KedaiPena.com – Ada tiga hal yang mendorong seseorang untuk masuk dalam kelompok ekstremis dan ada dua hal yang bisa membuat seorang ekstremis untuk meninggalkan dunia ekstremis tersebut.
Direktur The Lead Institute Universitas Paramadina, Dr. phil. Suratno Muchoeri menyebutkan dalam studi terorisme, profiling kelompok ekstrem dapat dilihat dari tiga hal atau dikenal 3N Theories: Naratif, and Network.
“Pertama tentang naratif, semua kelompok ekstrem Islam pasti alasannya jihad. Misalnya dalam kasus Kang MT (Matahari Timoer), narasi yang dominan dalam kelompok NII misalnya minazzulumat ila nur, kenapa? Karena NII menganggap NKRI thogut, negara tidak berdasarkan Islam,” kata Suratno, dalam webinar “Inspirasi Taqorrub-Ilalloh Lewat Kisah Perjalanan-Spiritual Para Tokoh: Edisi Mantan Ekstrimis” yang dilaksanakan secara daring di Jakarta, ditulis Minggu (17/3/2024).
Kedua, need atau motif, yang biasanya adalah kebutuhan fisik dan psikis.
“Kalau fisik biasanya lingkungan, makanya biasanya anak muda yang kurang pergaulan dia mudah masuk karena mereka butuh lingkungan. Kemudian psikis, yang berhubungan dengan kedamaian. Kang MT dulu pernah di jalanan, berkelahi dengan kehidupan yang keras sehingga orang butuh kedamaian secara spiritual,” paparnya.
Motif lainnya yang bisa memicu, menurut Suratno, adalah kemiskinan.
“Kalau miskin, kadang merasa gagal hidupnya, jika merasa gagal solusinya akhirnya kelompok ekstremis memberikan penawar kebahagiaan. Bahkan pada kelompok ekstrem seperti JI, jadi pengantin,” paparnya lagi.
Yang ketiga, yaitu Network atau jaringan, yang menjadi pintu bagi orang-orang untuk masuk ke dunia kelompok ekstrem.
“Kang MT masuk ke NII sebagai network utama. Setelah hidup di jalanan, hampa spiritual, masuk ke masjid. Pada 1990 an, kelompok seperti NII memang adalah kelompok bawah tanah karena dikejar rezim Soeharto yang dianggap subversif. Recruiternya ke masjid, tanpa sengaja ketemulah di satu masjid, jadi networknya adalah melalui masjid,” kata Suratno.
Pada proses liminal, menurut Suratno, ada faktor yang menyebabkan seorang ekstremis dapat taubat atau tidak, bahkan ada yang sampai meninggal dunia.
“Menurut teori itu, yang dilihat ada istilahnya push factor dan pull factor. Faktor pendorong datang dari Kang MT sendiri, tapi juga ada faktor dari luar atau faktor penarik. Yang bisa positif bisa juga negatif, di mana keputusan terakhir ada pada pelakunya sendiri,” tandasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Matahari Timoer atau dikenal dengan Kang MT, seorang aktivis sosial dan juga mantan ekstremis menceritakan perjalanan hidupnya.
“Kita tahu kehidupan dalam gelembung ekstremisme seperti terjebak dalam labirin kegelapan, di situ kita merasa sudah menyebar pelita, cahaya kecil untuk menerangi masyarakat dengan slogan ‘dari kegelapan menuju cahaya’. Nah, keyakinan ideologis yang dipegang teguh menjadi tembok tebal yang membatasi ruang pandang dan membungkam suara hati,” kata Kang MT.
Ia menyampaikan bagi mantan anggota gerakan bawah tanah yang melepaskan diri dari cengkeraman ekstremisme, kembali ke kehidupan normal adalah sebuah perjalanan spiritual yang penuh rintangan dan pergolakan batin.
“Awal mulanya saya bingung melihat kontradiksi ideologi dengan kenyataan di lapangan. Ketika saya melihat ada kekerasan dan kekejaman yang dilakukan atas nama Allah, itu kok begini sih, mulai tergerus keyakinan saya,” tuturnya.
Tembok kedua, lanjutnya, adalah pencarian kebenaran. Rasa haus akan kebenaran mendorong untuk mencari informasi di luar cakupannya, membaca buku, artikel, dan berbicara dengan tokoh.
“Saya ingin membuka mata terhadap realitas yang sebenarnya di masyarakat, dibandingkan dengan realitas yang saya alami,” tuturnya lagi.
Keputusan untuk meninggalkan gerakan bawah tanah menurutnya bukan perkara mudah, ancaman bahaya dan pembunuhan mengintai.
“Saya sendiri ketika mau keluar dan perlawanan sudah makin terang-terangan, akhirnya kena hukuman dan darah kami dihalalkan,” kata Kang MT.
Kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, akunya, juga bukan hal yang mudah.
“Di satu sisi saya melihat para pengelola negara, para politikus yang membuat saya pesimis, mereka korup bagaimana mungkin saya membenarkan pejabat korup, takluk pada oligarki, menumbalkan masyarakat adat untuk memenuhi kerakusan korporasi tambang, aparatur hukum yang bermain hukum. Tapi saya melihat wajah tulus rakyat Indonesia yang saling respek terhadap keragaman, itulah yang membuat akhirnya memang apabila kita memang berniat untuk meninggalkan satu yang salah dan kembali kepada jalur normal, Tuhan tidak akan diam,” pungkasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena