KedaiPena.Com – Pengurus Walhi Institute, Kusnadi Oldani mengatakan, pendekatan konsep Kawasan Konservasi Nasional atau Taman Nasional adalah pendekatan tertinggi dalam sebuah konservasi. Misalnya saja yang sudah dilakukan di Bunaken atau Raja Ampat.
Namun ia mengingatkan bahwa ada persoalan mendasar yang patut dipertimbangkan jika pendekatan itu juga dilakukan di Kabupaten Tapteng. Yakni terkait kewenangan yang sepenuhnya akan dikendalikan oleh Pemerintah pusat sekaligus berkurangnya kewenangan yang akan dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
“Kalau menjadi Taman Nasional (TN) daerah gak dapat apa-apa, kecuali lalu lalang Turis saja. TN juga membatasi sekali akses masyarakat terhadap wilayah tersebut. Memasuki (TN) itu harus ada surat izin masuk wilayah Konservasi dikenal dengan Simaksi. Artinya lalu lintas nelayan tradisional akan terbloking. Artinya, jika pendekatan Konservasi untuk Terumbu Karang yang dipilih, maka Terumbu Karang akan selamat namun akses masyarakat sangat terbatas,†urai Kusnadi.
Ditanya apakah terhadap pilihan tersebut maka langkah yang harus diambil adalah melakukan survey atau jajak pendapat dengan masyarakat, mantan Direktur Walhi Sumut ini membenarkannya.
“Survei harus dilakukan dengan jujur. Atas pilihan, mau Taman Nasional atau Lindung dengan konsep pengelolaan Terumbu Karang berbasis Komunitas. Dimana badan Pengelola Multi Pihak yang mengakar di tingkat basis atau Nelayan. Sehingga di tingkat tapak zona tangkap ikan, zona snorkeling dan zona lainnya berhasil dirumuskan dan dipatuhi implementasinya,†kata Kusnadi yang juga menjabat Plt DPW Sarekat Hijau Indonesia (SHI) ini.
Senada dengan itu, Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Tapanuli Tengah, Martin U Lumbantobing meminta agar rencana penaikan status Kawasan Terumbu di Kabupaten Tapteng menjadi Kawasan Konservasi Nasional benar-benar dilakukan setelah melalui kajian mendalam.
Terutama, menyangkut pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta pelibatan masyarakat lokal.
“Sejauh mana kewenangan Pemerintah daerah dan keterlibatan masyarakat? Jadi harus ada penyamaan persepsi antara Pusat dan Daerah, agar tugas pengawasannya menjadi maksimal,†kata Martin.
Terlepas dari upaya mendorong kawasan tersebut menjadi Kawasan Konservasi Nasional, Martin mengingatkan pengelolaan Terumbu Karang yang selama ini menurut ia belum berjalan maksimal. Padahal, lanjutnya, Perda tentang Pengelolaan Terumbu Karang telah dibentuk sejak 2007 lalu.
“Kita melihat, pengelolaannya masih belum maksimal. Maka dari itu, apapun langkah yang akan diambil untuk menyelamatkan Terumbu tersebut, harus juga secara terbuka dilakukan, misalnya soal kawasan mana saja yang akan ditetapkan itu, kan harus dijajaki oleh pihak-pihak terkait bersama Dinas Kelautan dan Perikanan, makanya harus ada pembicaraan mendalam antara pihak-pihak yang berkepentingan,†katanya.
Sementara itu, tokoh Muda pecinta wisata alam dan bahari, Christanto Andri Malau mengatakan, pelibatan masyarakat dalam upaya menjadikan kawasan Terumbu di Tapteng sebagai Kawasan Konservasi Nasional adalah sebuah keniscayaan.
Pelibatan itu yakni dengan membentuk sebuah wadah atau lembaga yang akan melakukan observasi dan monitoring sekaligus menjadi lembaga yang menentukan skala prioritas gugusan mana yang perlu di recovery atau yang perlu di konservasi.
“Karena permasalahan utama di Tapteng saat ini tidak memiliki data valid berapa meter persegi areal yang ekosistem parah, sedang, atau masih original dan berkembang subur. Menjadikan gugusan Tapteng dari mulai perairan Sibabangun sampai batas Singkil, personil dan SDM DKP pasti kurang, makanya wajib melibatkan peran serta masyarakat untuk me-recovery, mendata dan melestarikannya,†tukas Andri.
Laporan: Dom