Artikel ini dibuat oleh Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi
Dari total 50,3 miliar dolar realisasi investasi asing yang masuk ke Indonesia sampai tahun 2023, sebesar 2,6 miliar dolar AS masuk ke dalam sektor housing, industrial estate, and office building. Angka ini hanya sebesar 5,2 % dari realisasi investasi. (Sumber BPS).
Salah satu ketakutan terbesar investasi asing membawa uang masuk ke Indonesia adalah biaya uangnya terlampau mahal. Apa yang diperoleh dari menanamkan uang di Indonesia tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Biaya besar tersebut datang dari depresiasi nilai tukar. Belum ditambah resiko yang lain yang non uang seperti kepastian hukum dan konsistensi kebijakan dan pemerintahan yang galau. Itu resikonya juga besar.
Investasi yang paling tinggi biayanya adalah investasi yang berasal dari mata uang dolar namun penerimaananya dalam mata uang rupiah.
Mereka datang mengkonversi uang mereka dalam rupiah, namun pada saat menerima pendapatan, nilai rupiahnga merosot dolar untuk membayar kewajiban menjadi sangat mahal.
Sebagai contoh, investasi asing yang datang pada masa pemerintah SBY yang lalu, membawa uang dolar pada saat kurs 8000 rupiah per dolar. Lalu mereka investasi untuk mencari atau mengeruk rupiah.
Namun giliran harus membayar utang berjangka 5 sampai 10 tahun, penerimaan mereka dalam rupiah menjadi kecik sekali untuk dapat membayar kewajiban dolar yang menjadi bengkak. Jadi lebih baik menyimpan mata uang asing di rumah dari pada menginvestasikan dalam rupiah.
Sehingga memang Prabowo harus melupakan usaha mendatangkan investasi asing dalam sektor sektor yang nantinya akan menerima pendapatan dalam mata uang rupiah, seperti investasi dalam rangka membangun 3 juta rumah, invetasi asing dalam rangkai menjual pangan dan makanan dan lain-lain.
Mendatangkan uang asing agar pemilik uangnya mau mencari cuan rupiah di Indonesia adalah pekerjaan yang mustahil. Kecuali pemilik uangnya akan pindah ke Indonesia dan tidak butuh dolar lagi. Jadi investasi ini disertai semangat pengorbanan tanpa pamrih.
Jadi bagaimana selanjutnya? Mengandalkan bank bank nasional? Ini sudah terjadi dua dekade terakhir. Bank bank membiayai sektor perumahan.
Pada awalnya menjamur, banyak sekali kredit yang di salurkan dalam sektor ini. Namun ternyata ini setengah mati bagi pembeli rumah. Mengapa? Karena bunga bank bank dalam negeri terlalu tinggi. Harga rumah menjadi sangat mahal dan tidak terjangkau.
Bahkan, harga rumah menjadi bubble gara gara pernainan bunga dan permainan uang lainnya. Cara begini tidak akan sampai pada tujuan membuat rumah untuk rakyat.
Mengapa bunga sangat tinggi, kembali ke awal lagi. Resiko keuangan investasi di Indonesia sangat besar. Resiko datang dari depresiasi mata uang. Bunga bertanding dengan nilai tukar rupiah terhadap USD.
Bank bank yang telah mengambil utang komersial dari global bond berhadapan dengan beban depresiasi yang besar. Semua pendapatan mereka dari kredit yang disalurkan ke dalam sektor perumahan tidak cukup lagi untuk membayar kewajiban yang semakin membengkak.
Maka sekali lagi bank bank nasional harus dilupakan untuk membiayai 3 juta rumah untuk orang miskin yang membutuhkan dana sedikitnya 300 an triliun, dengan asumsi harga rumah 100 juta rupiah per unit.
Karena secara komersial nilai rumah 100 juta rupiah saat ini, jika dikalikan dengan suku bunga rata rata bank 11 persen setahun maka nilai kredit rumah 10 tahun akan bernilai 210 juta rupiah. Orang miskin tidak dapat menjangkau kredit rumah 1,7-2 juta rupiah per bulan.
Masyarakat miskin Indonesia jumlanya 100 juta lebih dengan pendapatan kurang dari 2 dolar PPP per hari atau kurang dari Rp300 ribu sebulan, tidak mungkin bisa kredit rumah. Masyarakat butuh subsidi perumahan? Tentu saja!
Selama dua dekade terakhir perdebatan utama dalam menyediakan rumah bagi masyarajat miskin adalah bagaimana caranya negara mensubsidi? Hanya dua mekanisme yang tersedia yakni subsidi uang muka yakni negara membayar uang muka rumah tersebut sehingga nilai kreditnya kecil.
Cara kedua negara memberikan subsidi bunga yakni negara membayar bunga kredit perumahan setiap tahun melalui APBN. Jadi kalau total kredit perumahan senilai 300 triliun rupiah maka negara mensubsidi bunga setidaknya 33 triliun rupiah setiap tahun. Ini mungkin lebih mudah, dengan syarat semua bank mau membiayai perumahan.
Namun masalahnya masih sama. Bank-bank lebih memilih investasi ke dalam Surat Berharga Negara (SBN) yang pendapatannya lebih pasti dengan bunga 7,2 %, atau membeli Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dengan bunga 7,1%, ketimbang membaiayi perumahan yang mungkin separuh kreditnya akan macet.
Apalagi sekarang suku bunga acuan BI adalah 6,7%, maka bank dan BI akan jadi makelar surat utang pemerintah. Mana mungkin bank mau mikir 3 juta rumah?
Jadi masalahnya sederhana tapi rumit. Masih adakah sumber uang yang lain, yakni bukan investasi asing, atau utang komersial? Investasi yang bisa bebas dari depresiasi dan bunga komersial?
Mungkin negara perlu buat bank khusus, bank pembiayaan perumahan rakyat, melalui penyertaan penuh modal negara ke dalam bank tersebut senilai 300 triliun rupiah.
Sekarang ini yang penting bagaimana Bapak Presiden Prabowo cari uang yang banyak agar APBN tahun depan bisa dapat uang 5000 triliun rupiah.
Namun ada yang lebih penting lagi bagi Pemerintahan Prabowo, lebih penting dari sekedar mencari uang, mencari investasi, mencari pembiayaan, yakni bagaimana menata sistem keuangan sehingga uang bukan menjadi beban bangsa Indonesia.
Uang jangan diperebutkan, uang sebagai alat persatuan nasional, uang harus menjadi alat bangsa Indonesia untuk meningkatkan produksi, produktifitas, mengembangkan diri untuk meraih kemajuan yang besar. Saya rasa bisa.
[***]