Artikel ini ditulis oleh Agus Zaini, Co-Founder Cakra Manggilingan Institute.
“Politics is not the art of the possible. It consists in choosing between the disastrous and the unpalatable.”
“Politik bukan seni tentang kemungkinan, melainkan pilihan antara malapetaka dan hal tidak menyenangkan.”
John Kenneth Galbraith (1908-2006).
Pada penghujung Agustus 2023, panggung politik nasional diguncang oleh Abdul Muhaimin Iskandar, akrab disapa Cak Imin atau Gus Ami.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa sejak 2005 silam ini sukses menunjukkan kelasnya.
Walaupun bertubuh ‘mungil’, ia tampaknya ingin memberi pesan tentang kekuatan politiknya yang tidak dapat sekali pun diremehkan.
Di tengah kesenyapan politik pasca ingar-bingar deklarasi koalisi partai pengusung Prabowo 13 Agustus yang lalu, tiba-tiba pada tanggal 31 Agustus, dari markas Partai Nasdem, Surya Paloh mengumumkan keputusan politik bahwa telah lahir pasangan Capres-Cawapres 2024, yaitu Anies Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar.
Sontak publik pemerhati dunia politik geger. Bagaimana tidak? Kabar akan digelar deklarasi pasangan Anies Baswedan-Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Capres-Cawapres sudah santer terdengar.
Selangkah lagi, yakni tinggal penentuan tanggal yang tepat maka Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) yang terdiri dari Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat resmi memiliki pasangan bakal Capres-Cawapres.
Rencana itu kini lenyap, diempas kehadiran sosok baru di lingkaran KPP. Cak Imin berhasil membuyarkan mimpi indah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan anaknya, AHY.
SBY, Presiden ke-6 Republik Indonesia, sebagai ayah dari AHY pun merasa wajib turun gunung untuk merespons sikap mitra koalisinya.
Saat itu juga Majelis Tinggi Partai Demokrat menggelar emergency meeting, karena terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan dan tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, SBY berpandangan bahwa keputusan Anies Baswedan dan Nasdem untuk mengusung Muhaimin Iskandar sebagai Calon Wakil Presiden Anies sebenarnya justru menyelamatkan Partai Demokrat.
Ia mengekspresikan kekecewaan sekaligus mengungkapkan rasa syukur, karena partainya masih mendapat pertolongan Allah dan diselamatkan oleh sejarah.
Selain itu, SBY menilai, Anies tidak memenuhi kriteria akhlak seorang pemimpin, sebagaimana yang diajarkan dalam agama Islam. Menurutnya, Demokrat tidak perlu mendukung seorang calon presiden yang tidak jujur dan tidak amanah.
“Tidak amanah, berarti tidak bisa dipercaya dan mengingkari hal-hal yang disepakati, tidak pegang komitmen dan janjinya,” tegas SBY dengan raut wajah yang memendam rasa kecewa.
Wajar bila SBY marah. Pembentukan Koalisi Perubahan dan Persatuan bersama Nasdem dan PKS telah berproses cukup lama. Harapan besar SBY agar putra sulungnya dapat tampil sebagai Calon Wakil Presiden sekian lama terbayang dalam benaknya. Namun, semua itu kandas akibat manuver politik Surya Paloh dan sikap tidak amanah seorang Anies.
Analogi Permainan Ular Tangga
SBY telah menumpahkan isi hatinya. Rasa marah, kecewa, kesal, dan sesal diungkapkannya kepada publik dalam format formal. Kini, saatnya SBY bergegas mengatur strategi kembali mengejar ketertinggalan langkah.
Ibarat bermain ‘ular tangga’, Partai Demokrat masuk dalam kotak berisi kepala ular yang menelannya, hingga harus meluncur ke kotak paling bawah. SBY harus mengulangi permainan dari dasar, dengan harapan dapat meraih ‘tangga’ keberuntungan yang dapat mempercepat langkah politiknya.
Pada titik inilah kecerdasan SBY dalam menyusun dan memainkan strategi politik sedang diuji. Pengalamannya menjabat Presiden Republik Indonesia selama dua periode tentu menjadi modal utama dalam penyusunan keputusan strategis untuk menyelamatkan karier politik putranya.
Pemilu 2024 memang menjadi pertarungan terakhir bagi SBY untuk mengantarkan sang anak ke puncak pimpinan nasional, walaupun sebatas level dua, mengingat usianya sudah mencapai 74 tahun.
Setidaknya, apabila pada Pilpres 2024 AHY gagal menjadi kontestan maka akan sulit baginya untuk menemukan momentum ideal bagi kepentingan politiknya pada tahun 2029 dan 2034.
Secara umum, ada beberapa alternatif langkah politik yang bisa ditempuh oleh Partai Demokrat dan SBY. Pertama, Partai Demokrat menggagas koalisi baru bersama PPP dan PKS; atau bisa juga dengan PAN.
Apabila partai-partai tersebut bergabung dalam koalisi, tentunya dapat memenuhi syarat elektoral untuk mengusung Capres-Cawapres.
Koalisi tersebut sangat mungkin memunculkan pasangan Sandiaga Uno-AHY. Sebuah pasangan muda, good looking, sporty, dan cozy, yang bakal menjadi daya tarik kalangan pemilih milenial.
Kedua, Partai Demokrat bergabung ke koalisi yang sudah ada, mengusung Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto. Konsekuensinya, posisi tawar Partai Demokrat lemah dan mustahil bisa memosisikan AHY sebagai Cawapres.
Namun, setidaknya ada peluang bagi AHY menempati jabatan strategis pada pemerintahan baru sebagai bekal politik pada periode berikutnya.
Ketiga, mengeluarkan jurus pamungkas atau jurus terakhir yang paling ampuh; sebuah langkah yang hanya diketahui SBY. Sebagai langkah pamungkas tentu akan berisiko. Apabila berhasil dapat membawa AHY pada orbit politik yang menguntungkan. Namun, bila gagal, AHY akan kian terpuruk.
Apa pun strategi politik yang akan ditempuh oleh SBY dan Partai Demokrat sebaiknya tidak untuk sekadar melampiaskan kemarahan dan kekecewaan. Biarlah Surya Paloh, Anies, dan Cak Imin menikmati bulan madu politiknya.
Melihat karakter politik masing-masing, tentunya koalisi yang dibangun untuk mengusung pasangan Anies-Cak Imin sangat rentan dan rapuh. Cepat atau lambat koalisi ini akan menemukan takdirnya masing-masing; apakah sebuah malapetaka ataukah hal yang tidak menyenangkan.
SBY seharusnya mampu membalikkan keadaan yang menyakitkannya menjadi trigger factor untuk meraih kesuksesan sejati, baik untuk AHY atau Partai Demokrat. Anggaplah apa yang terjadi ini sebagai ‘kado indah’ menjelang hari kelahiran SBY dan Partai Demokrat pada 9 September nanti.
[***]