MEMBACA artikel tentang BPJS pada koran Rakyat Merdeka terbitan tanggal 24 Juli 2020 di atas membuat penulis merasa harus merespon dan menjelaskan dari sudut pandang yang ada. Semoga saja dengan sudut pandang ini akan terjadi keseimbangan informasi dalam konteks yang lebih obyektif sehingga publik dapat memahami tentang isu Jaminan Sosial ini secara lebih lengkap.
Di dalam artikel tersebut tersirat adanya persaingan walau tidak secara terbuka dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial antara BPJS Ketenagakerjaan atau BPJamsostek dengan Taspen dan ASABRI.
Di mana pada hakekatnya berdasarkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Taspen dan ASABRI harus bergabung ke dalam BPJS Ketenagakerjaan di tahun 2029.
Berkenaan dengan pasal inilah kemudian terjadi pendapat bahwa nasib ASN dan TNI/Polri akan berubah dalam kaitan manfaat yang akan didapat dari jaminan sosial yang melindungi mereka. Selain daripada itu juga seolah BPJamsostek tidak akan mampu dalam melaksanakan penyelenggaraan jaminan sosial bagi ASN, TNI dan Polri.
Persepsi ini jelas adalah opini sepihak yang kurang relevan. Karena keberadaan jaminan sosial itu harus dipahami secara kehadiran Negara dalam melindungi rakyatnya. Dalam hal ini golongan produktif baik yang berprofesi ASN, TNI, Polri, pekerja formal lainnya, pekerja informal bahkan bagi para penggiat usaha mandiri.
Tatanan perundangan dan peraturan turunan yang berkaitan dalam penyelenggaraan jaminan sosial akan selalu mencerminkan kehadiran Negara di atas. Sehingga adalah suatu keniscayaan bagi Negara untuk mengatur agar manfaat yang diterima oleh ASN, TNI dan Polri tidak berkurang jika nanti terjadi penggabungan di 2029.
Karena ini suatu bentuk ketidakadilan bertentangan dengan semangat keberadaan jaminan sosial itu sendiri yang merupakan manifestasi dari Pancasila, sila ke lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika dibilang BPJamsostek tidak mampu menyelenggarakan jaminan sosial pun, penulis pun bermaksud untuk mengangkat satu fakta prinsip, yaitu: BPJamsostek adalah lembaga yang mengejar, memetakan, mencari, dan mengakuisisi peserta jaminan sosial dan mengedukasi mereka tentang betapa pentingnya dan wajibnya ikut program jaminan sosial.
Hal ini tentu adalah upaya yang tidak mudah. Apalagi jika dibandingkan dengan Taspen yang menjamin ASN dan ASABRI yang menjamin TNI dan Polri. Karena setiap terbitnya SK pengangkatan ASN maka Pemerintah akan membayarkan iuran Jaminan Sosialnya di Taspen.
Begitu pula dengan ASABRI setiap SK pengangkatan TNI dan Polri terbit, maka dibayarkanlah iuran Jaminan Sosial ke ASABRI.
Jelas kompleksitas aktifitas BPJamsostek berbeda dengan Taspen dan ASABRI, Karena BPJamsostek harus berurusan dengan berbagai perusahaan, pekerja informal dan pengusaha UMKM.
Namun demikian penulis tidak bermaksud untuk membahas polemik ini lebih lanjut. Penulis lebih tertarik untuk mengangkat isu yang lebih strategis.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati. Ada kata satu dalam kata kesatuan dalam NKRI. Juga sila ke tiga dari Pancasila, persatuan Indonesia.
Namun mengapa penyelenggaraan jaminan sosial seolah tidak layak untuk disatukan? Mengapa ego sektoral selalu menjadi isu yang tidak kunjung selesai dan menambah inefisiensi?
Penggabungan penyelenggaraan jaminan sosial ini tidak perlu dijadikan suatu polemik. Mengapa kemudian tidak terjadi upaya kerja sama dan kemitraan antara ketiga lembaga tersebut mulai dari sekarang? Karena pada dasarnya masing-masing lembaga BPJamsostek, Taspen dan ASABRI bekerja di sektor peserta yang berbeda dan tidak beririsan secara kompetisi.
Banyak hal yang berkaitan dengan isu kerja sama dan kemitraan yang dapat dikerjakan oleh ketiga lembaga ini.
Yang pertama, adalah kerjasama dalam konteks data.
Data yang ada di tiga lembaga ini akan dapat saling memberikan nilai tambah jika dilakukan suatu proses data enrichment dan gabungan data ini dapat dijadikan basis acuan pengukuran ekonomi nasional dalam konteks ketenagakerjaan.
Dan data ini adalah data yang sangat dinamis yang senantiasa berubah setiap harinya. Kerja sama data ini dapat menunjang juga terciptanya perlindungan Negara dalam lingkup jaminan sosial secara holistik.
Karena tidak semua ASN memiliki anggota keluarga yang ASN saja, mungkin saja dalam keluarga itu ada seorang pekerja, pengusaha atau anggota TNI/Polri. Sehingga kerja sama dalam konteks data ini dapat memberikan nilai tambah tersendiri dalam penyelenggaraan jaminan sosial.
Kemudian, yang kedua adalah kerja sama pelayanan. Hal ini akan meningkatkan efisiensi pelayanan yang memberikan aksesibilitas dan portabilitas yang lebih luar bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lalu, yang ketiga adalah kerja sama investasi. Dengan kekuatan dana gabungan dari ketiganya, jika diatur dalam suatu strategi investasi yang pro rakyat, tentu akan memberikan manfaat dan daya ungkit yang sangat signifikan bagi perekonomian nasional secara riil.
Dan yang terakhir adalah kerja sama dalam konteks tanggung jawab sosial (CSR), ini tentu akan memberikan warna tersendiri dalam masalah isu sosial di Indonesia. Apalagi jika berorientasi pada basis pengentasan kemiskinan dan pencerdasan kehidupan Bangsa.
Penulis sangat berharap kemitraan dan kerja sama ini dapat tercipta di masa depan yang tidak terlalu jauh. Agar kemudian cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat lebih cepat terwujud.
Jika bank-bank BUMN yang bekerja dalam nuansa kapitalis bisa bergabung bekerja sama dalam Himbara demi kepentingan perbankan nasional, mengapa para penyelenggara jaminan sosial tidak? Ayo saatnya bersatu.
Oleh Dr Poempida Hidayatulloh, Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan atau BPJamsostek