KITA sudah memasuki tahun ke 6 dengan pertumbuhan ekonomi di sekitar angka 5% sejak 2013. Ekonomi kita yang melempem itu antara lain disebabkan karena terlalu mengandalkan kepada ekspor bahan mentah yaitu hasil tambang batubara dan Crude Oil Palm (CPO) serta komoditi lainnya seperti karet dan lain-lain yang harganya turun sejak 2013.
Bahkan Cacao harganya juga sudah turun drastis sejak pertengahan 2016. Perekonomian tradisional yang bernilai tambah rendah ini bahkan secara substansial tidak berubah dari sejak jaman kolonial Belanda.
Karena itu tidak mengherankan bila terjadi sedikit goncangan di ekonomi global, misalnya harga komoditi yang turun akan menyebabkan turunnya nilai ekspor yang menyebabkan defisit neraca perdagangan.
Hal ini pula yang antara lain menyebabkan turunnya nilai rupiah terhadap dollar AS, meskipun ada faktor lain seperti adanya aliran modal keluar dsb.
Nilai rupiah yang anjlok itu tidak bisa serta-merta menaikkan ekspor karena kedalaman struktur industri kita yang payah sehingga bahan baku dan bahan penolong industri kita masih sangat banyak yang impor.
Ini adalah akibat kesalahan strategi ekonomi selama puluhan tahun sejak jaman Orde Baru sampai sekarang yang dikendalikan oleh para ekonom tradisional yang sama sekali tidak progresif hanya melanjutkan pola perekonomian kolonial Belanda.
Pola ekonomi kolonial hanya mengandalkan kepada ekspor bahan mentah termasuk bahan tambang yang tidak terolah seperti batubara, emas, tembaga dan sebagainya. Sedangkan ekspor produk manufaktur seperti tekstil hanya berkembang terbatas hanya separuh dari ekspor tekstil Vietnam.
Melanjutkan perekonomian tradisional seperti inilah yang menyebabkan tidak mungkin kita mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hanya sekitar 5% dan pada waktu Orde Baru pun hanya sekitar rata-rata 6% selama 30 tahun.
Padahal Filipina yang dulu dijuluki “The Sick Man of Asia” karena selalu mempunyai pertumbuhan ekonomi yang rendah, sejak 2010 mulai dari pemerintahan Benigno Aquino III mempunyai pertumbuhan ekonomi rata2 6,3% per tahun, jauh diatas kita. Demikian juga Vietnam dari tahun 2000-2018 (19 tahun) mempunyai pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,5% per tahun, jauh di atas kita.
Negara-nagara maju di Asia seperti Singapura, Taiwan, Korea Selatan, China dan Malaysia selalu pernah mempunyai pertumbuhan yang tinggi selama puluhan tahun dan mempunyai sektor industri dan jasa yang maju.
Ekonomi Taiwan tumbuh 8,7% selama 31 tahun antara tahun 1952-1982 . Sektor industrinya berkembang 680% dalam 22 tahun antara tahun 1965-1986. Gini rationya turun jauh dari 0,558 pada tahun 1953 menjadi hanya 0,303 pada tahun 1980. Lebih bagus dari negara-negara barat.
Ekonomi Korea Selatan tumbuh rata-rata lebih dari 8% selama 28 tahun dari tahun 1962 sampai dengan 1989 . Namun dalam tahun 1982-1985 ekonominya tumbuh rata-rata 9,2% pertahun dan pada 1986-1988 tumbuh rata-rata 12,5% per tahun.
Peranan sektor industrinya dalam GDP-nya berkembang dalam 26 tahun dari 14.3% tahun 1962 menjadi 30,3% di tahun 1987. Di lain pihak inflasinya hanya 2,1% antara tahun 1980-1988.
Ekonomi Cina selama 30 tahun dari 1978 – 2007 tumbuh 10,026% per tahun. Bila dihitung antara 1978-2013 (36 tahun) tumbuh rata2 9,5% per tahun. Cina yang mengutamakan ekonominya di empat sektor yaitu pertanian, industri, militer, science & teknologi itu sekarang sangat maju menjadi perekonomian nomor dua terbesar di dunia , sangat maju dalam teknologi dan baru saja sukses mencoba pesawat hipersonik.
Ekonomi Jepang pun pernah tumbuh rata-rata 10 persen selama 24 tahun dari tahun 1950-1973. Ekonomi Singapura juga pernah tumbuh rata-rata 8% selama 40 tahun dari tahun 1960-1999. Ekonomi Malaysia tumbuh rata-rata 8% selama 15 tahunan dari awal tahun 1980an sampai dengan pertengahan 1990an .
Jadi melihat data-data itu semua sudah sangat jelas bahwa bila kita ingin maju mengejar ketertinggalan kita dengan negara-negara maju di Asia kita harus mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama puluhan tahun. Bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang 5% yang pasti akan menjadi negara yang tertinggal.
Tetapi bukan hanya menjadi negara yang ekonominya tumbuh tinggi saja yang kita perlukan. Namun juga harus mampu memajukan pertanian, industri, science & teknologi, sektor jasa termasuk keuangan, meratakan peranan pelaku ekonomi, menyejahterakan rakyat dan mengubah perekonomian tradisional menjadi perekonomian modern dan sebagainya.
Untuk itu diperlukan ekonom yang progresif, bersih, komitmen yang jelas kepada negara dan rakyat, yang bekerja cepat dan fokus kepada tujuan-tujuan di atas dan yang telah mempunyai banyak prestasi dan track record yang nyata.
DR Rizal Ramli yang walaupun kontroversial dengan jurus-jurus kepretnya itu namun selain sudah banyak sekali prestasinya dan punya track record yang sangat baik juga selalu terbukti bahwa “kepretannya” itu benar dan demi kepentingan negara.
Misalnya PT Freeport Indonesia yang tadinya kontrak karyanya sudah mau diperpanjang begitu saja dengan operasi pertambangan, royalti dan pajak yang merugikan Indonesia, setelah “dikepret” oleh DR Rizal Ramli sekarang hampir terwujud kontrak IUPK yang arahnya saling menguntungkan dengan Indonesia.
Lalu Garuda Indonesia yang dikepret itu akhirnya terbukti rugi besar. Demikian pula program listrik 35.000 MW yang dikepret itu akhirnya belum tentu bisa selesai COD (listrik nyala) pada 2019 sebesar 10.000 MW.
DR Rizal Ramli yang pernah menyelamatkan bank BII (sekarang Maybank) yang di-rush tanpa menyuntikkan uang sepeserpun, menyelamatkan PLN yang waktu itu modalnya sudah minus, sudah tidak bisa pinjam bank, juga tanpa menyuntikkan modal sepeserpun bahkan modalnya bisa menjadi ratusan triliun dan masih banyak lagi prestasinya adalah ekonom yang progresif.
Karena itu bila Indonesia ingin maju dan sejajar dengan negara-negara maju di Asia lainnya hanya bisa bila memberikan peranan kepada ekonom yang progresif bukan kepada ekonom yang melempem.
Oleh Abdulrachim K, Analis Kebijakan Publik