DAULAT Politik, bila basisnya adalah Trisakti Bung Karno adalah berdaulat politik, berdikari ekonomi, dan berkepribadian budaya. Maka sebenarnya dalam usianya yang menginjak 74 tahun Indonesia hanya “sepertiga merdeka”.
Mengapa hanya sepertiga? Karena dari tiga elemen di Trisakti, secara relatif hanya satu elemen, berdaulat politik, yang berhasil dimenangkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Saya sebut relatif karena masih ada aspek kedaulatan wilayah yang masih di bawah subordinasi negara lain (masalah lorong udara/FIR yang puluhan tahun dikuasai Singapura).
Sementara selebihnya, politik kita cukup berdaulat. Indikator-indikatornya:
1) Yang terbaru, Indonesia berani menantang dominasi Tiongkok di wilayah sengketa di perairan Pasifik yang berbatasan langsung dengan wilayah kita, dengan mengganti nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara.
2) Indonesia rutin terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, menunjukkan pengakuan negara-negara Dunia atas kekuatan militer Indonesia (yang meskipun TNI minim alutsista tetapi anggotanya memiliki keahlian menembak terbaik di dunia).
3) Dukungan setia Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina, yang menunjukkan independensi kita atas tekanan Amerika Serikat dan Israel.
4) Bahkan, saking terlalu berdaulatnya, Indonesia pernah berekspansi mencaplok Timor Leste (yang bukan termasuk wilayah Hindia Belanda di era kolonialisme) selama 24 tahun.
Juga tentu indikator lainnya mungkin yang belum saya sebutkan. Tapi secara umum harus diakui Indonesia berhasil memenangkan Sakti pertama ini.
Lalu, apa kabar duapertiga kemerdekaan yang belum berhasil diraih?
Berdikari Ekonomi
Berdikari Ekonomi tentu selalu menjadi jargon kampanye yang selalu berbunyi setiap lima tahun sekali, didengungkan oleh berbagai kelompok dan elit politik sebagai pemanis pidato-pidato mereka di depan rakyat. Kenyataannya perekonomian kita sangat jauh dari semangat berdikari.
Indikator-indikatornya:
1) Sebagian besar produk pangan kebutuhan pokok rakyat Indonesia masih bergantung pada impor. Bahkan untuk produk-produk yang seharusnya kita dapat berdikari (mengingat bentang wilayah, luasnya lahan, besarnya pekerja di sektor ini, dan sejarah gemilang masa lalu kita), seperti garam, beras, ketela, gula, daging sapi, dan bawang putih, Indonesia masih mengimpor sangat banyak dan bahkan berlebih.
2) Kebutuhan bahan baku energi (terutama minyak bumi dan turunannya) mayoritasnya juga masih diimpor. Disebutkan, kontribusi impor energi inilah penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan kita. Kebijakan energi terbarukan masih berupa jargon dan mimpi-mimpi, tanpa adanya eksekusi yang memadai. Segala potensi sumber daya terbarukan yang sejak bertahun-tahun lalu dipamerkan ke publik, seperti panas bumi, angin, dan matahari, hingga kini masih terus berupa potensi.
3) Rapuhnya industri manufaktur nasional. Terjadi percepatan deindustrialisasi akibat serbuan barang impor, terutama yang berasal dari Tiongkok. Wilayah khusus industri seperti Batam yang pernah jaya di masa Suharto, kini sebagian besar industri dan galangan kapal sudah pergi, sehingga mengalami kontraksi ekonomi yang menyisakan PHK massal. Yang teraktual adalah sekaratnya industri baja nasional milik negara, semata wayang peninggalan Sukarno, akibatnya derasnya impor baja Tiongkok. Dahulu Sukarno berharap Krakatau Steel dapat menjadi pendorong industrialisasi nasional, kini setengah abad berselang malah ikut menjadi korban deindustrialisasi.
