KISAH sukses operasi tangan tangan (OTT) membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin moncer saja. Terakhir
lembaga antirasuah ini kembali menangkap 10 anggota DPRD dan pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi. KPK pun menyita barang bukti uang mencapai lebih dari Rp 1 Miliar.
Kita kagum dengan prestasi yang ditunjukkan KPK itu. Ibarat strategi sepak bola, semua lini korupsi dibersihkan oleh KPK. Namun jika jeli diamati, banyak hal yang membuat kita tidak percaya dengan sikap antikorupsi yang diperlihatkan lembaga antirasuah itu.
Bahkan, bisa dibilang KPK sudah menerapkan standar ganda dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Standar ganda itu menghilangkan prinsip “semua orang punya kedudukan yang sama di mata hukumâ€. Hukum yang sejatinya menjadi jangkar dalam sebuah negara demokrasi nyatanya hanya mimpi belaka.
Kita menduga (semoga tidak!): jangan-jangan intervensi kekuasaan telah menjauhkan KPK dari tujuan awal lahirnya lembaga antirasuah itu: membebaskan negeri ini dari jeratan korupsi.
Salah satu contoh, bagaimana KPK tetap ngotot dan membuka kembali kasus kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus itu tiba-tiba dihidupkan kembali.
Publik tersentak dengan penetapan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada April 2017. Bukan tidak mungkin hal itu menjadi pintu masuk membidik kembali kasus BLBI yang sebenarnya sudah diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya.
Publik pun bertanya: apa apa ya? Mengapa KPK ikut kembali mendendangkan kasus lama itu?
Proses persetujuan pemberian surat keterangan lunas atau yang biasa disingkat SKL pada obligor BLBI nyatanya telah menjadi isu yang digoreng KPK untuk yang katanya atas nama memberantas korupsi. Kali ini, yang disasar adalah BDNI.
BDNI sudah mengantongi SKL tetapi mengapa masih diutak-atik juga oleh KPK?
Dulu, BPPN sebetulnya juga memberikan putusan sama terhadap 21 obligor lainnya. Di antaranya Hendra Liem sebagai pemilik Bank Budi Internasional, the Ning King dari Bank Dana Hutama, Sudwikatmono dari Bank Subentra dan Bank Surya, Ibrahim Risjad selaku pemilik Bank Risjad Salim International, serta Soedono Salim dengan Bank Central Asia (BCA)-nya.
Lalu ada pula nama-nama kesohor lainnya seperti Siti Hardijanti Rukmana selaku pemilik Yakin Makmur Bank, Hashim Djojohadikusumo dengan Bank Papan Sejahtera-nya, juga Nirwan Bakrie selaku pemilik Bank Nusa Nasional dan Muhammad Bob Hasan dengan Bank Umum Nasional.
Kalau mau jujur dan transparan: mengapa mereka juga tidak diusut kembali? Kenapa hanya satu obligor yakni BDNI? Ada apa KPK?
Katanya, pemerintah memiliki data ‘ajaib’ soal harta-harta mereka dan BLBI yang mereka rasakan juga?
Tebang Pilih
Menengok kebelakang saat SKL muncul. Ketika itu penyelesaian pembayaran BLBI dilakukan dengan tiga skema. Inti dari skema-skema hasil pembahasan pemerintahan BJ Habibie dengan IMF waktu itu adalah mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham, atau pemilik bank.
Terhadap mereka yang dinilai mampu membayar BLBI yang diterimanya, termasuk BDNI, pemerintah menetapkan skema MSAA, sesuai audit Pricewater house-Coopers dan Lehman Brothers. Penilaian terhadap kemampuan para penerima kucuran dana ini bukan cuma oleh BPK.
Ada Danareksa, Bahana Sekuritas yang melengkapi dua auditor internasional itu, mendampingi BPK. Hasil audit di tengah proses pembayaran, juga oleh BPK bersama tim ‘pembantu’ itu. Hasilnya menyebutkan aset yang diserahkan sudah sesuai dengan utang BLBI BDNI.
Dengan kenyataan ini, tentu cukup mengherankan kalau BDNI lantas dipersoalkan lagi sekarang ini.
Perjanjian MSAA itu sendiri ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1999. Dalam prosesnya, BPPN yang dipimpin Syafruddin itu memberikan SKL pada April 2004.
