Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Sekitar sepuluh tahun setelah mundur dari jabatan wapres Bung Hatta diminta memimpin partai politik.
Bekas Rektor IKIP, Jakarta, Deliar Noer, di memoar, Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan, bercerita, setelah peristiwa Gestapu, sekitar tahun 1967, muncul pemikiran perlunya gerakan baru untuk ikut memberikan sumbangan pemikiran dalam mencapai tujuan bernegara secara bersih.
Namun gerakan moral yang hendak dikembangkan menjadi partai politik bernama Partai Demokrasi Islam Indonesia, ini ternyata tidak dibolehkan oleh pemerintah kala itu. Meski Bung Hatta didaulat menjadi tokoh yang akan memimpinnya.
Sejak 1 Desember 1956 sampai akhir hayatnya, 14 Maret 1980, Bung Hatta lebih memilih menjalani hidup sebagai orang biasa.
Dalam masa 24 tahun itu Bung Hatta mengajar di berbagai universitas. Seperti Gajah Mada, Universitas Hasanuddin, Seskoad ABRI, dan berbagai aktivitas lainnya, dengan menjauhi diri dari glamouritas politik praktis.
Pengunduran dirinya sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956 karena perbedaan pandangan politik dengan Sukarno tentu bukan hal mudah.
Rahmi Hatta, sang istri, di memoar yang sama, menulis: “Bung Karno memanggil saya, dan meminta saya membujuk Bung Hatta supaya tetap menjabat wakil presiden. Saya sampaikan jawaban saya kepada Bung Karno, bahwa saya tidak akan menghalang-halangi niatnya itu. Karena saya memahami betul keteguhan prinsip Bung Hatta …”.
Mochtar Lubis melukiskan Bung Hatta sebagai “manusia jam”. Karena kedisiplinannya mengatur jadwal. Akan sukar meminta kembali waktu untuk bertemu dengannya kalau terbukti kita pernah tidak menepati waktu yang dijanjikan.
Meski demikian Bung Hatta bukan pendendam. Ia pribadi yang candid. Selama berinteraksi dengan Proklamator RI itu Mochtar Lubis sebagai wartawan mengaku tak pernah mendengar Bung Hatta mengucapkan kata-kata yang memburukkan Sukarno. Apalagi memaki-maki.
Kata paling keras yang didengarnya ialah saat Sukarno dijatuhkan dari kekuasaan. Waktu itu Bung Hatta hanya berkata: “Sukarno salah hitung dengan orang komunis”.
Suatu hari wakil presiden pertama RI ini terkejut karena tarif listrik di rekeningnya tinggi sekali. “Bagaimana saya bisa membayarnya dengan pensiun saya. Kalau tidak ingat Yuke (Rahmi Hatta), saya tidak berkeberatan hanya memakai lampu tempel saja …”.
Ini dikatakan Bung Hatta secara sungguh-sungguh, tanpa olok-olok. Tetapi dalam menanggapi rekening listrik ini Bung Hatta bersikap luwes. Ia kemudian menulis surat kepada Gubernur Ali Sadikin. Minta agar rekening listriknya dipotong dari uang pensiun yang diterimanya tiap bulan.
Setelah Ali Sadikin membaca jumlah pensiun yang memang tak memadai, sejak itu biaya listrik dan air leding ditanggung oleh Pemda DKI Jakarta.
Ketika tahun 1978 Sri Sultan Hamengku Buwono IX pensiun dari jabatan wapres saat itu kebetulan pemerintah mulai meninjau besaran pensiun wakil presiden, maka tak lama kemudian pensiun Bung Hatta pun ikut disesuaikan dengan jumlah pensiun yang diterima Sultan Hamengku Buwono IX.
Ciri lain dari Bung Hatta ialah sikapnya yang teguh dalam menolak perilaku aji mumpung sebagai pejabat.
Suatu hari di tahun 1950-an saat menjadi pembesar negara ibunda Bung Hatta, Saleha, yang telah lama tak bertemu berada di Sumedang, yang kebetulan tinggal bersama salah satu kerabat.
Seorang anggota keluarga mengusulkan agar Saleha dibawa ke Jakarta, karena Bung Hatta sangat rindu, dan untuk memudahkan disarankan agar dibawa dengan menggunakan mobil dinas. Mendengar rencana ini Bung Hatta langsung berkeberatan dan mengatakan tidak boleh. Kemudian menyuruh supaya ibundanya dibawa ke Jakarta dengan mobil biasa saja.
Sikap mengedepankan kepentingan negara ketimbang urusan keluarga merupakan ciri karakter Bung Hatta, yang juga teguh dalam memegang rahasia negara.