4) Liberalisasi perbankan ugal-ugalan, terlalu leluasanya perbankan asing diizinkan beroperasi di Indonesia, hingga dapat memiliki cabang ke pelosok-pelosok wilayah yang seharusnya merupakan kekuasaan perbankan nasional. Padahal hal yang sama tidak berlaku untuk bank Indonesia di manapun di luar negeri.
5) Mitologi mobil nasional. Rencana memiliki mobil nasional hasil karya anak bangsa ternyata sudah masuk area mitologi. Alias hanya ada ceritanya saja yang bertele-tele dan berbunga-bunga dibumbui berbagai peresmian basa-basi, tanpa dapat benar-benar dirasakan wujudnya oleh rakyat si mobil nasional tersebut. Di Asia Tenggara, kita sudah jauh tertinggal dari Malaysia dan baru saja tertinggal dari Vietnam yang sudah memiliki mobil nasionalnya sendiri. Mobil Tiongkok sudah mulai menyerbu pasar Indonesia, yang sudah 40-an tahun dikuasai mobil Jepang dengan sedikir persaingan dari mobil Korea, Eropa, dan AS.
Apa yang membuat ekonomi tidak kunjung berdikari? Yang terutama adalah akibat dari jalan lama yang dipilih oleh nahkoda perekonomian nasional. Jalan lama itu adalah jalan pikiran neoliberalisme, jalan yang dianjurkan oleh grup Bank Dunia-IMF untuk diterapkan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia.
Sejarah mencatat, neoliberalisme tidak pernah sukses menjadi resep kemajuan negara dunia ketiga, yang terjadi bukan keajaiban ekonomi yang muncul, melainkan petaka ekonomi. Susah bagi rakyat untuk menangkap arti kata ini, tetapi seharusnya rakyat dapat merasakan.
Bila rakyat melihat fakta di sekitarnya bahwa yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin dan semakin banyak. Bila pajak hanya gencar menyasar rakyat kecil, tapi meloloskan pajak para taipan dan oligarkinya (kasus yang belum terbuka ke publik adalah rendahnya pajak di pasar berjangka Indonesia, pajak bukannya menyasar ke gain investor, tapi malah ke fee dari trader/broker).
Bila subsidi untuk rakyat dicabut, tapi subsidi untuk para taipan dan oligarkinya malah diperbesar. Bila pertumbuhan ekonomi terganjal stagnan di 4-5%, tapi utang bertumbuh dua kali lipat hingga 10% pertahun. Itu berarti neoliberalisme sedang bekerja, dengan berbagai varian kebijakannya: pengetatan anggaran (austerity), liberalisasi finansial dan perdagangan, sistem kontrak-outsourcing dan union busting.
Uniknya, untuk kasus pemerintahan Indonesia. Sejak awal Orde Baru hingga Jokowi, hanya diselingi sebentar kurang dari 2 tahun di era Gus Dur yang tak sempat tuntaskan jalan ekonomi konstitusi, nahkoda ekonomi selalu dari kelompok yang sama, yang melestarikan neoliberalisme. Jalan lama, yang sudah ditinggalkan.
Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Vietnam adalah bukti nyata kesuksesan negara di Asia yang tidak menerapkan neoliberalisme, melainkan memilih jalan ekonominya sendiri. Kita sebut saja jalan ekonomi Asia, atau untuk di Indonesia: jalan ekonomi Konstitusi.
Nahkoda yang melestarikan neoliberalisme artinya melanggar Konstitusi, tidak menjalankan Pasal 33 UUD 1945. Dampaknya Sakti yang Kedua, Berdikari Ekonomi, tidak pernah menang. Sudah lebih dari 50 tahun janji berdikari tidak didapatkan ekonomi. Pilihan Jokowi untuk meneruskan jalan lama itu, atau ambil resiko mengambil jalan baru ekonomi Konsitusi di periode kedua.
