut kemungkinan dominasi oligarki itu, bahkan mungkin sebelum rakyat menjatuhkan pilihan. Anda bisa mencari definisi yang lain tentang oligarki ini dari ilmuwan atau tokoh yang berbeda. Kata kunci pemikiran mereka mungkin kurang lebih sama. Dominasi segelintir orang.
Rizal Ramli
Dari sekian banyak tokoh bangsa ini, barangkali Rizal Ramli-lah yang paling sering mengingkatkan kita soal bahaya mahkluk bernama oligarki ini. Terutama jika dia merasuk pada banyak jiwa kebijakan.
Jika peran mereka begitu menentukan semenjak proses pemilu, maka sang pemenang akan memiliki utang budi. Artinya, kita semua sudah memberi beban maha berat kepada pemimpin kita sendiri, bahkan ketika dia baru menjadi sekadar calon. Beban itu, kata Rizal, harus dihindari. Sebab dari sanalah, lanjutnya, “Pemodal berpeluang mengatur kebijakan.”
Bila kemungkinan peran para oligarki ini segitu kuat, maka apa yang dipedulikan Rizal sesungguhnya adalah tentang kita. Tentang saya. Tentang kamu. Apa pun mimpimu. Tentang anak-anak kita, tentang demokrasi.
Karena segala hal tentang kita itu, bahkan mimpi kita akan Republik ini, diatur oleh kebijakan yang wujudnya datang dalam bentuk regulasi. Dalam bentuk undang-undang serta berlembar peraturan, yang oleh karena kita adalah warga negara yang baik haruslah, dipatuhi.
Kalau Rizal Ramli begitu sering bicara soal bahaya oligarki, barangkali karena dia tahu lebih banyak, seperti mungkin tokoh-tokoh lain di negeri ini. Dari sekian banyak tokoh yang tahu banyak itu, Rizal adalah satu dari sedikit yang memilih bersuara. Lantang dengan bahasa yang menohok. Tentu berbekal informasi yang memadai, dan ketajaman untuk melihat potensi bahaya.
Dia seperti memiliki ramuan untuk berdiri mencegah: informasi, analisis, keberanian, konsistensi, dan kemarahannya datang dari hati yang mencintai negeri ini, bahkan mungkin mencintai mereka yang juga diserempet kata-katanya.
Rizal seperti sudah mencapai level militansi maksimal. Sudah berhitung dengan risiko. Tak peduli kursi menterinya hilang. Dan, mungkin kita hanya bisa memahami Rizal, jika kita memahami rangkaian jejaknya.
Bagi Anda yang ragu, atau bahkan mungkin mencemooh, sungguh tak sulit melihat jejak dia yang begitu terbuka. Carilah. Sebab jejak jauh lebih memberi bekas, punya kemungkinan menjadi tuntunan, ketimbang ribuan hujatan. Jejak-jejak itulah yang membentuk Rizal, segenap pemikirannya, serta cara dia menyampaikan sesuatu, yang bunyinya kadang setajam silet.
Mari melihat serangkaian jejak itu dan memeriksa konsistensi, yang sudah sekian windu seperti tak kunjung lekang. Semenjak remaja atau duduk di bangku kuliah, menuntut ilmu di negeri orang, mendirikan lembaga riset yang jadi rujukan media massa dan pebisnis, menjadi menteri yang kursinya dirindukan banyak orang, hingga Rizal yang hari ini kita tonton di layar televisi, sekian podcast beribu pengikut, atau unggahannya yang kita suka atau tidak di lini masa.
Nun jauh di tahun 1978, bersama sejumlah kawannya dia harus mendekam di penjara Sukamiskin, Jawa Barat. Anak-anak muda ini disuruk ke jeruji besi itu lantaran memimpin unjuk rasa memerotes kebijakan pemerintah Orde Baru yang dianggap otoriter, melumpuhkan kebebasan, dan meminggirkan rakyat dari banyak ruang pembangunan.
Jika ingin memahami lebih banyak elan perjuangan mahasiswa pada masa itu, baca saja Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978. Rizal muda ikut menulis.
Benedict Richard O’Gorman Anderson, seorang Indonesianis yang sohor dengan nama Ben Anderson, menyebut buku ini sungguh penting lantaran itulah pertama kali kritik terhadap kebijakan Orde Baru ditulis secara sistematis (Anderseon &Ecklund 1978).
