KedaiPena.Com – Memang tidak pernah dibahas secara terbuka adanya ketimpangan antara bumi putra dengan kelompok bisnis yang lebih mapan. Tapi, jika ketimpangan itu terus dibiarkan, cepat atau lambat akan terjadi kecemburuan sosial yang mendalam. Dan hal itu bisa berujung menjadi konflik dan kerusuhan sosial.
Demikian dikatakan begawan ekonomi Rizal Ramli dalam diskusi publik Forum Tebet, Jakarta, Jumat (29/3/2019).
“Di masa lalu, soal-soal yang sering memicu kerusuhan sosial lebih besar seperti di Solo tahun 1980-an, Situbondo Jawa Timur 1996 dan peristiwa Mei 1998 di Jakarta. Pertanyaan mendasar, apakah kita akan terus membiarkan kecemburuan sosial dan ekonomi itu terus berlangsung?,” tegas Rizal.
Memang pada masa Habibie, muncul inpres pelarangan penggunaan istilah ”pribumi dan non pribumi” karena sering dianggap sebagai ungkapan rasis. Menurut hemat Rizal, sudah waktunya kita membahas dan mengurangi perbedaan-perbedaan itu secara rasional dan bertahap.
“Pembangunan jika hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi saja, sering menimbulkan berbagai masalah ekonomi dan sosial di seluruh dunia. Adalah penting dan strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan (growth with equality) sehingga menciptakan harmoni yang langgeng diantara berbagai latar belakang sosial dan kelompok etnis di Indonesia,” kata RR, sapaannya.
Rizal kemudian sangat ingin bertanya kepada kedua capres, apakah mereka punya komitmen pada visi pembangunan yang bertumpu kepada pertumbuhan ekonomi dan keadilan, sehingga bermanfaat untuk kemajuan dan kesatuan Indonesia?
“Apakah capres 01 dan capres 02 mau memperbaiki ketidakadilan, ketimpangan dan kecemburuan sosial yang ada dengan melaksanakan kebijakan keberpihakan kepada bumi putra (affirmative policy) yang memberikan kesempatan lebih luas agar mobilitas vertika bumi putra semakin meningkat?,” lanjut eks Menko Perekonomian ini.
Dalam sejarahnya, affirmative policy dimulai dari Amerika Serikat untuk memberikan kesempatan dan peluang bagi kelompok minoritas dan perempuan. Misal untuk warga kulit hitam dan perempuan dalam bidang Pendidikan, ekonomi dan sosial. Lalu, affirmative action policy untuk mayoritas dimulai di Malaysia dibawah Tun Hussein Onn sehabis kerusuhan sosial di Malaysia tahun 1969.
“Affirmative policy di Indonesia, bisa dirumuskan dalam bentuk akses terhadap kredit, proyek-proyek pembangunan pemerintah, integrasi sosial dan profesional diantara kelompok di Indonesia, dan lain-lain. Kami bertanya dan berharap adanya jawaban tegas dari kedua capres sebelum dilaksanakannya Pilpres pada 17 April 2019 nanti,” seru Rizal.
Laporan: Muhammad Lutfi