BEBERAPA tahun terakhir, muncul fenomena pemilihan kepala daerah (pilkada) yang memprihatinkan.Â
Posisi kepala daerah menjadi ajang perebutan kekuasaan (partai politik), sedangkan figur calon kepala daerah hanya menjadi kandidat yang dibongkar-pasang seenaknya oleh Ketua Umum Partai Politik.Â
Bagaimana konsep daerah akan dibangun tidak menjadi fokus perhatian, karena pemikiran pragmatis melatar-belakangi proses pilkada.
Akibatnya banyak kepala daerah berperkara hukum, baik karena terlibat korupsi maupun kasus narkoba. Sampai tahun 2015, 343 kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) diseret ke meja hijau serta dijebloskan ke penjara.Â
Hal ini disebabkan karena kepala daerah selain diharapkan dapat memberikan kemudahan politik juga telah dijadikan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) atau sumber dana oleh partai politik.
Pemilihan gubernur DKI Jakarta juga berlangsung dalam situasi pragmatisme politik yang sekarang berjangkit di kalangan partai politik.Â
Figur yang usung adalah calon yang dapat memberikan ekspektasi politik, khususnya menyumbang pendanaan untuk partai.Â
Di lain pihak para kandidat politik hanya berusaha mendongkrak popularitas agar layak diusung oleh partai politik.
Dalam kondisi seperti ini, masa depan kita dan daerah akan semakin mengerikan. Pembangunan sosial ekonomi dan prasarana  tidak pernah dibangun sesuai dengan tuntutan daerah dan warga kota.Â
Sedangkan proyek-proyek infrastruktur menjadi lahan untuk korupsi, melakukan kongkalingkong antara pengusaha, pengembang dan kontraktor.
Padahal DKI Jakarta sebagai ibukota Negara memiliki posisi yang strategis, yang berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia.Â
B‎ung Karno sebagai presiden pertama berpandangan bahwa “membangun kota adalah membangun peradaban. Bung Karno mengatakan, “seluruh rakyat Indonesia jiwanya, hatinya, rohnya, kalbunya harus menjulang tinggi ke langit laksana monumen nasional (monas)”.‎
Ibukota negara mencerminkan tingkat peradaban bangsanya. Bung Karno berpandangan arsitek kota adalah arsitek bangsa. Oleh karena itu Bung Karno telah membuat sendiri rencana tata-kota Palangkaraya pada tahun 1957.
Dengan demikian, khususnya DKI Jakarta seharusnya memiliki gubernur yang memiliki visi kenegaraan yang paripurna. Apalagi jika diterapkan paradigma membangun ibu kota (negara) berarti membangun peradaban.‎
Sulit dimengerti jika nanti DKI Jakarta memiliki gubernur yang tidak memahami apa itu peradaban dan lebih-lebih perilakunya kurang beradab.
Jakarta seharusnya disetarakan dengan kota Istambul di Turki yang merupakan simbol dan barometer peradaban pada masa lalu. Bahkan pada saat dinamakan Konstatinopel dan Bizantium, Istambul dijadikan kiblat dinamika perubahan dan peradaban dunia.Â
Oleh karena itu sangat disayangkan jika pengembangan dan pembangunan DKI Jakarta sebagai ibukota negara dijadikan spekulasi untuk diserahkan kepada kandidat yang hanya punya ambisi kekuasaan.
DKI Jakarta sebagai simbol peradaban *membutuhkan gubernur yang memiliki visi Kenegarawanan yang mampu membangkitkan spirit warganya sebagai bangsa yang memiliku peradaban tinggi*.Â
Yang mengetahui persoalan makro di bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan lingkungan hidup ; disamping memiliki kemampuan dalam melakukan pelayanan publik di segala bidang.
Sayang dalam pencalonan gubernur DKI Jakarta tidak ada yang sesuai dengan tuntutan diatas.  Hanya Rizal Ramli yang ternyata dapat memenuhi kriteria diatas.‎
Oleh‎ Ketua Barisan Rizal Ramli (BARRI) DKI, ‎Ir. Martunus Haris M.Sc‎
‎