KESALAHAN Presiden Joko Widodo memilih Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM yang baru, kalau itu bisa disebut kesalahan, sebetulnya tak perlu diperdebatkan secara panjang lebar. Tidak perlu dijadikan isu, seolah-olah Indonesia akan dijual ke Amerika “dengan harga murah” oleh Menteri Achandra Tahar.
Sebab Jokowi sebagai Presiden memiliki hak prerogatif yang tak dimiliki oleh siapapun.
Demikian pula sekalipun Menteri Arcandra memiliki kewenangan penuh, tetapi di era keterbukaan seperti sekarang, tidak mudah bagi dia untuk menjual Indonesia secara diam-diam.
Baru mau bergerak saja, belum bertindak, pasti sudah ada yang “teriak”.
Juga tidak perlu melebar dengan menganggap pos Menteri ESDM jatuh ke tangan seorang pengkhianat, mantan warga negara Indonesia.
Sebab untuk menjadi pengkhianat di Indonesia saat ini, tidak harus menduduki posisi formal – Menteri. Tidak pula harus meminda tangankan aset nasional kepada pihak asing. Setiap pejabat tinggi bisa saja menjadi pengkhianat.
Kewarga negaraan sebagai sebuah indentitas penting. Tapi dengan perubahan yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi, dunia dan antar negara sudah menjadi satu dan “borderless”. Tak ada lagi kawasan yang ada tapal batasnya.
Saya lebih menghargai Arcandra yang “pindah” kewarganegaraan, tetapi tanpa berbuat keonaran.
Achandra jauh lebih berjiwa patriot dan sportif ketimbang mereka yang mengaku sebagai warga negara Indonesia, tetapi dalam tindakan mereka menjadi teroris ataupun maling raksasa.
Kalaupun benar Arcandra Tahar memiliki dwi kewargenegaraan, yang perlu kita tunggu apakah ia mampu menciptakan sektor minyak dan gas sebagai bisnis yang menyejahterahkan seluruh rakyat Indonesia. Siapapun perlu diberi kesempatan dulu, baru dilihat kemampuannya.
Anggap saja Arcandra sebagai warga negara Amerika yang kita sewa menjadi seorang CEO yang menangani bisnis migas.
Untuk apa kementerian ESDM dipimpin oleh seorang yang kelihatannya pandai, patriot dan nasionalis, tetapi hasil kerjanya kosong. Atau bahkan hanya merugikan bangsa dan negara.
Coba bayangkan. Pertamina sebagai perusahaan yang ditopang oleh kekayaannya minyak dan gas demikian banyak, sudah dipimpin oleh sejumlah Dirut WNI. Hasilnya ?
Malah tertinggal jauh dari Petronas, Malaysia yang cadangan minyaknya tak seberapa.
Sri Mulyani seorang warga negara Indonesia yang di-hire oleh Bank Dunia untuk menjadi Managing Director selama 6 tahun. Padahal dana dan saham Bank Dunia dimiliki oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Mengapa status kewarga negaraan Sri Mulyani tidak menjadi persoalan?
Di luar pos atau jabatan resmi. Sejumlah negara mengangkat pelatih tim nasional sepakbola, dengan pelatih asing. Amerika Serikat misailnya dilatih Jurgen Klinsmann dari Jerman.
Uang yang dibelanjakan Federasi Sepakbola AS berjumlah triliunan. Tapi mengapa publik AS tidak mempersoalkan kewarga negaraan Klinsmann ?
Ini semua seharusnya menjadi bahan pelajaran bagi kita.
Terlalu berlebihan dan cenderung mempolitisisasi kalau dengan “kesalahan” itu, seolah-olah Presiden Jokowi sudah melakukan tindakan yang membodohi bangsa. Sementara kepada Arcandra kita menuduhnya sebagai intelektual yang melakukan kebohongan publik.
Kalau benar Achandra Tahar sudah mengantongi kewarga negaraan Amerika, tetapi karena kecintaannya pada Indonesia demikian tinggi lantas dia memilih kembali ke Indonesia, justru itu yang harus dihargai. Bukan dengan mencaci makinya.
Bukankah banyak orang Indonesia yang bercita-cita menjadi warga negara Amerika dengan cara mengikuti loterei, kemudian setelah berhasil, tapi kemudian memilih kembali ke Indonesia?. Saya punya sejumlah nama, walaupun untuk saat ini tidak perlu disebutkan.
