KedaiPena.Com – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan penetapan ambang batas pencalonan presiden dan wakilnya sebagai ‘open legal policy‘ dari pembuat Undang-undang (UU) dikritik.
Adalah Pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar yang mengeritik putusan itu.
“Ini ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ini bukan ‘open legal policy‘. Ini dipilih oleh partai atau gabungan parpol, siapapun yang menjadi peserta pemilu dia boleh mengajukan calon,” ujar Zainal Mochtar dalam diskusi daring yang bertema Ambang Batas Pilpres dan Ancaman Demokrasi, Jumat (5/6/2020).
Selanjutnya, Zainal mengatakan jika sistem presidensial melakukan dua kali pemilu, karena kedaulatan rakyat diberikan kepada presiden dan parlemen.
“Sedangkan sistem parlementer kedaulatan rakyat hanya diberikan kepada parlemen karena nanti parlemen yang menentukan pemerintahan,” katanya.
“Pada prakteknya saat ini kan dilakukan pemilihan parlemen terlebih dahulu baru dilakukan pendaftaran calon presiden,” sambungnya.
Selain itu, Zainal menjelaskan jika sistem presidensial tidak didukung oleh parlemen, maka akan membuat sebuah kelemahan dalam sistem presidensial tersebut.
“Akan tetapi jika didukung terlalu lebih, itu akan berbahaya dan melemahkan sistem presidensial,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Zainal mengaku akan melakukan pengajuan gugatan kembali kepada MK. Ia menganggap bahwa adanya ‘presidential treshold‘ (PT) yang dinilai dapat membatasi ruang-ruang demokrasi, dalam hal ini pencalonan presiden.
“Kita akan uji kembali lagi ke MK,” ucap Zainal.
Pada 11 Januari 2018, MK menolak gugatan Ketua Partai Idaman Rhoma Irama terkait ambang batas presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen.
Alasannya, anggapan pemohon menuding penetapan ‘presidential threshold‘ merupakan upaya tarik-menarik politik, adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai secara hukum.
MK juga menilai bahwa penetapan ‘presidential threshold’ sudah sesuai dengan proses hukum antarlembaga pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.
Laporan: Muhammad Lutfi