SETIAP kali datang tanggal 21 Mei yang menandai tanggal tumbangnya rezim Suharto pada tahun 1998 dari singgasana kekuasaan Orba yang berwatak borjuasi-militeristik-kapitalistik-komprador, seyogyanya memang kita luangkan waktu sejenak, baik dalam kesendirian maupun kebersamaan, melakukan refleksi perjalanan kita sebagai anak bangsa untuk terus ‘membangsa’.
Apalagi 21 Mei hanya beda sehari saja dari Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei. Sehingga pada dua hari spesial berturut-turut itu, 20-21 Mei setiap tahunnya, rasa-rasanya akan dapat membantu mencerahkan dan menguatkan jiwa kita, terlebih bagi para segenap proponen gerakan mahasiswa 98 maupun pegiat isu-isu kebangsaan lainnya, ketika kita meluangkan waktu sejenak melakukan refleksi kebangsaan lewat cara-cara yang paling memungkinkan dilakukan oleh masing-masing pribadi, sekalipun dengan cara-cara yang paling sederhana dan paling tersedia sekalipun.
Cara apapun yang dilakukan untuk melakukan refleksi itu, ujung dari refleksi itu adalah agar dapat terus membantu meneguhkan komitmen kita dalam kehidupan berbangsa, untuk terus ‘membangsa’ secara lebih utuh, lebih baik dan lebih berkualitas lagi tentunya.
Membangsa di sini dalam artian segala upaya-upaya fisik, material, mental, dan spiritual di tengah proses-proses dialektik yang akan terus berlangsung di dalam sejarah pada sebuah–meminjam istilah Ben Andeson– ‘imagined community’, yang harus terus bersama-sama dihela oleh segenap anak bangsa, agar terus progres ke arah yang lebih baik sebagaimana dikehendaki bersama.
Sebab mahfum dipahami, bangsa itu sendiri bukanlah konsep yang ‘jadi’, melainkan konsep untuk ‘terus menjadi’. Begitu juga Indonesia bukanlah konsep yang ‘jadi’ dan selesai, melainkan konsep untuk terus ‘mengindonesia’. Begilah kira-kira tentang ‘membangsa’ yang dimaksud di sini.
Dalam konteks ‘membangsa’ itu, sangatlah menarik, inspiratif, sekalipun mengundang sergapan-sergapan nuansa yang murung dan getir ketika kita sudi menziarahi peristiwa -peristiwa pada kedalaman lapisan-lapisan episode sejarah yang lampau. Yakni saat merenungkan kalimat-kalimat bertuah Ernest Renan, ilmuwan Perancis yang karyanya dijadikan salah satu acuan oleh Bung Karno saat tampil sempurna dan berisi pada pidato bersejarah lahirnya Pancasila 1 Juni 1945.
Kalimat-kalimat yang dimaksud itu tertuang dalam karya klasik Renan yang menjadi maqnum opusnya, ‘Qu’est-ce qu’une nation?’, atau ‘What is a Nation?’, yang berbunyi:
“Or l’essence d’une nation est que tous les individus aient beauncoup de chopes en commun, et aussi que tous aient oublié bien des choses.” (Maka intisari sebuah bangsa adalah bahwa di dalamnya sekumpulan orang memiliki ‘hal-hal yang dianggap kepunyaan bersama’, dan ‘yang dilupakan bersama’).
Berhenti pada kalimat itu lalu meluncur rangkaian kalimat Renan berikutnya:
“Tout citoyen francais doit avoir oublié la Saint Barthélemy, les massacres du Midi an XIIIe siécle. Il n’y a pas en France dix families qui puissent fournir la preuve d’une origine franque”. (Semua warga Perancis wajib telah melupakan ‘Santo Bartolomeus’, ‘pembantaian-pembantaian Midi abad XIII’. Puluhan keluarga yang berkuasa di Perancis menyampaikan bukti-bukti keperancisan.)
Pada titik tersebut, Renan merasa tak perlu menjelaskan istilah-istilah yang digunakan pada rangkaian kalimatnya. Memang sepintas kalimat-kalimat itu terlihat sudah jelas. Akan tetapi jika hendak dicoba renungkan lagi makna dari kata-kata atau istilah yang digunakannya itu, akan didapati betapa jaggalnya kalimat-kalimat itu, yang boleh jadi bukan hanya bagi banyak warga Perancis yang sejaman dengan Renan, terlebih lagi bagi orang-orang di luar warga Perancis di masa itu.
Sebab hanya warga Perancis yang benar-benar mengerti sejarahnya dengan baik, yang memahami makna dari istilah ‘la Saint Barthélemy’ (Santo Bartolomeus), ataupun istilah ‘les massacres du Midi an XIIIe siécle’ (pembantaian-pembantaian Midi abad XIII) yang digunakan Renan, yang mana warga Perancis justru melalui model kampanye historiografi ala Renan itu “telah wajib untuk melupakan” (doit avoir oublié) terhadap istilah-istilah yang diacu Renan.
Sebenarnya apa arti dari ‘Santo Bartolomeus’ dan ‘pembantaian-pembantaian Midi abad XIII’ itu?
Tenyata kemudian kita tahu bahwa istilah ‘Santo Bartolomeus’ itu merujuk pada peristiwa pembantaian-pembantaian anti-Huguenot (kalangan protestan Prancis) secara membabi buta yang berlangsung pada 24 Agustus 1572 dan dilakukan oleh wangsa Valois, Raja Charles IX, beserta ibunya dari Florentin.
