MENTERI Keuangan Sri Mulyani optimis pendapatan negara di akhir tahun 2018 bisa menembus angka Rp1.936 triliun atau melampaui target APBN 2018 sebesar Rp1.894 triliun. Menurutnya, hal ini pertama kalinya dalam sejarah, penerimaan negara akan mencapai melebihi apa yang ada di dalam Undang-Undang (UU) APBN.
Menurut catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) penerimaan negara per 30 November 2018 baru mencapai Rp1.654,5 triliun atau 87,3 persen dari target dalam APBN 2018 yang sebesar Rp1.894 triliun.
Bila pun 100 persen realisasi penerimaan benar tercapai di akhir tahun 2018, terlalu bombastis bila Sri Mulyani menyatakan bahwa hal ini baru pertama kali terjadi.
Menurut catatan saya, pada tahun 2007 dan tahun 2008 juga pernah terjadi realisasi penerimaan negara melampaui target APBN.
Pada tahun 2007, target penerimaan APBN sebesar Rp 690,3 triliun, realisasi penerimaan negara melampauinya, sebesar Rp 707,8 triliun.
Hal yang mirip juga terjadi di tahun 2008, saat itu target penerimaan APBN sebesar Rp895 triliun, realisasi penerimaan melampauinya, sebesar Rp981,6 triliun.
Jadi klaim Sri Mulyani bahwa ini adalah prestasi yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah, adalah tidak benar.
Seharusnya Sri Mulyani ingat, bukankah tahun 2007 dan 2008 dirinya juga selaku Menteri Keuangan di Pemerintahan SBY.
Mengapa tidak jujur? Apakah takut memberikan kredit kepada Pemerintah SBY, yang berhasil dua tahun berturut-turut melampaui target penerimaan APBN? Tapi, ya sudahlah, kita coba bandingkan saja situasinya.
Pertanyaannya, apakah faktor yang menyebabkan realisasi penerimaan negara melampaui target APBN? Di sini saya rinci terdapat tiga faktor, dua yang pertama datang dari eksternal, bukan berdasarkan kinerja internal permerintah, yang ketiga malah datang dari kelemahan pemerintah sendiri.
Faktor utama adalah perbedaan antara asumsi harga minyak di APBN dan realisasi harga minyak yang terjadi di pasar. Pada APBN 2018, asumsi harga minyak dipasang $48/bbl, tidak ada penyesuaian APBN Perubahan (-P), sementara realisasi harga minyak di tahun 2018 secara rata-rata sudah di $70/bbl.
Antara asumsi dan realisasi terdapat selisih hampir 50%. Tingginya realisasi harga minyak dunia tahun ini menyebabkan per 30 November 2018 realisasi penerimaan PPh migas sebesar Rp59,8 triliun atau 156,7% dari target Rp38,1 triliun.
Faktor utama yang menyebabkan realisasi penerimaan melampaui target di 2018 juga mirip dengan apa yang terjadi pada tahun 2007 dan 2008. Pada tahun 2007, asumsi harga minyak APBN $60/bbl, APBN-P $63/bbl, sementara realisasi harga minyak rata-rata 2007 sebesar $73/bbl.
Pada tahun 2008, asumsi harga minyak APBN $60/bbl, APBN-P $83/bbl, sementara realisasi harga minyak rata-rata 2008 sebesar $100/bbl. Artinya, bila ada kondisi harga minyak dunia jauh di atas asumsi harga minyak APBN, realisasi penerimaan negara dipastikan akan melampaui target.
Faktor yang kedua adalah naiknya harga komoditi batubara. Meskipun beberapa hari ini sudah kembali melemah ke kisaran $92/ton, sejak April hingga OKtober 2018 harga komoditi ini sempat menembus di atas $100/ton.
Faktor harga komoditi batubara inilah yang sebabkan realisasi PNBP per 30 November 2018 mencapai Rp342,5 triliun atau 124,4% dari target yang hanya Rp275,4 triliun.
Meskipun bukan yang utama, faktor ketiga adalah pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS, yang diakibatkan oleh defisit transaksi berjalan yang sangat lebar (3,37%PDB).
Rupiah yang sempat melemah beberapa waktu hingga di atas Rp 15.000/$, dan sekarang sudah di Rp14.500/$, cukup jauh di atas asumsi APBN sebesar Rp 13.400/$.
Menurut Sri Mulyani sendiri, pelemahan Rupiah sebesar Rp100/$ dapat menambah penerimaan APBN sebesar Rp 900 miliar-Rp1,5 triliun.
Sebenarnya, prestasi internal keuangan pemerintah malah sedang jeblok-jebloknya. Indikatornya adalah berdasarkan rasio penerimaan pajak (tax ratio) dan keseimbangan primer.
Tax ratio tahun 2018, tanpa memasukkan penerimaan SDA, menurut ekonom Faisal Basri dapat kembali turun lebih rendah lagi dari tahun sebelumnya (INDEF menyebutkan tax ratio pada tahun 2017 adalah sebesar 9,9%) karena hingga September tax ratio berada di kisaran 9,3%.
Berdasarkan laporan Kemenkeu, per 30 November penerimaan pajak baru mencapai Rp1.136,6 triliun atau 79,8 persen dari target Rp1.424 triliun.
Bila kita bandingkan kembali, kondisi tahun 2018 ini berbeda sekali dengan kondisi tahun 2007 dan 2008 (saat penerimaan negara juga melampaui target), saat itu tax ratio Indonesia sangat tinggi, berturut-turut 12,4% dan 13,3%.
Kemudian keseimbangan primer, yang bila terjadi defisit dapat diartikan seberapa besar kita menambah utang baru untuk membayar bunga utang lama.
Saat ini meskipun menurut Sri Mulyani defisit keseimbangan primer akan di bawah proyeksi APBN 2018 (Rp 87 triliun), tapi tetap saja terjadi defisit sebesar Rp 15 triliun.
Bandingkan lagi dengan tahun 2007 dan 2008, saat itu keseimbangan primer kita surplus berturut-turut Rp 26,9 triliun dan Rp 84,3 triliun.
Yang terakhir. Meskipun kenaikan harga minyak dunia membawa dampak positif pada APBN, BUMN migas terbesar di Indonesia, Pertamina, menjadi korbannya. Sampai akhir kuartal-III 2018, Pertamina hanya berhasil membukukan laba bersih sekitar Rp 5 triliun (jatuh, hanya 15% dari target).
Bandingkan lagi dengan Pertamina di tahun 2007 yang masih sanggup hasilkan laba hingga Rp 24,5 triliun dan Pertamina tahun 2008 yang mampu hasilkan laba hingga Rp 30 triliun.
Oleh Peneliti Senior Lingkar Studi Perjuangan, Gede Sandra