TIDAK hendak sok tahu tentang pertemuan GNPF MUI dengan Presiden Jokowi saat lebaran, karena hanya Tuhan yang Maha tahu dan mereka yang bertemu yang tau motif apa sebenarnya. Tetapi tulisan ini hendak menjawab pertanyaan bagaimana memaknai pertemuan GNPF MUI dengan Presiden Jokowi secara politik?
Ada tiga pendekatan yang digunakan dalam analisis ini. Pertama, perspektif ‘behavioral approach’ (pendekatan perilaku) yang digunakan untuk mengamati perilaku politik para aktor politik. Kedua, perspektif ‘historical approach’ (pendekatan sejarah) yang digunakan untuk menganalisis berdasar pengalaman historis mereka yang terlibat dalam peristiwa. Ketiga, perspektif ‘rational choice approach’ (pendekatan pilihan rasional). Dengan tiga pendekatan tersebut, setidaknya ada empat makna politik dari pertemuan tersebut.
Pertama, pertemuan Jokowi dengan petinggi GNPF sebagai upaya dialog yang konstruktif antara kedua belah pihak yang selama ini berseberangan. Meski saya tidak terkejut dengan peristiwa itu karena ada Wiranto sebagai Menkopolhukam yang telah lama memiliki hubungan historis dengan kelompok yang secara kultural dekat dengan FPI sejak masa akhir kekuasaan Soeharto dan awal pemerintahan Habibie dimana Wiranto saat itu sebagai Menkopolhukam memiliki kedekatan dengan apa yang disebut waktu itu sebagai Pam Swakarsa.
Kelompok pengaman yang dikesankan swadaya masyarakat ini sejenis kelompok ‘milisi sipil Islam’ yang memiliki peran atas nama untuk mengamankan situasi sosial politik Jakarta yang saat itu sedang bergejolak dalam menghadapi gerakan mahasiswa episode 1998-1999.
Fakta historis hubungan Wiranto dengan ‘milisi sipil Islam’ ini telah memudahkan Wiranto mempertemukan mereka dengan Presiden Jokowi. Meski tidak ada hubungan langsung antara kelompok ‘milisi sipil Islam’Â waktu itu dengan GNPF saat ini tetapi lebih kepada hubungan kultural karena ada FPI di GNPF yang secara kultural dekat dengan Pam Swakarsa.
Kedua, perilaku politik pertemuan tersebut menguntungkan Jokowi. Jokowi mendapatkan ‘gizi politik’ yang cukup tinggi karena berhasil mendudukan petinggi GNPF MUI bercengkrama silaturahim di Istana yang selama ini GNPF MUI sebagai representasi penting kelompok kritis pembela fatwa MUI yang memiliki kesan sebagai kelompok Islam independen dan seringkali dikesankan radikal intoleran oleh banyak pihak yang kurang memahami latar sosioreligius aktivis GNPF MUI.
Jika pertemuan tersebut berhasil ‘mendiamkan’ sikap kritis GNPF MUI maka Jokowi mendapat ‘gizi politik’ yang dikesankan berhasil menyelesaikan polemik dan menarik simpatik ‘umat Islam’. ‘Gizi politik’ ini menambah percaya diri Jokowi menghadapi kontestasi politik pada 2019 mendatang.
Ketiga, petinggi GNPF MUI nampaknya kurang kritis dalam pertemuan tersebut karena janji 12 juta tanah untuk rakyat dianggap sebagai solusi perekonomian ummat, tanpa detail seperti apa 12 juta tanah untuk rakyat itu, dan seperti apa detail perimbangan dan penggunaanya.
Selama ini berapa juta hektar tanah dikuasai yang lain dan selama ini 12 juta tanah itu milik siapa, dan berbagai pertanyaan lainya. Janji angka 12 juta tanah untuk rakyat semoga tidak meninabobokan siapapun yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan di republik ini, termasuk GNPF.
Keempat, tentu pertemuan tersebut menjadi prestasi Wiranto sebagai Menkopolhukam yang berhasil memediasi pertemuan tersebut yang selama ini dikesankan sulit mempertemukan GNPF dan Presiden. Ditangan Wiranto soal kelompok Islam bisa diatur.
Lebih dari itu pertemuan GNPF MUI dengan Presiden telah menjungkirbalikan asumsi sebagian publik yang menilai GNPF MUI sebagai kelompok radikal, intoleran dan anti dialog. Faktanya GNPF MUI setidaknya telah menunjukan dua hal. Pertama, berhasil pada waktu itu menghadirkan Jokowi di aksi 212 yang disebut-sebut aksi intoleran, dihadiri jutaan ummat Islam secara damai.
Aksi masa terbesar yang terkonsentrasi di Jakarta sepanjang sejarah Indonesia. Kedua, GNPF MUI berhasil menunjukan kepada publik bahwa mereka bukan kelompok radikal, intoleran dan anti dialog. Mereka sebenarnya adalah kelompok intelektual muslim yang mampu mengambil peran khas di episode politik penting.
Ini pilihan yang dinilainya paling rasional bagi aktivis GNPF untuk mengambil sikap, termasuk bertemu dengan Jokowi saat ini. Fakta pilihan rasional ini meyakinkan saya bahwa GNPF akan tetap kritis terhadap langkah Presiden jika langkah Presiden dinilainya berseberangan dengan nilai-nilai Islam yang mereka yakini.
Sebagai pilihan rasional, semoga GNPF masih merawat sikap kritisnya untuk mengambil peran apa yang dalam dogma agama disebut sebagai ‘amar ma’ruf nahiy munkar’ dan ‘tawa shoubil haq watawa shoubishobr’. Sebuah spirit oposisi Islam yang dikenal dalam kajian sosiologi politik sebagai peran ‘civil society’ yang memiliki peran penting bagi hadirnya keseimbangan politik dalam praktik demokrasi yang beradab. Semoga!
Oleh Ubedilah Badrun Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)