Dan ternyata yang dimaksud Renan “les massacres du Midi an XIIIe siècle” merujuk pada operasi massif “pembersihan etnis†terhadap kaum Albigensia yang meliputi sepanjang wilayah luas membentang dari Pyrenia dengan Alpen Selatan, dimana pembantaian itu disulut oleh Sri Paus Innocent III, salah satu Paus paling berlumur darah dalam sejarah di antara Paus-Paus bernoda.
Peristiwa-peristiwa tragedi-tragedi kemanusiaan kelam dan getir itu berlangsung jauh-jauh waktu sebelumnya, antara 300-600 tahun sebelum buku Renan itu ditulis. Sehingga dari situ sepertinya ia merasa tak perlu menjelaskan istilah-istilah yang diacunya itu, yang mana diasumsikan terdapatnya ‘ingatan’ sejarah di benak para pembaca bukunya dari kalangan orang Perancis atas tragedi-tragedi kelam bangsanya itu. Seraya ia mendorong lewat kata-kata; yang bersifat memastikan agar ‘wajib melupakan’ peristiwa-peristiwa kelam, murung, dan getir dari bangsanya itu.
Lantas, jika keberadaan ‘hal-hal yang dianggap kepunyaan bersama’ dan ‘yang dilupakan bersama’ itu ternyata merupakan intisari dari sebuah bangsa, maka apakah sesuatu yang menjadi ‘kepunyaan bersama’ dari masyarakat bangsa itu selalu berbentuk tragedi-tragedi memilukan yang dialaminya, yang kemudian harus mampu dilupakan secara bersama-sama pula?
Apakah kepemilikan bersama oleh masyarakat bangsa atas tragedi-tragedi kelam yang dialaminya, yang diikuti dengan keharusan melupakan tragedi-tragedi itu, menjadi begitu teramat penting dalam konteks membangsa?
Bagaimana jika terdapat peristiwa-peristiwa tragik dalam masyarakat namun ternyata mayarakat tak merasa perlu dan wajib untuk melupakannya bersama-sama?
Dari pertanyaan-pertanyaan itu dan rangkaian pertanyaan lain yang memungkinkan diturunkan dari situ pada konteks sejarah di luar Perancis, menjadikan pemikiran Renan tersebut memang selalu menarik, unik, dan menantang untuk jadi bahan renungan.
Dalam konteks ke-Indonesiaan kita saat ini, meminjam kerangka berpikir Renan itu misalnya, maka peristiwa-peristiwa tragik mana saja yang pernah terjadi di masyarakat Indonesia yang wajib untuk dilupakan bersama?
Bagaimana dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau, seperti kasus G 30 S/PKI dan penghancuran gerakan kiri di Indonesianpasca 1965, kasus kerusahan massal Mei 1998, kasus penghilangan paksa aktivis prodemokrasi sepanjang masa kekuasaan rezim Suharto, kasus Trisakti, Kasus Semanggi I dan II, Kasus 27 Juli 1996, dan banyak kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang pernah terjadi dan tersebar di banyak tempat di Indonesia?
Sebenarnya apa yang disampaikan Renan itu agak bertolak belakang dengan pesan kuat Milan Kundera, sastrawan Cekoslowakia kelahiran 1929, yang pada tahun 1979 dicabut kewarganegaraannya oleh pemerintahan komunis Cekoslowakia, dan sejak 1975 Kundera telah menjadi pelarian politik di negaranya Renan, Perancis. Lewat novelnya “The Book of Laughter and Forgetting â€, justru Kundera menyerukan perjuangan melawan lupa.
Tokoh dalam novel Kundera itu mengucapkan kalimat yang strukturnya kalimatnya agak mirip dan mengingatkan pada kalimat terkenal dalam Manifesto Commmunist-nya Marx, namun tentu dengan titik tekan yang sama sekali jauh berbeda: “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgettingâ€.
Dari Kundera itulah, diantaranya, banyak dari para aktivis HAM memperoleh inspirasi dan kekuatan dalam konteks perjuangan melawan lupa atas peristiwa-peristiwa atau tragedi kemanusiaan yang terjadi, serta perjuangan untuk menolak bentuk-bentuk impunitas.
Dan pesan Renan di atas tentunya juga berbeda dengan pesan tersirat yang berasal dari ‘celetukan filosofis’ yang disampaikan mendiang almarhum Gus Dur, ketika suatu waktu beliau menyinggung sosok
Amin Rais yang pernah menjadi seterunya, yang mana rangkaian manuver-manuver politik Amien Rais dan Poros Tengah berujung pada penggulingan kekuasaan Gus Dur.
Ketika itu Gus Dur nyeletuk singkat, yang dari celetukannya itu sebenarnya menyembul perspektif yang lumayan menyegarkan dan menggairahkan jika diletakkan ke dalam agenda-agenda kita untuk terus membangsa.
“Dimaafin sih udah. Tapi lupa sih enggak!” demikian celetukan Gus Dur.
Mari kita terus kobarkan semangat untuk terus membangsa dan mengindonesia, wahai sahabat setanah air tercinta.
Salam membangsa dan mengindonesia!
Oleh: Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN), Pegiat Komunitas Intelektual Aktivis 98 (KIAT 98)