KedaiPena.Com – Luas kawasan Terumbu Karang yang dimiliki Indonesia cukup besar. Sumber Wikipedia menyebutkan, 1/8 dari luas kawasan Terumbu Karang dunia berada di Indonesia dan tersebar di berbagai kepulauan. Di antaranya yakni di perairan pantai Barat Sumatera Utara, tepatnya di beberapa pulau yang ada di perairan Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng).
Catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tapteng menyebutkan, seluas 1.000 hektar Terumbu Karang terdapat di perairan ini. Data itu adalah kawasan Konservasi Laut Daerah (Marine Protected Area) yang sudah terbentuk sejak 2007 dimana di tahun yang sama diterbitkan Perda nomor 24 tahun 2007 tentang Pengelolaan Terumbu Karang.
“1.000 hektar itu yang masuk kawasan Konservasi. Di luar itu masih terdapat lagi kawasan Terumbu misalnya yang ada di Sorkam dan Barus, tepatnya di Pulau Karang,†sebut Staf Bidang Konservasi Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Tapteng, Rapson Purba saat ditemui KedaiPena.Com di Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan jalan Oswald Siahaan, Pandan, belum lama ini.
Terhadap 1.000 hektar Terumbu Karang tersebut telah dilakukan berbagai program penyelamatan dan pengelolaan sejak 1997, dengan mengandalkan dana Coremap yang berasal dari Asian Development Bank (ADB) serta APBD Kabupaten sebagai dana pendamping.
Program Coremap itu telah berjalan hingga saat ini dengan 3 Fase program. Fase pertama atau dikenal sebagai Fase inisiasi berlangsung sejak 1997 dan ditangani langsung oleh LIPI. Berlanjut Fase kedua atau Fase Akselerasi yang berlangsung sejak 2004 hingga 2011.
Dan terakhir Fase Ketiga atau disebut sebagai Fase Institusi, yakni penguatan kelembagaan melalui Konservasi Perairan Daerah dan Ekowisata yang berlangsung sejak 2014 dan direncanakan hingga tahun 2018.
Terkhusus di Fase ketiga ini, Coremap menggelontorkan anggaran senilai Rp8 miliar. Dana tersebut diakui tak terserap dengan baik di 2 tahun berjalannya anggaran. Dana yang terserap hanya Rp2,2 Miliar saja.
Sejumlah kendala yang tak dapat dihindari menjadi penyebab rendahnya serapan anggaran. Diantaranya, penangguhan pelaksanaan tender yang ditengarai perubahan kebijakan di tingkat Kementerian. “Ditangguhkan sejak Januari hingga Mei 2016, ada beberapa kebijakan yang dibuat Menteri dan baru dikeluarkan Mei, akibatnya beberapa kegiatan bergeser,†katanya.
Persoalan lain, yakni terjadinya mutasi pejabat di tingkat daerah yang turut mempengaruhi terganggunya pelaksanaan program. “Kebijakan Mutasi di daerah, Kabid ada yang diganti, jadi proses peng-SK an itu mempengaruhi,†kata pria berkacamata ini.
Kendati demikian, sejumlah program Penyelamatan dan Pengelolaan Terumbu Karang tetap berjalan. Diantaranya sosialisasi, pelatihan dan revitalisasi Pondok Informasi. “Ada juga Budidaya berbasis kelautan, dan sejumlah pertemuan dengan masyarakat hingga pembuatan Zonasi dan Rencana Pengelolaan terumbu,†katanya.
Terkhusus Zonasi, Rapson menyebut terdapat 5 pembagian, yakni Zona Inti (ZI), Zona Perikanan Berkelanjutan (ZPB), Zona Wisata (ZW), Zona Budidaya (ZB) dan Zona Penyangga. Sementara terkait Rencana Pengelolaan, masih menunggu Surat Keputusan dari Pemerintah Daerah.
Rapson menjelaskan, pembuatan Zonasi dan Rencana Pengelolaan itu akan menjadi landasan pengajuan penaikan status kawasan menjadi Kawasan Konservasi Nasional. Jika itu terwujud, maka pengelolaannya akan langsung di kordinasikan Kementrian Kelautan dan Perikanan.
“Dan Kementrian yang mengatur, di sini (Tapteng-red) ada UPT (Unit Pelaksana Teknis). Tentu dana akan semakin banyak berputar di Kawasan Konservasi ini untuk merehabilitasi kawasan pesisir lainnya, seperti Mangrove dan Padang Lamun (sea grass). Kalau sudah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Nasional itu, maka pengelolaannya termasuk cara masuk, SOP, Pariwisata dan lainnya akan diatur secara ketat, sementara Dinas Pariwisata dan Dinas Kelautan adalah pihak SKPD yang akan paling terlibat,†urai Rapson.
Rapson mengatakan, dalam pengelolaan selama ini, pihaknya telah melakukan pemantauan secara berkala terkait kondisi kesehatan Terumbu. Terpantau, sejak tahun 2007, kesehatan Terumbu sempat mengalami peningkatan sebesar 46 persen. Meski, pada tahun-tahun terakhir kondisi kesehatan Terumbu kembali mengalami penurunan yang disebabkan gejala alam Elnino atau pemanasan global. Akibatnya, pemutihan (coral bleacing) tidak dapat dihindari.
“Faktor alam, panas ekstrem, perubahan cuaca yang paling berkontribusi merusak kesehatan Terumbu,†katanya.
Pemutihan tersebut tidak saja dialami Terumbu Karang di perairan Kabupaten Tapteng, namun di seluruh kawasan Terumbu Karang di Indonesia, bahkan dunia. Karena itu pula sejak 5 tahun terakhir, para peneliti sedang melakukan kajian terkait upaya penyelamatan serta pencegahan meluasnya dampak gejala alam itu.
Selain efek dari El Nino, faktor perilaku masyarakat dan kerusakan alam lokal juga turut berkontribusi besar merusak ekosistem Terumbu. Misalnya, soal penebangan pohon, sampah dan tumpahan minyak ke kawasan perairan laut.
“Makanya, jika ditanya apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi pengaruh kerusakan itu, ya kita berharap jangan buang sampah, minyak, jangan tebang hutan, jangan rusak Mangrove,†harap Rapson.
Laporan: Dom