Penerbitan SKL itu dilakukan sebelum masa tugas Badan ini berakhir pada 30 April 2004, serta dikuatkan lewat Keppres Nomor 15 Tahun 2004 yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri.
Yang perlu diperhatikan lagi, semua kebijakan dan skema di atas didasarkan bahkan pada UU No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, dan petunjuk teknis dalam Inpres No 8 Tahun 2002, serta payung politik dua Tap MPR; Ketetapan MPR Nomor VI/MPR tahun 2002 dan TAP MPR Nomor X/MPR tahun 2001 untuk penyelesaian di luar pengadilan.
Asal tahu sama semua dasar hukum dan payung politik yang disebutkan ini tidak ada yang dibatalkan, atau dicabut, atau diamendemen.
Juga, ditegaskan pada UU No 25/2000 ditegaskan kalau debitur yang telah menandatangani dan memenuhi MSAA perlu diberikan jaminan kepastian hukum. Waktu itu Inpres No 2 Tahun 2002 juga menyatakan, debitur yang kooperatif dalam melaksanakan perjanjian perlu diberikan kepastian hukum.
Berdasar Inpres itulah, KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) yang diketuai oleh Menteri Kordinator Perekonomian, Darajatun Kuntjoro-Jakti, memandatkan apabila semua ketentuan sudah dipenuhi maka BPPN harus menyampaikan surat bukti penyelesaian itu kepada Pemegang Saham dan instansi penegak hukum terkait untuk dapat segera ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Rekomendasi KKSK ini kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Saat itu, Laksamana Sukardi memerintahkan kepada BPPN untuk melaksanakan perintah KKSK. Sehingga BPPN mengeluarkan SKL kepada para debitur yang sudah menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah, termasuk BDNI ini.
Mengaca kepada dokumen sejarah lahirnya SKL itu maka pertanyaannya sekarang adalah kenapa lantas hanya SKL BDNI yang diutak-atik lagi.
Kenapa pemilik BDNI Sjamsul Nursalim yang sakit dan kini bermukim di luar negeri menjadi pihak yang menjadi sasaran tembak oleh KPK?
Padahal jika kita mau jujur dan terbuka masih banyak obligor yang belum memenuhi kewajibannya, seperti Atang Latief, Bank Indonesia Raya, James Januardy dan Adissaputra Januardy, Bank Namura Internusa, Ulung Bursa, Bank Lautan Berlian, Lidia Mochtar dan Omar Putirai, Bank Tamara, Marimutu Sinivasan, Bank Putera Multikarsa, Kaharudin Ongko, Bank Umum Nasional, serta Samadikun Hartono, Bank Modern.
Secara kasat mata, kita paham bahwa proses penyelesaian BDNI Sjamsul Nursalim sudah berjalan panjang dan melalui tahapan-tahapan yang didasarkan atas keputusan pemerintah.
Semuanya berjalan sesuai aturan hukum yang berlaku ketika itu. Kita harapkan tidak ada proses mengaduk-aduk masa lalu dengan sekarang ini sehingga kepastian hukum menjadi kemustahilan. Akankah kepastian hukum masih harus berproses dan terus diuji kembali? Inilah yang patut menjadi bahan renungan bagi upaya penegakan hukum serta supremasi hukum.
Singkat kata: jika KPK terus menerobos kasus BLBI, sementara di saat yang sama banyak kasus besar seperti Century yang tiba-tiba menguap tanpa bekas maka kita pun kembali bertanya-tanya: apa sebenarnya yang sedang dicari KPK? Apakah serangkaian OTT yang kau gelar selama ini hanya pemoles gincu semata? Jawaban atas ini hanya KPK yang tahu.
Harapan kita, lembaga antirasuah itu berkaca dan menegok ke belakangan bagaimana sebuah keputusan hukum yang sebenarnya terjadi. Sehingga, supremasi hukum menjadi sebuah kebenaran yang sesungguhnya. KPK menjadi lembaga antirasuah yang dikjaya dan bekerja secara profesional serta dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Jangan sampai publik mencurigai telah terjadi moral hazard atau abuse of power. Kita berharap sangat jangan sampai anggapan itu benar.
Oleh Pemerhati Sosial, Jun Kuncoro