Profesor dari Cornell University, Amerika Serikat itulah yang kemudian membantu menerjemahkan buku ini dalam bahasa Inggris, dan menerbitkannya di Jurnal Indonesia terbitan Cornell University. Dari sanalah, buku ini kemudian berpinak dalam delapan bahasa.
Selepas dari kampusnya di Institut Teknologi Bandung (ITB), Rizal sempat ke Jepang, lalu menamatkan doktor dalam bidang ekonomi di Boston University di Amerika Serikat. Pulang dari negeri Mark Zuckerberg itu, bersama sejumlah kawannya dia mendirikan Econit Advisory Group. Ini lembaga think thank ekonomi independen, yang pada masa di mana Orde Baru begitu menakutkan, berani menunjuk wajah kacau ekonomi.
Kajian kritis lembaga itu tentang kebijakan pemerintah, analisis yang akurat sebelum ekonomi ambruk tahun 1998, dikutip banyak media pemberani, kecuali mungkin mereka yang sujud pada kekuasaan atau tak jeli melihat data yang buram.
Jika Anda masih ragu dengan catatan ini, cari sendiri informasinya. Siapa tahu bisa menjadi kajian baru, atau materi buku.
Sikap kritis itulah yang menutup peluang bagi Rizal masuk lingkaran kekuasaan. Tapi di luar lingakaran itu dia justru menemukan begitu banyak kawan dan sahabat sehati dalam gerakan pro demokrasi. Saya sebut beberapa nama saja. Ada Adnan Buyung Nasution, Megawati Soekarnoputri, WS Rendra, Abdurrahman Wahid – sahabat sekaligus guru politik Rizal – yang kita kenal dengan sapaan Gus Dur dan kemudian menjadi Presiden Indonesia keempat.
Lama berkawan dan memahami cara berpikir Rizal, Gus Dur-lah yang mengajak dia masuk kekuasaan. Semula menjadi Kepala Bulog, yang pada masa itu bagai lumbung segala hal yang ada di dapur rumah kita.
Inilah arena laga pertama aktivis yang juga doktor ekonomi itu bertarung dengan dugaan kartel sembilan kebutuhan pokok kita. Apa yang dilakukan Rizal di badan itu, tak sulit kita cari pada masa yang serba berjejak ini.
Dari Kepala Bulog, Presiden Gus Dur kemudian mendapuk Rizal menjabat sejumlah posisi: Ketua Bappenas, Meneg BUMN, Menteri Keuangan, hingga Menteri Kordinator Bidang Ekonomi.
Semua posisi basah. Tapi Rizal yang kita lihat hari ini, adalah Rizal yang juga kita kenal dari catatan riwayatnya.
Dia tidak basah, oleh harta yang mungkin bisa disiram lewat kursi kekuasaan. Cara berpikir mungkin dibentuk oleh ilmu pengetahuan yang diraih hingga jenjang akademik tertinggi, tapi elannya dibentuk oleh rangkaian perjalanan hidup.
Dan dari catatan media massa, kita bisa membaca jejak ekonomi pada masa pemerintahan Gus Dur. Dari minus 3 persen, ekonomi sukses dikerek ke angka pertumbuhan 4,9 persen. Gus Dur lahir dari “rahim” rakyat. Dia melihat bahwa akar konflik sosial berhulu dari kesenjangan ekonomi.
Rasio gini, yang dipercaya sebagai alat mengukur tingkat kesenjangan itu, berhasil ditekan hingga 0,31 persen dari 0.37 pada tahun 1999. Secara ringkas bisa dipahami bahwa semakin mendekati 0 (nol) bilangan rasio gini itu, distribusi pendapatan dalam pengelolaan ekonomi semakin merata.
Semenjak pemerintahan Orde Baru berkuasa, inilah angka ketimpangan terendah dalam sejarah ekonomi kita. Terdekat dengan angka itu adalah capaian tahun 1993 di bilangan 0.32.
Berapa angka ketimpangan itu dalam sekian tahun sesudah masa Gus Dur itu, Anda bisa menelusuri dari catatan media massa. Meski mungkin banyak variabel lain yang ikut menentukan angka.
