KedaiPena.Com – Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan kembali memutuskan untuk melakukan impor beras jilid III. Hal tersebut lantaran tingginya harga beras premium pasaran kini.
Jika ketahui, persetujuan untuk impor beras untuk Bulog ini pada tahap I dan II telah dikeluarkan bulan Februari dan Mei 2018, masing-masing jumlahnya 500.000 ton.
Sementara izin impor tahap III dikeluarkan pada bulan Juli 2018 sebesar 1 juta ton dari Vietnam, Thailand, Myanmar, India, dan Pakistan.
Di tengah masa izin impor yang sudah hampir habis, Bulog bahkan diberikan izin perpanjangan impor hingga 30 September 2018. Dengan demikian total impor beras yang kembali dilakukan pemerintah mencapai 2 juta ton pada tahun ini.
Namun demikian, kebijakan impor juga jilid III ini turut menuai kontroversi lantaran kembali mencuatnya perbedaan data antara lembaga.
Pemerintah terkesan tidak mempunyai data yang baik seperti itu. Keputusan untuk mengimpor 2 juta ton beras pada tahun ini pun diwarnai oleh ketidakpercayaan pemerintah kepada data miliknya sendiri.
Berdasarkan data yang dimiliki, Kementerian Pertanian sebetulnya memperkirakan produksi beras pada tahun ini akan mengalami surplus. Produksi gabah tahun ini, menurut Kementerian Pertanian, akan mencapai 80 juta.
Angka itu setara dengan 46,5 juta ton beras. Padahal total konsumsi beras secara nasional diperkirakan mencapai 33,47 juta ton.
Artinya, menurut Kementerian Pertanian, produksi beras tahun ini akan surplus 13,03 juta ton. Namun Kementerian Perdagangan meragukan perhitungan itu.
Alasannya, tahun lalu target yang diperhitungkan oleh Kementerian Pertanian juga meleset realisasinya. Inilah salah satu pertimbangan yang menjadi sandara keputusan impor beras 2 juta ton pada tahun ini.
Jika berkaca pada keputusan impor beras di awal tahun. Keputusan impor beras ini sedianya menuai kritikan dari berbagai pihak. Banyak pihak yang menyimpulkan keputusan impor ini didasari kepentingan di tahun politik.
Eks Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli menyebut bahwa impor khusunya impor beras bisa menjadi sumber dana yang besar untuk kepentingan politik.
Rizal begitu ia disapa juga menuturkan bahwa keuntungan para pemburu rente atas kebijakan impor cukup menggiurkan.
Ada komisi 20-30 dolar per ton dalam setiap kebijakan impor.
Rizal pun mengatakan kebijakan pemerintah yang jor-joran membuka impor pangan tidak pro rakyat. Dengan sumber daya yang ada, harusnya Indonesia tak perlu bergantung pada pangan impor. Malahan Indonesia bisa jadi eksportir pangan.
Karena itu, Rizal Ramli meminta pemerintah memperkuat kedaulatan pangan dengan memberdayakan petani di dalam negeri.
“Pemerintah jangan bikin hidup kita lebih susah. Tak masuk akal Indonesia satu-satunya negara yang dapat matahari, dan air yang banyak, kita harusnya jadi mangkok makan Asia, eksportir produk pangan,” kata Rizal kala itu.
Sementara itu, Ketua Umum Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra) Poempida Hidayatulloh mengakui, perbedaan data antar lembaga memang menjadi masalah yang tak kunjung selesai di Republik ini.
Poempida begitu ia disapa menilai, Indonesia sangatlah miskin data. Bukan hanya dari segi pertanian tapi juga dari semua lini.
Perbedaan data tersebut, lanjut Poempida, seringkali memunculkan pandangan bahwa impor dilakukan demi sebuah tujuan yakni memperkaya diri ataupun biaya politik.
“Tapi sih memang sudah bukan rahasia umum lagi. Impor merupakan sebuah project untuk berbagai tujuan seperti memperkaya diri sendiri dan biaya politik,†kata Poempida kepada KedaiPena.com, di kantornya beberapa waktu lalu.
Dengan kondisi demikian, lanjut Poempida, sebaiknya pemerintah menyelesaikan masalah perbedaan data antara lembaga ini. Poempida meminta pemerintah berkaca dengan para ‘starup’ yang jauh lebih unggul dari segi data.
“Zaman sekarang kan udah canggih untuk mendata bukan hal yang sulit, jangan malah kalah sama starup, yang sudah mempunyai data konkrit soal panen petani. Masa, Negara kalah dengan komersil,†beber Poempida.
“Kalau data sudah lengkap Ini kan bisa di buat transparan oleh publik, tinggal di total panen kita berapa? Lalu nah nanti dari kebutuhan produksinya berapa. Jadi dilihat ketika kita mau impor,†ujar Poempida.
Kalau perbedaan data tak kunjung bisa diselesaikan, Poempida menyarankan, agar pemerintah dapat melakukan disverifikasi beras dengan bahan pangan alternatif lain. Semisal, sagu ataupun jagung.
“Jadi tinggal di edukasi kita harus perkenalkan makanan yang sehat yang kita sediakan secara domestik. Nanti kalau mau beras, ya fokus di beras, kalau mau jagung, ya fokus ke jagung, sama kayak sagu, kalau mau sagu fokus ke sagu,†pungkas Poempida.
Laporan: Muhammad Hafidh