Bukankah banyak orang yang merindukan Presiden Turki Tayyip Erdogan untuk bisa menjadi Presiden Indonesia ? Apakah maksudnya Presiden Turki lebih pro Indonesia ketimbang Joko Widodo ?
Sepanjang yang bisa dipahami, Arcandra Tahar merupakan anak jenius. Karena kejeniusannya konon dia memiliki beberapa hak patent di bidang gas dan perminyakan. Bangsa besar seperti Amerika sangat menghargai orang jenius seperti Arcandra. Maka mereka tak ragu menawarinya kewarga negaraan dan tentu saja fasilitas.
Kalau Arcandra sudah tahu bakal jadi Menteri di Kabinet Indonesia, saya ragu dia mau menerima kewarga negaraan Amerika Serikat.
Boleh jadi Arcandra terpaksa harus menjadi warga Amerika kalau tidak mau kehilangan hak atas hak patentnya.
Sementara kalau berharap atas bantuan (pemerintah) Indonesia, untuk mendapatkan pengesahan hak patent tersebut, sudah pasti tak akan berhasil atau percuma.
Sehingga proses dan alasan dia menjadi warga negara Amerika Serikat itu, itulah yang perlu dipahami terlebih dahulu.
Mengapa saya cenderung membela Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM yang baru tersebut ?
Karena kecenderungan yang ada, apapun yang dilakukan Presiden pasti salah. Cara pandang seperti ini, tidak tepat.
Sejatinya, situasi Indonesia saat ini masih menghadapi krisis berkepanjangan. Krisis ini terus berlanjut antara lain karena kita sangat miskin SDM yang kapabel.
Stok SDM (Sumber Daya Manusia) kita yang berkualitas tidak sebanyak yang dimiliki oleh Malaysia. Kalaupun ada yang berkualitas, tapi seringkali mereka disisihkan atau tidak diberi kesempatan.
Kasus Arcandra Tahar sebetulnya, agak mirip dengan BJ Habibie. Bedanya, ketika Habibie diangkat menjadi Meneri Ristek di tahun 1978 tak satupun pengamat, komentator yang mempersoalkannya. Nah pertanyaan menarik, apakah setelah Habibie masuk kabinet Presiden Soeharto lalu seluruh harta kekayaan Indonesia dijualnya ke Jerman (Barat) ?
Bahkan ketika Habibie dipilih Presiden Soeharto sebagai pasangannya untuk pos Wakil Presiden, tak ada suara protes sekeras seperti sekarang ini. Mengapa ?
Jangan-jangan kasus Arcandra hanya dijadikan alasan untuk mengritik dan menghujat Presiden Joko Widodo.
Memang ada kesalahan yang bersifat psikologis yang dilakukan Presiden Joko Widodo. Yaitu dengan tidak melakukan bantahan, klarifikasi atau pembenaran soal kewarga negaraan Arcandra.
Ditambah lagi reaksi Menteri Luhut Panjaitan yang reaktif dan terkesan sangat militeristik.
Presiden Jokowi yang disorot dan dikritik, tpi yang berreaksi justru Menteri Luhut yang selalu bersuara “…… nanti kita buldoser…..”.
Apanya yang mau dibuldoser ? Emangnya kita kembali hidup di zaman represif ?
Para pengeritik kesalahan Presiden Joko Widodo terkesan sudah sangat subyektif. Apa saja yang dilakukan bekas Walikota Solo itu, semuanya salah.
Banyak yang lupa, kesalahan Joko Widodo sewaktu menetapkan Arcandra, tanpa melakukan verifikasi. Tapi kesalahan itu bukan sesuatu yang kualitasnnya seperti melanggar konstitusi. Kesalahan Jokowi karena dia melakukan sendiri.
Sementara pada tahun 1999, hampir sebanyak 1.000 anggota MPR melakukan kesalahan kolektif.
Melalui Sidang Istimewa MPR-RI mayoritas dari wakil rakyat yang berjumlah 1.000 anggota MPRI-RI, memilih Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden.
Padahal pada waktu itu semua anggota MPR-RI sadar bahwa Gus Dur, demikian dia akrab disapa, secara fisik tidak memiliki penglihatan yang sempurna. Terjadi pelanggaran konstitusi secara bersama-sama.
Tanpa mengurangi rasa hormat atas sikap kenegarawanan almarhum Gus Dur, pemilihan itu diakui melanggar ketentuan yang ada dalam UUD 45.
Lantas mengapa soal Archandra, yang jabatannya lebih rendah dari Presiden, kita meributkannya dengan begitu serius ?
Catatan Tengah Jurnlis Senior Derek Manangka