SAAT kita remaja, umumnya bagi setiap usia, setiap kali kita pergi jauh, terutama untuk mendaki gunung, melakukan perjalanan panjang, traveling maupun backpacker-an.
Hal yang pasti kita tinggalkan di rumah adalah kerinduan, atau kekhawatiran, seperti sang ibu pada anaknya, istri atau suami pada pasangannya, dan anak pada orang tuanya.
Terutama sang ibu, hadiah apa yang dapat menandingi rasa gembira melepas rindu pada anaknya yang telah lama pergi? Dan kepiluan macam apa yang menandingi kepiluan ketika ditinggal kembali untuk keduakalinya oleh sang anak dalam sebuah perjalanan jauh?
Namun niat berziarah dan melakukan perjalanan panjang telah bulat dalam hati seorang anak, apalagi ini perjalanan spiritual, perjalanan untuk melepaskan yang fana, menggapai yang abadi, dan sang ibu mengerti akan hal itu.
Selepas kegagalan perjalanan pertama, Bujangga Manik akhirnya melanjutkan perjalanannya yang tertunda rindu, tertahan di Pamalang. Kali ini tekadnya sudah membulat, rindu yang akan hinggap sepanjang perjalanan jauh, panjang, dan lama sudah bukan lagi alasan untuk menjadikannya kembali pulang, melainkan telah menjadi bahan bakar untuk menuntaskan.
Perjalanan Bujangga Manik adalah perjalanan yang sangat personal, melibatkan diri dan alam semesta, yang diciptakan dan penciptanya. Setiap gunung yang diziarahi adalah tempat untuknya mendekatkan diri menggapai yang abadi, sang anak mencari keheningan.
Singkat cerita, Bujangga Manik melakukan kembali penziarahannya, maka didakinya kembali gunung-gunung yang menjadi tujuan pendakiannya sepanjang pulau Jawa, diseberanginya sungai-sungai, bahkan lautan hingga menembus pulau Bali.
Dalam catatannya, tidak jarang Bujangga Manik merasa tidak nyaman berada di suatu tempat, khususnya di gunung-gunung tertentu, salah satu alasannya karena karamaian pengunjung. Maka perjalanan pun terus dilakukan untuk menemukan tempat yang dirasa paling tenang dan memberikan kekhusuan untuk bertapa.
Perjalanan jauh hingga ke pulau Bali memang seyogianya merupakan proses yang dilalui, alih-alih menggapai tempat jauh, Bujangga Manik justru merasakan ketentraman di pegunungan yang masih berada di wilayah Sunda, terutama sekitar Garut dan Bandung Raya saat ini.
Dalam perjalanannya menuju kembali ke arah barat setelah menggapai pulau Bali, sisi selatan pulau Jawa menjadi rute yang dilaluinya kali ini, disebutkannya pertemuan dengan Gunung Galunggung, kemudian mendaki Gunung Cikurai dan akhirnya menggapai puncak Gunung Papandayan.
Kali ini Bujangga Manik nataan (menyebutkan dan menunjukkan) gunung-gunung yang dapat ia lihat dari salah satu puncak Gunung Papandayan. Dalam naskah tersebut disebutkan nama “Panenjoan†yang hingga saat ini nama tersebut dikenal sebagai salah satu puncakan di wilayah Gunung Papandayan.
Gunung Papandayan merupakan wilayah permulaan di mana Bujangga Manik merasakan tempat yang sesuai dengan kebutuhannya untuk bertapa, kemudian ia turun ke arah utara hingga ke hulu sungai Citarum di Cisanti kemudian mendaki Gunung Wayang.
Menjelang akhir perjalanannya, terdapat dua gunung yang dijadikan pertapaan terakhirnya hingga melepaskan raga menuju yang abadi, gunung tersebut adalah Gunung Patuha di Bandung Raya, dan Gunung Ratu di Pakuan.
Setiap gunung yang dijadikan pertapaan, ditinggalinya hingga bertahun-tahun sampai ia merasakan bahwa waktunya telah tiba. Tiba untuk menyatu dengan alam, meninggalkan raga, pergi ke alam lain meninggalkan yang fana untuk selama-lamanya.
Apa yang diceritakan dalam naskah tentang Bujangga Manik memberikan banyak informasi untuk kita hari ini, terutama yang berkaitan dengan geografis, dan budaya masyarakat lama terkait bagaimana memperlakukan gunung-gunung dan alam pada umumnya.
Secara personal, apa yang diperlihatkan Bujangga Manik dalam melakukan traveling, backpacker-an dan mendaki gunung seperti yang kita terjemahkan hari ini, menunjukkan sisi spiritualitas dalam sebuah perjalanan personal yang sangat kental.
Hal ini selain memberikan wawasan historis dan kultural bagi kita, juga bisa menjadi pengingat betapa kaya dan luasnya alam Nusantara, dan sekaligus ini menjadi peringatan sejauh mana kita menjaga alam yang dalam banyak hal, keindahannya seringkali kita banggakan.
Selain dari pada itu, banyak juga hal personal yang bisa diekspresikan dalam kegiatan mendaki gunung, travelling, maupun backpacker-an, selain alasan personal sebagaimana dijalani Bujangga Manik, hari ini pada masa ini, setelah menjamur dan populernya kegiatan alam bebas, tidak ada yang salah bila kita memiliki tujuan dan niat khusus yang sangat personal, termasuk mencari jodoh misal, tidak ada yang salah bukan?
Oleh Pepep DW, akademisi STSI Bandung dan Penggiat Jelajah Gunung Bandung (JGB)