PEMERINTAH Indonesia saat ini sedang membahasan dan memfinalisasi Perppu pemberatan bagi kejahatan seksual anak untuk memperkuat Undang Nomor 35 Tahun 2014, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. sikap pemerintah ini terkait kedaruratan situasi kejahatan seksual di Indonesia.
Namun sikap pemerintah terkesan hanya memikirkan tindakan yang akan diberikan bagi para pelaku kejahatan seksual anak, namun apakah pemerintah memberikan perhatian bagi korban dan keluarganya setelah kejadian ini?
Pada kasus-kasus kekerasan seksual khususnya kepada anak, selama ini pemerintah hadir seperti “Pemadam Kebakaran†saat kasus-kasus tersebut terangkat ke media. Bahkan keadilan bagi korban terkesan hanya ketika pelaku mendapatkan hukuman berat. Pemerintah hanya puas dengan menjatuhkan  saksi yang berat untuk mendukung efek jera pada kasus-kasus kekerasan seksual anak.
Namun apakah pemerintah pernah memikirkan kondisi korban dan keluarga korban setelah kejadian? Sejauh ini pemerintah belum memberikan hak-hak anak korban kejahatan seksual. Undang-undang yag ada saat ini hanya mengatur secara terbatas  hak-hak korban, bahkan sampai saat ini dalam praktiknya tidak jelas implementasi hak-hak korban tersebut.
Data dari Koalisi perlindungan Saksi dan korban menunjukkan bahwa di Lembaga Perlindungan Saksi (LPSK) implementasi hak ini justru sangat minim. Apabila dipersentasikan, dari informasi yang dimiliki ICJR, jumlah anak korban kekerasan seksual yang selama ini mendapatkan layanan Medis dan Rehabilitasi Psikologis& Psikososial dari LPSK bahkan tidak mencapai angka 3% dari seluruh jumlah layanan pertahun.
Selain data dari LPSK, sangat sulit mencari data resmi berapa jumlah layanan rehabilitasi yang diberikan bagi korban kejahatan seksual, khususnya anak. Â Intinya data data soal angka rehabilitasi korban sangat lemah. Pemerintah Indonesia bahkan tidak pernah menaruh perhatian pada pentingnya data tersebut.
Inilah yang mengakibatkan kebijakan penanganan kasus kejahatan seksual, utamanya hanya mendasarkan pada keramaian di media. Penggunaan data yang komprehensif tidak pernah menjadi pertimbangan sebagai dasar pembentukan kebijakan yang menyeluruh bagi penanganan kasus kejahatan seksual dan korban kejahatan seksual.
Kegentingan ini yang harusnya menjadi fokus dari pemerintah, Ketimpang perhatian antara Pelaku dan korban menunjukkan bahwa ada yang salah dari kebijakan hukum hukum kebiri
UU yang ada, minim mengatur mengenai hak korban secara komprehensif yakni hak atas Kompensasi ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban. Hak restitusi (ganti rugi oleh pelaku), hak bantuan medis, psikologis bagi korban pasca peristiwa kejahatan, rehabilitasi (pemulihan) korban kejahatan seksual. Hak hak ini harus masuk ke dalam rencana Perppu.
Koalisi mendesak,  Pemerintah seharusnya menjalankan tanggungjawabnya untuk memberikan  hak hak tersebut bagi korban ataupun keluarga korban kekerasan seksual anak. Bila Perppu tidak memasukkan hakhak korban tersebut, maka Perppu ini akan gagal merespon kedaruratan kekerasan seksual terhadap anak.
Rancangan perppu yang disusun jangan melupakan nasib korban kejahatan seksual. Maka berdasarkan dengan itu kami Meminta kepada Pemerintah agar memasukkan pemenuhan hak-hak korban dalam Perppu, yakni:
Pertama hak untuk memberikan kompensasi bagi korban ataupun bagi keluarga korban, pemberian kompensasi ini dilakukan karena merupakan tanggung jawan negara untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak. Koalisi mendesak agar hal atas kompensasi (tanpa melalui mekanisme pengadilan) Â ini segera di masukkan ke dalam rencana Perppu.
Kedua, memasukkan hak restitusi secara khusus bagi kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak, termasuk mengupayakan prosedurnya maupun aksesnya agar terjangkau oleh korban kejahatan seksual
Ketiga, mendorong hak bantuan medis, psikologis, maupun psikososial secara cuma-cuma bagi korban segera pasca peristiwa, termasuk bagi keluarga korban
Keempat, mendorong rehabilitasi termasuk proses re-integrasi dengan menggunakan prinsip-prinsip perlindungan yang baik terhadap korban untuk kembali kepada keluarga, sekolah dan masyarakat.
Oleh Supriyadi Widodo Eddyono, Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban