KARENA pangkal tolak demokrasi Pancasila adalah kekeluargaan dan gotong royong, maka demokrasi tidak mengenal kemutlakan golongan, baik kemutlakan karena kekuatan, fisik, ekonomi, kekuasaan maupun besarnya jumlah suara.
Kehidupan demokrasi Pancasila tak boleh diarahkan untuk semata-mata mengejar kemenangan dan kepentingan pribadi atau golongan sendiri, apalagi ditujukan untuk mematikan golongan lain.
Azas demokrasi Pancasila sebenarnya telah diatur secara konstitusional, ialah mengikutsertakan semua golongan yang mempunyai kepentingan dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dengan jalan musyawarah untuk mufakat.
Sejujurnya saya kurang memahami apa yang dimaksud DR. Denny JA dengan frasa ‘Demokrasi Pancasila yang Diperbarui’. Apa pembaruan dalam konsep atau pembaruan dalam cara prakteknya. Saya merasa bahwa dari segi konsep Demokrasi Pancasila sudah cukup komprehensif dan tak ada yang perlu kita perbarui. Urgensinya hemat kami adalah dalam cara pandang dan cara praktek Demokrasi Pancasila itu yang perlu selalu kita perbarui.
“Liberalisasi Ideologi Negara Pancasila†karya Prof. Dr. Kaelan, M.S. maka ideologi Pancasila sebagai filosofi bangsa dan dasar Negara Indonesia yang dengan susah payah dirumuskan dan diperjuangkan oleh pendiri bangsa, dewasa ini ditenggelamkan, dimarjinalkan dalam realisasi kebijakan kenegaraan. Tinggal hanya sebatas rumusan verbal dalam Pembukaan UUD 1945, sedangkan dalam realisasi praksis justru mengagungkan dan mendasarkan pada filsafat liberal.
Hal ini bisa kita lihat dalam putusan-putusan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun di daerah yang mendasarkan pada filosofi liberalisme.
Dalam aspek kehidupan masyarakat Indonesia dalam bernegara saat ini jauh dari mencerminkan identitas kenegaraan yang berlandaskan filosofi Pancasila.
Proses terbentuknya Negara Indonesia bukanlah sebagai proses kesepakatan individu karena adanya ‘homo homini lupus’, karena adanya penindasan individu lain dalam kebebasan alamiah, melainkan suatu proses kesepakatan, konsensus antar elemen bangsa yang membentuk suatu bangsa dan Negara Indonesia.
Unsur-unsur tersebut meliputi suku bangsa, ras, golongan, budaya, agama bahkan juga kalangan kerajaan-kerajaan serta secara geografis terdiri atas beribu-ribu pulau dengan local-wisdom-nya masing-masing, yang unsur-unsur itu telah ada sebelum Negara Indonesia terbentuk.
Proses terbentuknya ideologi bangsa Indonesia berbeda dengan ideologi-ideologi besar lainnya seperti liberalisme, komunisme, sosialisme, dan lain sebagainya.
Pancasila digali dan dikembangkan oleh para pendiri Negara dengan melalui pengamatan, pembahasan dan konsensus yang cermat.
Nilai-nilai Pancasila yang bersumber dari budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri disublimasikan menjadi suatu prinsip hidup kebangsaan dan kenegaraan bagi bangsa Indonesia. Berdasarkan proses kausalitas perumusan dan pembahasan Pancasila tersebut maka sumber materi yang merupakan nilai-nilai kultural dan religius, pada hakekatnya dari bangsa Indonesia sendiri. Dengan lain perkataan lain bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan kausa meterialis bagi Pancasila.
Untuk meyakinkan bahwa nilai nilai dasar Pancasila itu merupakan “produk” Indonesia asli kita telaah sejenak tentang Kesultanan Buton di Sulawesi Tenggara.
Bagi intelektual yang keranjingan ilmu dari barat atau dari negara lain, mungkin bijak juga jika belajar kearifan dari lokal Indonesia yang nilainya tidak kurang mulia. Misalnya tentang kerajaan Buton yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Buton.
Pelajaran pertama: menghormati perempuan. Pada periode Kerajaan antara tahun 1322 sampai Abad ke 16, dipimpin oleh enam raja diantaranya dua orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton.
Kedua: kesultanan demokratis. Pada periode kerajaan berubah jadi kesultanan (abad ke 16), demokrasi memegang peranan penting. Sultan bukan berdasarkan keturunan namun dipilih oleh Siolimbona, dewan yang terdiri dari 9 orang penguasa dan penjaga adat Buton.
Ketiga, sultan puasa seks. Setiap sultan berjanji untuk tidak lagi tidur dengan permaisuri demi menghindari lahirnya putra mahkota saat mereka bertahta. Karena bila sampai lahir seorang putra, maka kesultanan tidak lagi melalui proses demokrasi melainkan diwariskan kepada keturunannya.
Keempat: sanggup menerima hukuman mati. Saat pelantikan, sultan terpilih akan membuat sumpah untuk menjalankan UU negara yang disebut Murtabat Tujuh, dan menerima konsekuensi digantikan atau bahkan kehilangan nyawa bila melanggar UU tersebut. Sultan ke-VIII La Cila Maradan Ali (Gogoli yi Liwoto) 1647–1654, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali.
Kelima: patuh pada falsafah kesultanan. Falsafah hidup Kesultanan Buton ini lahir pada akhir abad ke-16 M. Falsafah Hidup Kesultanan Buton meliputi Agama (Islam), Sara (pemerintah), Lipu (negara), Karo (diri pribadi/rakyat) dan Arataa (harta benda).
Kita akan bahas falsafah di atas dibandingkan dengan Pancasila. Soekarno adalah salah seorang pemimpin pejuang kemerdekaan yang gandrung menggali nilai-nilai perjuangan dari nilai-nilai luhur budaya bangsanya. Salah satu buah pemikirannya adalah tentang Pancasila.
Entah karena membaca riwayat Kesultanan Buton atau kebetulan, ternyata ada kemiripan antara Pancasila versi Soekarno dengan Pancasila versi Kesultanan Buton buah karya Sultan La Elangi Dayanu Ikhsanuddin (1578-1615 M), Sultan Buton ke-4.
Perhatikan Falsafahnya:
1. Taat pada ajaran Agama (Islam). Bandingkan demgan sila I Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Tegakkan pemerintahan (Sara) yang adil. Bandingkan dengan sila 2 Pancasila; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
3. Negara (Lipu) yang Utuh dan Bersatu. Bandingkan dengan sila 3 Pancasila Persatuan Indonesia.
4. Diri/Pribadi-Rakyat atau Karo yang bijak. Bandingkan dengan sila 4 Pancasila: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
5. Harta benda (Arataa) harus dilindungi dan berguna bagi kepentinagan umum. Bandingkan dengan sila 5 Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Soekarno mendapat penghargaan dari Universitas Al Azhar Kairo atas pemikirannya tentang Pancasila. Syeikh Mahmud Syaltut menyatakan : “penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Muslim).
Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh Al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin†(tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang djadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman). Pemimpin Arab berkata; kami satu ras tapi terpecah atas berbagai bangsa. Indonesia beragam ras/suku bersatu karena Pancasila.
Mengapa kita kurang bangga dengan karya dan budaya bangsa kita yang telah dihargai sedemikian tinggi oleh bangsa luar?
Oleh M.Hatta Taliwang, Direktur Institut Soekarno Hatta (ISH)