AWALNYA yang membuat merosot hingga bangkrutnya nasionalisme adalah aspek kedaerahan, sektarianisme atau globalisasi. Tapi kini adalah pragmatisme dan urusan bisnis.
Pemimpin negara menjadi faktor penting dari dekadensi ini. Kebijakan kenegaraan yang sangat pragmatis dan berorientasi semata bisnis membangkrutkan rasa nasionalisme. Investasi dan utang luar negeri adalah faktor determinan.
Industri strategis tidak menjadi perhatian utama karena dinilai tidak menguntungkan dan sepertinya dibiarkan mati perlahan digantikan oleh industri baru berupa investasi asing yang mampu memproduksi hasil dengan harga pasar yang lebih murah.
Contohnya adalah industri baja Krakatau Steel yang menghadapi beban berat bersaing dengan industri baja baru investasi Cina di Morowali, Batu Licin atau Kendal. PT DI lebih dulu megap-megap begitu juga dengan PT INTI dan PT Barata.
Industri semen BUMN kini terancam bangkrut. Kebijakan impor sangat memukul sehingga melemahkan daya saing semen nasional. Semen Cina harganya lebih rendah dari semen kita dan akibat dari “predatory pricing” seperti ini produk semen lokal menjadi menumpuk tidak laku di pasaran.
Sungguh memprihatinkan. Alasan pasar bebas dan kebijakan impor jor joran barang produksi mematikan industri lokal dalam negeri. 10 perusahaan semen asing baru yang berdiri di Indonesia memperberat daya saing dua BUMN PT Semen Indonesia dan PT Baturaja. Kini saja swasta dan asing menguasai 56 % pasar semen di Indonesia.
PT Pos terancam bangkrut. Karyawan menjerit karena gaji belepotan dalam pembayaran. Industri telekomunikasi 79 % asing dan swasta dan BUMN perbankan nasional (gabungan Mandiri, BNI, BRI dan BTN) hanya 37 % saja.
BUMN infrastruktur menghadapi dilema. Jalan Tol semestinya jadi kebanggaan nasional dan bukti pemerintah mampu melakukan pelayanan publik kenyataanya harus dijual jual. Pembelinya asing dan swasta. Hilang lagi aset nasional.
Pemerintahan yang pedagang memang selalu berorientasi mencari untung jangka pendek. Bukan kesejahteraan jangka panjang dan merata.
Keuntungan pun didapat bukan oleh rakyat banyak akan tetapi pengusaha dan pejabat tertentu. Rakyat tetap berat membayar pajak ini dan itu yang selalu naik setiap waktu. Belum lagi harga barang pokok yang semakin mencekik.
Semestinya Pemerintah sadar akan ancaman kebangkrutan nasionalisme ini. Bukan semakin tenggelam dalam permainan pragmatisme atau korporatisme. Kolusi dan komisi yang selalu dikejar.
Tak ada gunanya lembaga-lembaga pembinaan dan pengembangan ideologi yang berharga mahal, jika kebijakan pemerintah masih berorientasi dan membabi-buta di aras investasi dan memburu rente hutang luar negeri.
Nasionalisme dibangkitkan bukan dengan klenik dan jampi jampi akan tetapi diawali dengan penataan diri atau kelompok yang diberi amanat kekuasaan. Paradigma mesti diubah dari “jual jual jual” menjadi “punya punya punya” dari “pakai pakai pakai” menjadi “buat buat buat”.
Bangun kebanggaan produk sendiri. Kurangi impor dan seleksi investasi. Batasi ke sana-sini cuma cari utang. Bukanlah suatu prestasi dari kerja dengan banyak utang. Bangkrut itu namanya.
Nasionalisme kini telah menjadi komoditas murahan dan bahan ejekan. Pemerintah mesti bertanggungjawab.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung