KedaiPena.Com – Veteran Komisi Konstitusi, MPR RI dan generasi muda turun gunung pada Webinar peringatan Hari Konstitusi, yang diselenggarakan Gerakan Kebangkitan Indonesia, belum lama ini.
Diskusi tersebut membedah dan memetik buah amandemen UUD 45. Para veteran komisi konstitusi pun diajak mengkaji soal ini.
Berikut intisari pembahasan tersebut yang disarikan oleh Mayjen TNI (Purn) Prijanto, Aster KSAD 2006-2007 sekaligus penggiat Rumah Kebangkitan Indonesia.
Pembatasan: Untuk membedakan dan memudahkan dalam artikel berseri ini, hasil amandemen UUD 1945 kita sebut UUD 2002.
Baca: Undang Undang Dasar 1945 (10 Agustus 2002) tidak identik dengan Undang Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). (Google).
Lima kesepakatan dasar yang disusun Panitia Ad Hoc 1 MPR RI dalam melakukan perubahan UUD 1945 oleh MPR RI 1999-2002, (Prof. Dr. Maria Farida Indrati, 18/8/2020, Webinar GKI-Panji Masyarakat), adalah:
1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
2. Tetap mempertahankan NKRI.
3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
5. Perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Mengapa 5 (lima) kesepakatan dasar di atas ditempatkan di awal artikel?
Pertama, kesepakatan tersebut penting, ketika kita bicara seputar amandemen UUD 1945. Kedua, prinsip negara konstitusi, darul ahdi, darul mitzaq, negara kesepakatan, dimana orang wajib patuh dan tunduk apa yang telah diputus atau disepakati. (Prof. Jimly Assiddiqie, 23/8/2020, WhatsApp).
Apa kata mereka ?
Prof. Dr. Tjipta Lesamana, Guru Besar Ilmu Komunikasi, Sekretaris Tim Penyusun Laporan Akhir Komisi Konstitusi MPR RI.
Implementasi gabungan demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi telah dijabarkan sangat jelas dalam UUD 1945 pada Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3). Setelah amandemen, adanya ayat (4) Pasal 33 UUD 2002, dinilai sangatlah kontroversial karena bernafaskan asas liberal dan kapitalis, kata Prof. Tjipta.
Demokrasi ekonomi yang dicita-citakan telah dibunuh sistem kapitalisme liberal sejak reformasi. Jurang antara kaya dan miskin di Indonesia terus melebar. Menurut Bank Dunia sebagian besar penduduk hidup hampir di bawah garis kemiskinan.
Namun, orang yang super kayapun semakin banyak. Selama masih ada ayat (4) Pasal 33 UUD 2002, omong kosong Indonesia bisa adil makmur yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perubahan UUD 1945, nyaris membawa Indonesia ke arah sistem oligarki. Kekuasaan politik di pemerintahan dan parlemen, secara efektif dipegang oleh kelompok kecil elit politik.
Khusus implementasi ayat (4) Pasal 33 UUD 2002, juga ikut merusak sebagian dari tantanan hukum, tantanan pendidikan, kebudayaan dan pergaulan sosial. Ditambah tidak adanya ‘Penjelasan’ , membuat pasal-pasal dalam UUD 2002, sangat multi interpretatif.
Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH, MH, Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan, Anggota Komisi Konstitusi MPR RI, Hakim Konstitusi MK 2008-2018.
Profesor Maria menyoroti hilangnya marwah MPR sesudah perubahan UUD 1945. Perubahan UUD 1945 memang tidak tabu. Namun disayangkan, perubahan tidak dimulai dari pasal yang awal sampai pasal yang terakhir, sehingga secara ‘Sistematika Kelembagaan’ telah menimbulkan kerancuan dalam rumusan dan implementasinya.