Di tahun 1950-an saat masih menjadi wapres terjadi pemotongan uang atau sanering. Keputusan pemerintah ini sama sekali tidak diceritakannya kepada sang istri, Rahmi Hatta, yang saat itu sedang menabung ingin membeli sebuah mesin jahit.
Ketika Bung Hatta pulang dari kantor Rahmi menyampaikan keluhan mengenai nilai uang tabungannya yang tiada lagi berharga akibat sanering, sehingga tak dapat digunakan untuk membeli mesin jahit.
Dengan sabar Bung Hatta mengaku ia memang sengaja tidak memberitahukan adanya sanering, karena kepentingan negara tidak ada sangkutpautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap rahasia.
Satu ciri lagi dari karakter Bung Hatta ialah sikapnya yang tidak kemaruk terhadap kekuasaan. Pada bulan Desember 1955 koran Indonesia Raya mengadakan polling pembaca yang menginginkan Bung Hatta jadi presiden.
Hubungan Hatta dan Sukarno waktu itu sudah semakin renggang, yang berujung mundurnya Hatta sebagai wapres, pada Desember 1956.
Polling di suratkabar pimpinan Mochtar Lubis ini intinya untuk mengetahui aspirasi masyarakat yang menginginkan pemimpin yang merupakan antitesis dari Sukarno.
Hatta yang negarawan-cendikiawan ternyata tidak menghiraukan hasil polling yang mengunggulkan dirinya itu, karena berpegang teguh pada prinsip politik yang diyakininya. Meski suara yang mendukungnya di polling tersebut dua setengah kali lebih besar ketimbang buat Sukarno.
Metode polling di era tahun 1950-an (era demokrasi liberal) waktu itu sudah dikenal, tetapi tidak pernah benar-benar dipakai sebagai instrumen untuk menjaring pemimpin seperti hari ini. Karena para tokoh bangsa saat itu umumnya naik ke tampuk kekuasaan bermodalkan garis perjuangan yang mereka cita-citakan.
Berbekal integritas, standar etika, prestasi, dan keberpihakan yang kuat untuk membebaskan bangsa dari berbagai belenggu penjajahan.
Bung Hatta mundur dari jabatannya dengan tiada beban. Tak ada rasa ketakutan, karena tidak melakukan korupsi, tidak membiarkan perilaku KKN berlangsung di dalam anggota keluarganya, baik pada saat berkuasa maupun tak lagi berkuasa. Tiada melakukan hal-hal yang hina dan tercela yang merusak tatanan konstitusi dan menggadaikan bangsa kepada aseng.
Bung Hatta yang oleh Roeslan Abdulgani dikatakan sebagai Penjaga Hati Nurani Rakyat adalah tokoh besar yang meninggalkan jejak besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Sebagai tokoh pergerakan yang mengenyam pergaulan internasional dan negarawan yang memiliki ketangkasan berpikir kalau mau menggunakan pengaruhnya apapun dapat dilakukannya, termasuk misalnya melakukan rekayasa untuk memperpanjang kekuasaannya, seperti dilakukan oleh rezim hari ini.
“Kok yang terjadi saat ini, kenapa Mas Jokowi panik dan takut banget tidak berkuasa lagi. Kalau alasannya mau melanjutkan program, wong program-programnya amburadul, tinggalkan utang luar biasa. KKN semakin meluas dan semakin otoriter. Kenapa takut banget tidak berkuasa lagi. Karena banyak KKN dan potensi masalah hukum pasca jatuh? …” tulis Rizal Ramli, mempertanyakan, melalui akun twitter-nya beberapa waktu lalu.
Pernyataan tokoh nasional Rizal Ramli ini menggambarkan adanya jurang kontradiksi standar etika yang sangat dalam dan sangat jauh berbeda antara pemimpin seperti Bung Hatta dan seperti Jokowi.
Lebih jauh Rizal Ramli juga mensinyalir perpanjangan masa jabatan para kepala desa yang tengah didengungkan oleh rezim saat ini akan dibarter dengan perpanjangan jabatan Jokowi.
Di sisi lain Rizal Ramli mengamati perilaku lembaga-lembaga survei atau pollsterRp berbayar yang menurutnya sudah super-bejat.
“Rakyat semakin susah, kok bisa disimpulkan bahwa rakyat puas terhadap Jokowi. Lembaga-lembaga survei berbayar itu betul-betul sudah menjadi sampah dan parasit demokrasi.” tegas Rizal Ramli.
Zaman bergerak. Waktu berubah. Standar etika dan moralitas elit penguasa negeri ini saat ini ternyata sangat buruk dibandingkan era sebelumnya.
[***]