Mungkin bukan satu-satunya, tapi Rizal adalah salah satu tokoh kunci dalam tim ekonomi pemerintahan Gus Dur. Sayang massa pemerintahan Gus Dur begitu singkat. Dia dilengserkan oleh kekuatan politik di Senayan.
Lalu Rizal hilang dari etalase kekuasaan, tapi tidak dari ruang publik seperti halaman media massa. Dia misalnya, mengkritik keras tatanan ekonomi pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disebutnya sangat neoliberalisme.
Dari segenap kritiknya, jika ditelusuri dengan cermat, musuh Rizal Ramli sebetulnya bukanlah orang-orang yang sedang duduk di pucuk kuasa. Tapi lebih pada tata kelola. Jejak kritik kerasnya terhadap apa yang disebut sebagai neoliberalisme itu juga mudah kita temukan pada zaman Orde Baru.
Lembaga yang disebut Rizal sebagai operator lapangan neoliberalisme kerap mempertukarkan aneka pinjaman dengan kebijakan. Dari situlah kita kita terjepit. Cara kerja neoliberalisme, membenam apa yang disebut Rizal sebagai ekonomi konstitusi, model ekonomi yang diimpikan para pendiri negeri ini.
Memahami seorang Rizal Ramli adalah memahami serangkaian jejaknya itu. Dia seorang ekonom andal, juga seorang aktivis tulen. Jiwa aktivis itu sulit dibenam jika melihat apa yang disebutnya sebagai potensi masalah.
Dan, barangkali yang membuat kita terperanjat adalah kritik kerasnya terhadap rencana manajemen Garuda membeli pesawat A350. Bukan hanya soal kritiknya, tapi dia menyampaikan kritik itu cuma sehari setelah dilantik menjadi Menteri Kordinator Kemaritiman, 12 Agustus 2015.
Sehari sesudah dilantik itu, sebuah media nasional menulis judul begini: “Gebrakan” Pertama Rizal Ramli: Garuda Indonesia Didesak Batalkan Pembelian Airbus A350. Dalam tulisan itu Rizal berkisah bahwa sepekan sebelumnya dia bertemu dengan Presiden Jokowi. Dia meminta tolong presiden agar memperhatikan layanan.
“Saya tidak ingin Garuda bangkrut karena sebulan yang lalu dapat pinjaman 44,5 miliar dollar untuk rencana pembelian pesawat A350. Pesawat jenis itu hanya cocok untuk penerbangan Jakarta ke Amerika Serikat,” terang Rizal di Jakarta,13 Agustus 2015.
Rizal beralasan rute internasional tidak menguntungkan bagi Garuda lantaran keterisian hanya 30 persen. Rute ini dikuasai Singapore Airlines dan maskapai lain yang keuangannya sangat kinclong dengan layanan premium. Rizal menyarankan agar Garuda fokus pada bisnis penerbangan domestik dan regional. Bila sudah kuat pada dua pasar itu, baru ekspansi ke jalur internasional.
Kita memang kemudian lebih heboh dengan apa yang disebut sejumlah kalangan sebagai “kegaduhan,” dan gagal menyelam lebih dalam ke akar persoalan, yang disebut Rizal sebagai manajemen pengelolaan dan strategis bisnis.
Rencana pembelian pesawat Airbus A350 itu kemudian batal, diganti pesawat jenis yang lain, lalu kemudian kita semua tahu nasib Garuda ini. Sekian tahun sesudah itu, media massa ramai menulis tentang hidup Garuda yang dihimpit utang, terlilit kasus korupsi, ditubir kebangkrutan, sebelumnya akhirnya diselamatkan Menteri BUMN yang baru, Erick Thohir, lewat renegosiasi utang.
Rencana Rizal merevisi target listrik 35 ribu megawatt (MW), saat menjadi Menko Kemaritiman itu, lagi-lagi lebih dilihat sebagai sebuah kegaduhan ketimbang substansi dan akar persoalan kita.
Rencana revisi itu disampaikan oleh Rizal dalam kata sambutannya saat serah terima jabatan. Target sebesar itu kata Rizal tidak realistis, dan hanya akan membebani keuangan PLN. Angka yang realistis, ujarnya, sekitar 17 ribu hingga 18 ribu MW. Kalau sanggup membangun 17 ribu MW dalam lima tahun, lanjutnya, itu sudah prestasi yang luar biasa, sebab kata Rizal, ”Dalam 10 tahun pemerintahan SBY hanya mencapai sekitar 10.200 MW.”
