MARI kita cermati pidato Jokowi pada Kongres PDI Perjuangan di Bali (8/8/2019) tentang kebijakan tak populer, yakni pada 2015 ketika memutuskan untuk memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Hal itu adalah sebagai sinyal bahwa Jokowi akan menaikan harga BBM dan listrik pada awal periode keduanya, dengan alasan klise bahwa untuk kepentingan rakyat bawah, karena subsidi hanya dimanfaatkan oleh golongan ekonomi mapan, dan lain-lain.
Tidak aneh jika kebijakan tidak populer ini akan diambil oleh Jokowi, pada periode kedua, dan sudah sangat gampang diduga sebelumnya, jika kebijakan tersebut oleh pihak Istana dianggap sebagai ide tanpa beban dari Jokowi pada periode kedua. Atau ada juga yang menyatakan ide gila, demikian oleh sebagian media dipopulerkan.
Kenapa saya katakan bahwa ide Jokowi tersebut sudah gampang diduga, karena secara hitungan politik sudah tidak akan ada hambatan lagi. Koalisi pendukung yang gemuk, dan barisan oposisi yang kuat sudah dilemahkan, hanya sisa PKS di parlemen yang menyatakan dengan tegas akan berada di luar.
Kalaupun PAN menyusul karena tidak kebagian kue kekuasaan, perlawanan di parlemen sangat kecil, pendeknya Jokowi bisa berbuat apa saja.
Kembali ke ide gila, tepatnya juga tidak orisinil mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang loyo saat ini, defisit diberbagai sendi ekonomi, dan capaian target pajak rendah sekali.
Lalu pembayaran pokok utang plus bunga juga besar, sebagai akibat salah urus ekonomi pada periode pertama (belum berakhir), pertumbuhan ekonomi juga stagnan dan tidak pernah mencapai target yang ditetapkan dari tahun ke tahun.
Sementara keinginan meneruskan infrastruktur masih tetap mengebu-ngebu, termasuk keinginan pindah ibukota, bukan semakin turun seperti yang pernah diutamakan dalam debat, tetapi malah akan bertambah.
Untuk program SDM bisa saja hanya sekadar bungkus, paling tidak untuk ide mengimpor rektor, ibaratnya impor Ronaldo butuh sekadar tambahan fulus, hebohnya akan menghibur.
Untuk tetap pembangunan berjalan dengan kondisi ekonomi loyo tersebut, hanya satu jalan keluarnya tetap saja menambah utang.
Pemberi utang tentu juga bersedia mengalirkan utang dengan jaminan kemampuan membayar. Hal yang sangat lumrah dalam pinjam meminjam. Mereka merasa yakin jika peminjam memenuhi persyaratan yang mereka tentukan.
Syarat yang paling gampang adalah pangkas subsidi, dan lakukan ‘austerity’ atau pengetatatan anggaran, seperti yang sudah sering dijelaskan ekonom senior Dr. Rizal Ramli.
Artinya kebijakan yang dikatakan kebijakan gila ala Jokowi demikian media memberi nama, memang mau tidak mau harus dilakukan oleh Jokowi pada periode kedua ini untuk memenuhi persyaratan menambah utang.
Siapkah Rakyat?
Tentunya pertanyaannya harus ditanyakan kesiapan rakyat, karena elit politik atau wakil rakyat jelas sudah tidak akan mampu menolak, apalagi berkomentar.
Sebagai akibat ide yang tidak populer tersebut dapat diperkirakan akan berdampak besar terhadap ekonomi rakyat. Karena kondisi perekonomian dalam dekade ini rendah dan tidak stabil.
Dengan kenaikan BBM dan listrik, inflasi meningkat, kenaikan harga barang dan ongkos transportasi, sementara daya beli masyarakat juga akan semakin tertekan dan lemah dengan konsekuensi kehidupannya lebih berat lagi ke depan.
Tidak saja rakyat kecil yang besar juga perlu juga diingat beberapa industri atau perusahaan besar akan terdampak. Saat ini seperti grup dunia tekstil ‘default (gagal bayar utang). Jababeka menyusul, apalagi sekarang dalam kemelut kepemilikan.
BUMN besar seperti PLN, Pertamina, Garuda dalam keadaan merugi dengan utang yang juga besar, termasuk bank-bank Pemerintah. Faktanya mereka punya beban utang yang tidak kecil.
Pemerintah Jokowi pada periode kedua ini harus secara matang mengkaji karena implikasi kepada rakyat sangat besar, nekat tanpa perhitungan kemelut ekonomi terjadi, tinggal pilih mana yang lebih gila. Semoga saja masih ada sedikit kewarasan. Tentunya banyak jalan ke Roma.
Oleh Safril Sofyan, Pengamat Kebijakan Publik, Aktivis 77/78