KedaiPena.Com – “Ciliwung nafas kita. Ciliwung hati kita. Ciliwung nyawa kita. Ciliwung kehidupan kita.”
Koor nyanyian mengalun di Bukit Duri, Jakarta Selatan, kawasan yang akan digusur Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atas nama normalisasi Kali Ciliwung.‎‎
Di sela nyanyian itu, bergema teriakan merdeka dari beberapa anak Muda. Ya, hari ini, Rabu, 17 Agustus 2016, tepat 71 tahun Indonesia merdeka.
‎
Namun, ‎warga Bukit Duri, sama seperti banyak kawasan lain di Jakarta seperti belum merasakan hal tersebut. Betapa tidak, hantu penggusuran bisa menimpa kapan saja, meski proses sengketa ini masih terdaftar di Pengadilan Jakarta Pusat.
‎
Upacara terlebih dulu digelar di kawasan tersebut.‎ Bertindak sebagai Inspektur Upacara eks Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Sosok tersebut memang terkenal pro kerakyatan. Ia peduli dengan warga kecil yang tertindas.
Di upacara itu, Rizal berbaur dengan warga, anak kecil berseragam sekolah, anak muda yang mengenakan baju ‎dengan semangat perubahan. Dalam satu momen, mereka mengibarkan bendera kecil, simbol nasionalisme dengan tegak.
Rizal sendiri mengamati dengan detil keinginan warga. Ia bahkan‎ menanyakan ke warga apakah rencana penggusuran ini sesuai dengan Pancasila‎ atau tidak.
“Jawaban warga tidak sesuai. Bertentangan dengan peri kemanusiaan. Tidak ada musyawarah, rakyat tidak didengar suaranya. Dan tidak ada ganti rugi,” tegas Rizal, Menko Perekonomian di Kabinet Presiden Gus Dur.
Sebenarnya, sambung Rizal, luas wilayah di Bukit duri yang sekitar 2,3 hektar bisa ditata ulang. “‎Istilah akademiknya bisa dibangun ‘urban renewal’, pembaruan kota yang bisa dilakukan kapan saja mau dilakukan,” imbuhnya.‎
Dari 400 keluarga, bisa dibangunkan apartemen empat lantai. Biayanya pun tidak terlalu mahal. Sebagian untuk taman.
“Lalu, 1,5 hektarnya sisanya bisa ditenderkan ke swasta. Bisa dapat Rp25 juta per meter. Pola pembangunan itu bisa mencegah banjir,” sambung dia.‎
Ia pun mengatakan, pemimpin jangan boleh bertindak seenaknya, sok kuasa dan memakai kekerasan buat gusur rakyat. ‎Pola pembangunan dengan mindset ala Orba harus diubah.
“Warga di sini bayar PBB. Jangan seenaknya disuruh pindah ke Rusun Rawa Bebek yang harus bayar-bayar Rp1,5 juta plus-plus. Sudah itu jauh dari tempat mereka mencari kerja. Kita ubah Jakarta lebih manusiawi, tanpa tangisan,” tegas aktivis yang mendekam di penjara semasa pemerintahan Soeharto.
‎‎
Senada, tokoh masyarakat, Romo Sandiawan mengatakan, pemimpin seharusnya mengayomi.
“Kami dukung gubernur yang transparan. Tapi Saya juga tidak setuju kalau warga diperlakukan tidak seimbang. Perlakukan warga dengan sama di depan hukum.‎ Warga harus diurus dengan benar,” tandas Romo.
(Prw)‎