RATUSAN juta rakyat Indonesia sudah mendengar pidato 5 halaman padat dari Anies Baswedan, gubernur DKI baru. Dalam pidato singkat padat itu termuat visi yang kuat dari Anies untuk membangun Jakarta dengan berbasis (1) untuk Pribumi, (2) memuja Rahmat Allah, (3) berkeadilan sosial, (4) gotong royong, (5) sosialisme atau untuk semua, bukan untuk segelintir orang kaya saja, (6) berkebudayaan dan (7) rakyat sejahtera dan bahagia, (8) pemimpin Jakarta hadir dan memihak rakyat dalam pembangunan.
Pidato Anies ini telah menempatkannya “beyond” Jakarta. Sebab, selain tidak bergaya “power point”, Anies telah memasukkan visi kebangsaan, kedaulatan dan sekaligus keadilan yang menembus batas ibukota. Sebuah visi yang hilang selama rezim Jokowi berkuasa.
Perang Reklamasi
Tantangan terbesar Anies mewujudkan visinya melawan kapitalis dan mengutamakan nasib Pribumi akan terlihat dalam soal Reklamasi teluk Jakarta. Luhut Binsar Panjaitan (LBP) terkesan cepat dan ligat memacu pencabutan moratorium Reklamasi sebelum Anies Baswedan berkuasa di Jakarta.
LBP sebagai pendukung Ahok pada pilgub lalu, tentu takut tidak mampu bekerja sama dengan Anies. LBP menggertak bahwa Reklamasi akan jalan terus dan Pemda DKI harus ikut kemauan pemerintah pusat.
Pernyataan LBP ini kontan membuat rakyat bingung, serta menimbukan polemik, sebab moratorium reklamasi ini tadinya justru dilakukan oleh kementerian maritim sendiri, bulan Mei tahun lalu, ketika menterinya seorang idealis, Dr. Rizal Ramli.
Rizal Ramli menghentikan Reklamasi karena dianggap proyek ini sudah berjalan jauh tanpa ijin-ijin dan studi-studi yang menyangkut kepentingan nasional, baik dari sisi lingkungan hidup, kepentingan nelayan, dan target pasar properti yang akan menghadirkan jutaan penduduk baru di Jakarta.
Sejalan dengan Rizal Ramli, rakyat Jakarta sebagai “stakeholder” kota, telah menyatakan keberpihakannya atas penolakan reklamasi, dengan memilih gubernur baru yang anti reklamasi.
Selain masalah teknokrasi dan yang menyangkut lingkungan hidup, serta nasib nelayan, yang digugat Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ), sebagian tokoh kebangsaan, seperti Sri Bintang Pamungkas (SBP), mempersoalkan rencana jutaan imigran asal RRC akan menduduki wilayah reklamasi tersebut.
Ketakutan SBP bersumber dari iklan berbahasa Cina Mandarin pada marketing property reklamasi dan rendahnya daya beli masyarakat Indonesia saat ini.
Meskipun 3 pulau (G, C dan D) sudah dicabut moratoriumnya oleh SK Menko Maritim, dan sertifikat pulau G sudah diserahkan Jokowi kepada Pemda beberapa waktu lalu, tetap saja gugatan rakyat menggema. Antara lain tuduhan LSM anti reklamasi yang menyatakan bahwa konsultasi publik yang dilakukan pemerintah dilakukan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan mereka.
Sedangkan soal sertifikat pulau, digugat LSM Pakta, bahwa ijin 5000 Ha Pulau G di luar wewenang BPN setingkat kotamadya.
Namun, kembali ke pertanyaan inti soal reklamasi adalah sebagai berikut: (1) untuk apa dan siapa reklamasi itu dilakukan, (2) apakah rekalamsi itu wewenang Pemda atau Menko Perekonomian.
Anies Sandi dan Reklamasi
Sikap Anies dalam reklamasi sudah jelas diungkapkan nya saat kampanye lalu. Anies mengejek Ahok pada bulan Maret 2017 bahwa Ahok mengizinkan dan menjalankan reklamasi yang melanggar aturan.
Bahkan ketika Ahok mengatakan soal Reklamasi ini adalah sejak Orde Baru, Anies menyerang Ahok yang berwatak Orba tanpa mau berubah. Anies menggaris bawahi bahwa orde saat ini justru harus memberi perubahan korektif dari Orde Baru.
Selain melanggarnya, terkait ini, Anies memberi kritikan bahwa Reklamasi itu hanya menguntungkan pengembang besar dan meminggirkan nasib nelayan.
Sikap Anies ini berwatak ideologis, karena mengutamakan pertanyaan “untuk apa dan untuk siapa reklamasi itu?’. Sebaliknya, LBP tidak pernah membicarakan untuk siapa dan siapa diuntungkan dari bisnis ribuan triliun yang dirancang di lahan negara tersebut?
Dari sini kita melihat bahwa selama sikap Anies Sandi konsisten pada penolakan reklamasi vs sikap Jokowi dan LBP yang pro reklamasi, maka perang tanding soal reklamasi ini akan terus menerus memanaskan ibukota.
Untuk aspek legal, Anies dapat melandaskan kekuatannya pada preseden bahwa semasa Ahok gubernur, sikap Jokowi dan LBP mengerahkan sepenuhnya urusan SK SK ijin reklamasi kepada Ahok.
Kenapa sebaliknya saat ini terkesan urusannya diambil pemerintah pusat? Bukankah dalam era reformasi dan otonomi daerah, kekuasaan pemerintahan pusat hanya pada 5 hal penting, yakni agama, kehakiman, pertahanan dan keamanan, keuangan dan luar negeri saja? Untuk apa pemerintah pusat mencampuri urusan pembangunan kota Jakarta terlalu jauh di era otonomi?
Untuk aspek ideologi, Anies sudah pasti mendapatkan dukungan rakyat Jakarta dalam soal reklamasi. Kekalahan telak Ahok yang didukung mati-matian oleh Jokowi dan LBP menunjukkan Jokowi dan LBP bukanlah “kompas kehidupan” rakyat di Jakarta. Moral dan ideologi Anies lebih kokoh saat ini.
Dengan modal dukungan rakyat dan visi Anies yang kuat untuk memajukan pribumi, rakyat kecil dan pembangunan yang berkeadilan, maka reklamasi untuk orang orang kaya dapat dihentikan secara total dan dirubah peruntukannya untuk kampung nelayan dan kaum miskin kota.
Kewajiban pemerintah hanya memikirkan memberi uang pengganti seharga penimbunan tanah (at cost) saja, lalu tanah negara itu kembali jadi milik negara untuk kepentingan ‘land reform’. Tanah untuk rakyat.
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle (SMC)