Jika kita ingin mengetahui nasib PLN dan proyek raksasa ini di kemudian hari, berselancarlah ke mesin pencari. Masuk dengan keyword spesifik; PLN terlilit utang. Maka kita akan menemukan begitu banyak berita tentang utang dan proyek listrik 35 ribu megawatt ini pada pertengahan 2021, sekian tahun setelah Rizal tak lagi duduk di kursi menteri.
Garuda dan PLN, hanyalah dua contoh dari gebrakan atau boleh pula Anda menyebutnya sebagai kegaduhan, dari masa yang singkat menjadi menteri di pemerintahan Jokowi.
Anda bisa beranjangsana di belantara informasi jika ingin menemukan contoh yang lain, memeriksa perkembangan contoh-contoh itu, dan syukur-syukur bila mendengar kisah di belakang layar sebelum akhirnya menghimpun kesimpulan.
Nothing Personal
Meski menohok dalam mengkritik, Rizal sesungguhnya jujur memberi pujian. Ketika Juni lalu, pemerintahan Jokowi lewat Menteri BUMN, Erick Thohir, sukses merenegosiasi utang Garuda, lini masa Rizal memberi sanjungan.
“Erick Thohir dan manajemen Garuda, selamat atas keberhasilan renegosiasi utang Garuda. Major achievement. Ikut bahagia,” tulis Rizal pada linimasanya.
Dia berharap Erick dan menajemen meningkatkan efisiensi operasional serta route management, menghindari leasing mark up, juga memperbaiki model bisnis.
Kritik pedasnya fokus pada kebijakan, nothing personal, dan tetap menjaga hubungan baik. Rizal dan Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mungkin pernah saling bersilang pendapat, tapi ketika keduanya bertemu, tetap bertegur sapa dan tertawa.
Dalam acara, “Halaqah Satu Abad NU” di Jakarta akhir tahun lalu, JK menyebut Rizal sebagai pemikir yang tangguh. “Cuma Pak Rizal tidak mengunakan itu di dunia bisnis. Kalau dipergunakan, bisa menjadi pengusaha sukses,” kata JK.
Meski kerap mengkritik keras tata kelola ekonomi, Rizal juga tetaplah bersahabat dengan SBY. Dia menjenguk SBY ketika dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) di Jakarta, Juli 2018.
Sesudah membesuk, kepada wartawan Rizal berbagi cerita, “Tadi kami berpelukkan. Cipika-cipiki. Bergurau. Tertawa ngakak, karena memang sahabat lama banget.”
Dari para tokoh ini, sesungguhnya kita bisa belajar bahwa kritik dan perbedaan setajam apapun, itu adalah tentang kebijakan, tentang bangsa, nothing personal, dan itulah sebabnya persilangan politik tidak akan sanggup membenamkan kehangatan sebuah senda gurau.
Kritik keras Rizal tentang oligarki dan cara kerja demokrasi kita, juga bukanlah tentang pribadi orang-orangnya, tetapi tentang dominasi peran dalam menentukan sistem, lalu mengendalikan sekian permainan di dalamnya.
Cara ini, kata Rizal, berkemungkinan menjebak bangsa ini dan generasi emas anak-anak kita. Oligarki mungkin ada di semua negara yang menganut demokrasi.
Dari mereka mungkin kita bisa belajar bagaimana sistem bernegara bisa mengendalikan peran para oligarki, demi mencengah yang sebaliknya terjadi.
Mendengar Rizal Ramli adalah juga mendengar hatinya. Dalam sebuah tayangan yang dibagikan di jejaring Tiktok, dan disukai ribuan orang, suara Rizal terdengar miris. Begitu banyak gubernur, kata dia, masuk penjara, dan lebih dari seratus walikota/bupati masuk kurungan.
“Itu bukan tentang oknumya, tapi tentang sistem kita,” kata Rizal.
Upeti politik sanggup menutup hati anak-anak baik nan cerdas negeri ini demi merayu uang para pemodal.
Dan modal itu, lanjut Rizal, berkemungkinan dipertukarkan dengan kebijakan, dari konsesi hutan hingga tambang, dan itu ujungnya adalah tentang kita.
(***)