KedaiPena.com – Memperbaiki pendidikan Indonesia, tak hanya harus dilakukan melulu pada aspek kurikulum dan sarana prasarana pendidikan. Tapi kompetensi dan kualitas pengajar pun perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Pengamat Pendidikan Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji menyatakan pemerintah melalui Kemendikbud Ristek perlu melakukan pembenahan pada tata kelola guru.
“Rasio guru dan murid kita lebih unggul dibandingkan negara lain. Untuk SD, rasio guru dan murid 1:14 atau dengan kata lain, satu guru mengajar 14 siswa. Untuk SMP dan SMA rasionya adalah 1:15, dan rasio guru dan murid untuk SMK lebih unggul lagi yakni 1:6. Rasio ini hanya kalah dibandingkan Jepang, tapi dibandingkan Singapura, Amerika Serikat, Tiongkok, Indonesia jauh lebih unggul. Sayangnya, rasio siswa dan guru berhubungan dengan biaya, namun tidak dengan hasil pembelajaran,” kata Indra, Kamis (2/5/2024).
Data Kemendikbud (2015) menyebutkan pertumbuhan jumlah siswa di lembaga pendidikan dasar menengah selama kurun waktu 1999 hingga 2015, sebesar 17 persen. Disisi lain dalam kurun waktu yang sama, pertumbuhan guru PNS sebanyak 23 persen dan guru honorer 860 persen.
“Atau dengan kata lain, pertumbuhan tenaga pendidik melampau peserta didik. Sayangnya langkah yang diambil pemerintah justru merekrut 1 juta guru PPPK, yang tentu saja berantakan karena tanpa kajian dan koordinasi yang baik,” ujarnya.
Selain itu, kompetensi guru pun harus mendapatkan perhatian lebih. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) hanya guru di 10 provinsi yang memiliki nilai diatas rata-rata 56,69. Lainnya nilai UKG dibawah rata-rata.
“Pertanyaannya, bagaimana mungkin anak-anak kita diajar oleh guru-guru yang kompetensinya dibawah rata-rata. Laporan ACDP Indonesia menyebutkan mendekati 14 persen guru di Tanah Air bolos mengajar,” ujarnya lagi.
Langkah lainnya’ yang perlu dilakukan pemerintah adalah melakukan evaluasi terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Selama ini, lulusan LPTK jauh lebih banyak dibandingkan yang diserap oleh dunia pendidikan. Misalnya dari 300.000 lulusan yang dihasilkan LPTK setiap tahunnya, yang diserap kurang dari separuhnya yakni sekitar 120.000 lulusan.
“Ini menunjukkan dalam membuat kebijakan tidak disesuaikan dengan kebutuhan. LPTK juga tidak hanya sekedar meluluskan tenaga pendidik, tetapi menghasilkan tenaga pendidik yang kompeten, melakukan sertifikasi tenaga pendidik, hingga inovasi pembelajaran di era Revolusi Industri 4.0 untuk menyongsong kehidupan masyarakat (society) 5.0,” kata Indra lebih lanjut.
Hal lainnya yang memerlukan pembenahan adalah tupoksi antar lembaga pelaksana pendidikan nasional yang masih belum jelas.
Misalnya untuk masalah sentralisasi atau otonomi daerah, kalau otonomi daerah mengapa madrasah masih dibawah pemerintah pusat melalui Kementerian Agama. Sementara kalau sentralisasi, mengapa Kemendikbud Ristek tidak punya otoritas mengatur guru. Pemerintah daerah juga tidak memiliki program sendiri, cenderung meniru Kemendikbud Ristek. Selain itu, pemerintah daerah lebih memilih berkoordinasi dengan Kemendagri dibandingkan Kemendikbud Ristek.
Salah satu ide yang dapat diterapkan adalah menempatkan Kemendikbud Ristek sebagai compliance agent atau Lembaga penjamin mutu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan kondisi sekarang yang tumpang tindih tupoksinya.
Merujuk pada Peraturan Presiden no. 76 tahun 2023 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2024, anggaran pendidikan yang jumlahnya 20 persen dari APBN, ternyata hampir separuh dari anggaran pendidikan dialokasikan untuk 22 kementerian dan lembaga negara yang tidak mengurusi bidang pendidikan sama sekali.
“Dan alokasi anggaran tersebut tidak pernah dijabarkan dalam Sistem Pendidikan Nasional baik pada UU no. 20 tahun 2003. Ironisnya, Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN / Bappenas yang menyusun alokasi anggaran pendidikan tidak disebutkan dalam sistem pendidikan nasional. Dengan kata lain anggaran pendidikan Indonesia berada di luar Sistem Pendidikan Nasional,” ungkapnya.
Kondisi tersebut menunjukkan kalau Indonesia masih menerapkan Multi Sistem Pendidikan Nasional yang tentunya bertentangan dengan konstitusi. Seyogyanya, Sistem Pendidikan Nasional harus ditata ulang sesuai dengan amanat konstitusi yang diselenggarakan dalam satu sistem saja.
“Perlu sebuah langkah out of the box tanpa menggunakan kerangka yang sudah ada, misalnya dengan menggunakan sistem distrik sekolah. Distrik sekolah adalah lembaga pemerintah yang tugasnya khusus mengurusi sekolah dibuat berdasarkan wilayah tetapi berbeda dengan batas kota / kabupaten, dan manajemen lembaga ini terlepas dari komando pemerintah kota / kabupaten (bukan seperti dinas pendidikan). Orang-orang yang dipilih untuk mengelola lembaga ini adalah para profesional di bidang pendidikan sehingga bukan jabatan karir maupun politik,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa