Artikel Ditulis oleh: Anggota Komisi VI DPR RI Darmadi Durianto
PARA penganut paham neoliberalisme menganggap bahwa kebebasan absolut (tanpa intervensi) negara menjadi kunci kemajuan ekonomi sebuah bangsa.
Dengan kata lain, sebisa mungkin peran negara jangan terlalu dominan dalam mengurusi kehidupan ekonomi warganya. Sepintas, gagasan tersebut cukup masuk akal, jika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di negara-negara dunia pertama (AS, Eropa, Jepang).
Namun, di balik gegap gempita kemajuan ekonomi yang mereka nikmati saat ini, terlihat sederet problem serius imbas konsep kebebasan ekonomi yang mereka usung.
Ketimpangan antara si kaya dan si miskin begitu mencolok (termasuk di negara-negara dunia pertama itu tadi) dan sederet problem serius lainnya.
Eks petinggi Bank Dunia yang juga sekaligus peraih hadiah Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz punya pandangan berbeda terhadap konsep kebebasan ala penganut paham neoliberalisme.
Dalam buku barunya berjudul The Road to Freedom: Economics and the Good Society, Stiglitz secara tegas menentang
laju jalannya neoliberalisme, yang bagi dirinya telah merusak berbagai sendi kehidupan. Stiglitz memang di dalam bukunya mengkritisi berbagai argumen dasar dari paham Neoliberalisme.
Dalam buku tersebut juga, Stiglitz mengkritik apa yang ia lihat sebagai penafsiran kebebasan yang “dangkal” dan “salah arah” yang telah menguat dalam periode globalisasi neoliberal. Pandangan ini, katanya, dianut oleh berbagai kalangan konservatif, libertarian, dan orang-orang sayap kanan lainnya.
Stiglitz juga berpendapat bahwa cara gagasan tersebut didefinisikan dan diupayakan telah mengarah pada kebalikan dari “kebebasan yang bermakna”. Gagasan tersebut telah gagal “memberikan pengakuan yang semestinya terhadap betapa saling bergantungnya orang-orang dalam ekonomi modern” dan menyebabkan pengurangan besar-besaran dalam “kebebasan sebagian besar warga negara”.
Stiglitz mengkritik tatanan perdagangan global neoliberal, yang menurutnya eksploitatif, menghambat ekonomi berkembang, dan didorong oleh asumsi yang salah tentang cara kerja pasar.
Pemikiran Hayek dan Friedman yang juga memiliki magnum opus yakni Free to Choose dan Capitalism and Freedom tak luput dari sasaran kritik dari Stiglitz.
Bagi Stiglitz, jalan neoliberalisme yang selama ini telah berjalan, bukan mengarahkan kehidupan kita, baik individu maupun masyarakat secara keseluruhan menuju kebebasan. Melainkan menuju pada berbagai perusakan yang nyata dan jelas terjadi di hadapan kita.
Dalam catatan buku barunya itu, Stiglitz mengajak kita untuk melakukan refleksi lebih mendalam mengenai makna kebebasan yang selama ini digaungkan paham neoliberalisme.
Ia membuka dengan One persons freedom can often amount to anothers unfreedom, sehingga peningkatan kebebasan seseorang, seringkali mengorbankan kebebasan yang lainnya.
Stiglitz mengutip kalimat dari filosof terkenal Isaiah Berlin yang mengatakan bahwa Freedom for the wolves has often meant death to the sheep.
Kebebasan dalam membawa senjata api, akan mengancam hak untuk hidup yang lainnya. Kebebasan untuk tidak divaksin dan tidak memakai masker ketika Covid-19 kemarin, akan mengancam hak orang lain untuk tidak terkena penyakit atau bahkan juga hak untuk hidup. Sehingga, kebebasan yang demikian, harus diseimbangkan melalui regulasi.
Bagi Stiglitz, Some coercion can be freeing for everyone. Ia mencontohkan bagaimana regulasi sederhana seperti lampu lalu lintas, telah membatasi sebagian hak pengguna jalan, tetapi pembatasan tersebut sebenarnya telah membebaskan.
Agar lalu lintas dapat berfungsi sebagaimana mestinya, tidak terjebak pada grid lock. Regulasi, juga akan menjadi penjaga dari praktik eksploitatif seperti market power, yang menaikkan harga secara signifikan di tengah kedaruratan, bisnis candu melalui rokok, obat, dan makanan, serta bisnis judi online yang mengambil untung dari mereka yang lemah.
Mereka yang rentan dan lemah, selalu dijadikan korban untuk penghasil keuntungan.
Lebih lanjut, kebebasan dalam neoliberalisme menurut Stiglitz juga hanya dimiliki oleh mereka yang berpunya. Sedangkan untuk mereka yang berpendapatan minim, sejatinya tidak memiliki kebebasan. Karena mereka menjalankan aktivitas dengan tujuan utama, hanya sekadar untuk dapat survive.
Seharusnya, melalui peran negara yang kuat dan efektif, sumber daya dapat dikelola dan diarahkan ke bidang yang mampu memberikan live up to their potential kepada seluruh rakyat. Berikan kesempatan dan sumber daya kepada seluruh orang untuk dapat mencapai potensinya. Stiglitz menyebutnya dengan expanding opportunity set. Dengan begitu, ekonomi dapat bergerak.
Upaya tersebut hanya dapat dilakukan melalui penguatan sektor pendidikan, kesehatan, dan sektor publik terkait lainnya, yang didanai dengan perpajakan.
Jika kelompok kaya merasa keberatan dengan pajak yang tinggi, sejatinya mereka juga telah mendapat sekian banyak jenis income (di antaranya wages, dividens, capital gains).
Lagipula menurut Stiglizt, kekayaan yang selama ini tercipta, diwariskan dari proses eksploitasi dari generasi ke generasi. Sehingga proses yang tidak legitimate, hasil kekayaannya pun sejatinya tidak legitimate.
Sehingga tak layak jika protes pajak tinggi datang dari mereka yang menjalankan praktik yang demikian. Jika peradaban saat ini telah mengenal apa itu kemiskinan struktural, maka mustinya kita juga mampu membedah kekayaan secara struktural, termasuk asal usul historis beserta kelembagaannya.
Termasuk di dalamnya bagaimana hak atas properti, ternyata telah bergeser dalam beberapa abad, dari hak komunal menjadi hak privat. Dan saat ini, peran negara terus disudutkan oleh neolib, dengan mengagungkan kekuatan privat.
Oleh karena itu, buku ini menempatkan negara dan institusi lainnya sebagai hal yang penting. Memori kolektif bahwa negara korup dan inkompeten adalah memori yang ingin kelompok neolib tanamkan dalam benak mayoritas kita.
Tiap bertemu persoalan, pikiran pertama yang akan muncul dalam benak publik adalah serahkan saja ke swasta”. Padahal, pengalaman krisis 2008 dan Covid-19 mengajari betapa pentingnya keberadaan peran negara. Lalu kemajuan signifikan beberapa negara di Asia Timur, adalah berkat dukungan negara yang kuat.
Periode stabilitas ekonomi terpanjang tanpa krisis (pasca PD II), juga merupakan periode dijalankannya paradigma penguatan negara dalam perekonomian. Dan yang harus diingat adalah, kelahiran komunisme, juga fasisme, bukan dari latar historis maksimalnya peran negara. Melainkan dari minimnya peran negara.
Argumen membela negara ini, bukan tanpa dasar. Secara teknis, negara secara nyata berperan dalam mendukung riset dasar pengembangan DNA dan RNA – mRNA, yang di sana swasta baru bergabung di penghujung rute.
Tanpa riset dasar yang didanai oleh negara, vaksin Covid-19 tidak bisa kita nikmati sebagaimana saat ini. Hal yang sama juga kita temukan dalam fenomena kelembagaan di berbagai belahan dunia. Institusi hebat seperti Harvard, Columbia, Oxford, Cambridge, Grande Ecoles Sorbonne misalnya, adalah institusi non-profit. Artinya, tidak selamanya kemajuan selalu driven by profit.
Juga tidak selamanya manusia berpikir dan bertindak, melulu ditujukan untuk profit semata (self-interest). Lihatlah berbagai NGO yang ada dunia, sekian banyak pejuang di dalamnya juga rela menerima pendapatan lebih rendah dari pekerjaan di tempat lain.
Buku The Road to Freedom, Economics and The Good Society bagi penulis seperti rajutan lengkap dari berbagai karya Stiglitz yang telah terbit sebelumnya.
Mulai dari the price of inequality: how today’s divided society endangers our future Tahun 2012 dan the great divide: unequal societies and what we can do about them Tahun 2015 yang mengkritisi bagaimana ketimpangan telah berdampak secara riil dalam kehidupan sehari-hari.
Orang dari latar belakang pendapatan yang berbeda, tidak mengakses barang dan jasa yang sama. Sehingga mereka terus berbeda, dan hidup dalam pandangan serta perspektif masing-masing. Minim interaksi satu sama lain.
Hal tersebut lalu dilanggengkan oleh praktik media yang selama ini digerakkan oleh semata-mata profit, melalui algoritma yang menguatkan posisi masing-masing.
Mereka yang kaya, tumbuh menjadi pribadi yang merasa berhak untuk melakukan berbagai hal. Termasuk merusak regulasi yang telah menjadi sendi pengaturan hidup bersama. Begitu juga yang miskin, tumbuh menjadi pribadi yang merasa terkalahkan oleh kehidupan. Dan dua hal itu, sama-sama berbahaya untuk kehidupan ekonomi.
Ketimpangan secara ekonomi, pada gilirannya menghasilkan ketimpangan politik melalui proses democracy shifting dari one person, one vote menjadi one dollar, one vote. Ketimpangan ekonomi dan politik ini, melanggengkan lingkaran setan yang sangat merugikan masyarakat. Sebuah ketimpangan akut yang dihasilkan dari Neoliberalisme.
Dari sisi tata dunia global, hubungan kebebasan individu dan kedaulatan di dalam neoliberal selama ini ditempuh melalui perjanjian perdagangan, perjanjian investasi, hak kekayaan intelektual, dan sistem finansial global, yang ternyata telah meningkatkan opportunity set dari negara-negara kaya dengan cost yang ditanggung oleh negara miskin.
Hasil lainnya adalah growth rendah, ketimpangan meningkat, pendapatan riil menurun bagi kalangan bawah, tumbuhnya populisme, otoritarianisme baru, yang menapaki jalan menuju fasisme.
Termasuk di dalamnya neoliberalisme yang terbukti merusak planet. Sehingga dapat ditarik kesimpulan jika neoliberalimse tak akan sustain baik secara ekonomi, politik, hingga lingkungan.
Oleh karena itu, Stiglitz mencoba menawarkan solusi atas permasalahan tersebut. Yakni rute progressive capitalism atau rejuvenasi dari demokrasi sosial di eropa – mengingat terdapat sekian banyak aspek dari eropa yang jauh lebih baik dari praktik di Amerika Serikat dalam membangun the good society. Bukunya yang berjudul
people, power, and profits: progressive capitalism for an age of discontent pada 2019 sedikit banyak telah mengulasnya.
Mencapai keseimbangan antara negara, pasar, dan masyarakat sipil. Disertai dengan keragaman institusi termasuk koperasi dan negara. Suatu ekonomi untuk melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Ekonomi yang kompetitif, yang seharusnya tak ada satu pun perusahaan yang mampu meningkatkan harga secara signifikan, mendorong kontrak yang eksploitatif, dan menahan pemain baru masuk dalam ekosistem.
Suatu collective action untuk mencapai well-designed regulation, public investments, check and balances yang bukan hanya di pemerintah, tetapi juga di masyarakat. Karena Check and Balances hanya bisa berjalan jika tidak ada Concentration of Power. Concentraton of Power tidak akan terhindarkan selama masih ada Concentration of Wealth. Concentration of Wealth akan terus terjadi jika tak ada rules yang berkualitas dari pemerintah.
Dapat kita lihat dan rasakan, bahwa peradaban yang maju, bukanlah peradaban dengan falsafah fundamentalisme pasar. Karena fundamentalisme pasar telah menghasilkan makanan minuman yang tidak sehat di pasar kita, bermuara pada fenomena diabetes anak, melawan asas keterbukaan dengan adanya klausul nondisclosure agreements, merusak lingkungan, memperlemah collective action, dan memperburuk ketimpangan.
Terus memburuknya ketimpangan, akan menghasilkan perilaku konsumsi yang mengarah ke barang dan jasa non esensial. Kebutuhan masyarakat akan barang mewah, dapat dilihat merupakan konsekuensi dari terus berlangsungnya ketimpangan akut. Itulah fenomena yang disebut sebagai market shaped us.
Jalan ke depan, ada di tangan kita semua. Kita akan menuju apa yang disebut sebagai the good society, atau terus menjalankan skema business as usual dengan berbagai kerusakan yang telah nyata kita rasakan di berbagai sendi kehidupan sehari-hari. Buku terbaru dari Stiglitz ini, sangat cocok untuk menjadi bahan kita bersama dalam menyongsong pemerintahan baru.
(***)