Walau tidak terucap oleh Prof. Maria, namun kesepakatan dasar yang disusun PAH 1 MPR RI dalam perubahan UUD 1945 ada di makalahnya. Kita tahu, perubahan UUD 1945 tidak dengan cara adendum. Artinya, ada ketidakpatuhan dalam perubahan UUD 1945 terhadap hal yang sudah disepakati.
Eksistensi MPR RI secara kuantitas, sebelum perubahan memiliki 3 (tiga) fungsi, setelah perubahan 5 (lima) fungsi. Namun, secara kualitas, fungsi MPR sebelum perubahan lebih bagus atau bergengsi, yaitu menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden (Ps. 3 dan Ps. 6 (2) UUD 1945).
Setelah perubahan, setiap 5 (lima) tahun sekali hanya melantik Presiden dan Wakil Presiden, yang sifatnya seremonial. Sedang 4 (empat) fungsi lainnya jika perlu saja. Pertanyaan kritisnya, dengan tidak adanya Tap MPR, siapakah yang menetapkan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia? Sebab, KPU hanya menetapkan pasangan Capres dan Cawapres pemenang Pemilu. Membingungkan bukan?
MPR bukan lagi pelasana kedaulatan rakyat walaupun pelaksana kedaulatan tersebut kemudian dimandatkan kepada Presiden terpilih. MPR tidak sehebat sebelum perubahan, maka tidak heran banyak pihak menganggap yang berlaku saat ini bukan UUD 1945, kata Prof. Maria diplomatis.
Dr. Laode Ida, Tokoh Muda Gerakan Reformasi, Anggota Komisi Konstitusi MPR RI.
Semangat mudanya untuk membawa negara lebih baik, dengan cara menuntut perubahan konstitusi. Mengubah pemilihan Presiden dari dipilih sekelompok orang, menjadi dipilih rakyat langsung. Begitu juga halnya pemilihan Kepala Daerah, untuk menghindari pemilihan lewat DPRD yang rawan dibayari pemilik modal.
Di masa reformasi, Dr. Laode menjabat di DPD RI dan Ombudsmen. Banyak peristiwa di Indonesia yang dibacanya. Pilpres dan Pilkada secara langsung, megubah wajah demokrasi Indonesia. Celakanya, pemilik modal ternyata memiliki kemampuan membeli suara rakyat Indonesia. Suka tidak suka, demokrasi ala Indonesia saat ini telah membuat kerusakan yang masif, kata Laode Ida.
Persoalan lain, seperti disampaikan Prof. Tjipta , adanya ayat (4) Pasal 33 UUD 2002. Persoalan sumber kekayaan alam yang seharusnya dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, nyaris dikuasai asing. Bagaimana mungkin satu orang bisa menguasai sejuta hektare lahan.
Ada hal yang sensitif dan merisaukan, hilangnya syarat Presiden orang Indonesia asli dalam UUD 2002. Pada tingkat tertentu, hal ini digugat oleh orang-orang daerah, tatkala ada atas nama pemerintah pusat dan kebijakan nasional, terkait dengan penguasaan dan pengelolaan sumber kekayaan alam oleh asing. Siapakah sesungguhnya yang berdaulat?
Apa kita harus membangunkan bapak pendiri negara yang sudah wafat dan tanya apa yang dimaksud “orang Indonesia asli”? Secara sosio-antropologis, orang Indonesia asli itu mereka yang secara turun menurun di Indonesia, menempati suatu ruang, pulau, tempat dan sejarah etnik ada disitu. Di luar terminologi itu, bukan orang Indonesia asli, kata Dr. Laode Ida.
Apabila kita ingin mengembalikan ruh konstitusi, persoalan format kedaulatan rakyat dalam Pilpres dan Pilkada, ayat (4) Pasal 33 UUD 2002 dan syarat Presiden orang Indonesia asli itulah yang perlu didiskusikan, tutur Dr. Laode Ida tokoh yang dulu menuntut perubahan konstitusi, menutup pendapatnya.
Laporan: Muhammad Lutfi