Kepribadian Budaya
Untuk memenangkan dua sakti yang pertama, daulat politik dan berdikari ekonomi, disediakan perangkat yang spesial di kabinet pemerintahan umumnya. Ada posisi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan Menteri Koordinator Perekonomian.
Untuk memenangkan Sakti Daulat Politik memang tidak perlu nahkoda yang special saat ini, Indonesia saat ini ada berkat fondasi sejarah kegemilangan politik anti penjajahan Bung Karno di masa lalu yang mewangi di kancah Dunia, dan juga kenangan dunia atas sejarah politik tangan besi dan semangat anti komunisme Jenderal Suharto yang angker.
Hanya memang untuk mencapai berdikari ekonomi tidak bisa tidak harus mengganti nahkoda jalan lama yang anti konstitusi, Indonesia harus memilih jalan ekonominya sendiri yang berbeda dari yang berlaku selama ini.
Sedangkan untuk Sakti yang Ketiga: Kepribadian Budaya, tidak ada kapal dan nahkodanya. Jadi selama ini Tri Sakti jalannya timpang karena ada satu sakti yang tak punya perahu besar bernahkoda. Maksud saya nahkoda di sini adalah seorang pembantu Presiden, alias Menteri.
Nahkoda agung tetap Presiden, tetapi untuk Kebudayaan juga sebaik-baiknya diadakan nahkoda tersendiri. Cukup kementerian biasa, tidak perlu kementerian koordinator.
Betul, harus ada kementerian sendiri yang mengurusi kebudayaan nasional.
Kebudayaan nasional harus dipisahkan dari kerja pendidikan nasional. Bila budaya bangsa saja belum jelas kepribadiannya, apa yang mau kita didik ke anak-anak kita. Budaya dan Pendidikan haruslah setara di rapat kabinet. Kementerian baru ini akan bekerja siang malam untuk mencari akar kebudayaan kita, kepribadian kita. Memiliki pos anggaran yang cukup untuk dapat memperbaiki ribuan situs-situ sejarah dan puluhan museum yang tidak terawat.
Mengarsipkan kembali abjad-abjad, huruf-huruf peninggalan nenek moyang yang hampir punah, dan mengajarkannya ke sekolah-sekolah. Agar penerus bangsa kita dapat membaca batu-batu prasastinya sendiri, tidak begitu saja percaya kepada penafsiran para sejarawan kolonial.
Kita perlu menelaah kembali sejarah-sejarah atau legenda-legenda dalam perspektif yang terbebas dari pendekatan masa lalu yang penuh dengan tekanan politik- yang sebagiannya di bawah ancaman senjata. Sehingga kita bisa menulis ulang sejarah kita dengan lebih jujur dan kaya.
Menceritakannya kembali akar Kepribadian Bangsa kepada anak-anak muda, tentu dengan pengemasan yang sesuai era dan gaya mereka.
Kegagalan program Revolusi Mental bukan salah siapapun. Tidak mungkin kita dapat membangun suatu revolusi mental, perubahan karakter, di atas kepala bangsa yang belum memiliki kepribadian. Meskipun sungguh, sangat beruntunglah, tingkat budaya Bangsa kita ini sudah tinggi dari sananya.
Buktinya, para seniman muda Indonesia dapat dengan jerih payahnya meraih berbagai penghargaan di kancah internasional (semisal di bidang film). Musik dan musisi yang trend Indonesia biasanya akan juga menjadi trend di negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Bahkan beberapa produk budaya nenek moyang Indonesia , seperti Batik dan kisah Panji, sempat menjadi polemik saat diakui hak ciptanya oleh negara tetangga.
Jadi jangan diragukan lagi tinggi bakat dan keahlian para seniman budayawan Indonesia, setidaknya di kalangan Asia Tenggara masih nomor satu. Jadi modal dasarnya sudah ada, awaknya sudah ada, tinggal kita buat perahunya dan pilih nahkoda yang tepat.
Oleh Gede Sandra, Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)