MEMASUKI medio Mei 2016 ini, genap setahun sudah pengungsi etnis Rohingya dari negara Myanmar terdampar di Aceh Utara. Setahun juga pula lembaga kemanusian global Aksi Cepat Tanggap (ACT) hadir untuk ikut secara langsung menangani mereka. Aksi Cepat Tanggap hadir hanya beberapa pasca mereka tiba di daratan Aceh Utara, setelah diselamatkan sejumlah nelayan Aceh.
Pada tahap emergensi (darurat) ACT merekrut sejumlah relawan lokal untuk membantu dan melayani mereka yang terusir dari negerinya ini. Kondisi mereka saat itu sungguh sangat memprihatinkan, setelah berbulan-bulan terapung di tengah laut.
Ketika masa emergensi itu berlalu, konsentrasi terbesar kami saat itu adalah membangun sebuah lokasi hunian yang layak, jauh dari kesan seperti barak darurat. Sebuah hunian yang terintegrasi dengan semua fasilitas utama yang dibutuhkan pengungsi, seperti klinik kesehatan, ruang belajar, rumah ibadah, dapur umum, taman bermain, MCK dan fasilitas lainnya.
Aksi Cepat Tanggap pun mendapat kepercayaan dari Pemerintah Daerah Aceh Utara untuk membangun kawasan hunian yang kemudian didirikan di Desa Blang Adoe, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara di atas lahan seluas 5 hektar milik pemerintah daerah setempat.
Hunian dengan 120 kamar itu rampung dalam waktu satu bulan. Lengkap dengan segala fasilitas yang disebutkan di atas. Integrated Community Shelter (ICS) Rohingya di Desa Blang Adoe ini pun kemudian disebut banyak pihak sebagai tempat hunian terbaik yang dibangun untuk Rohingya, dibanding dengan tempat hunian serupa yang ada di beberapa negara lain.
Bersama lembaga internasional, nasional dan lokal, ACT masih terlibat hingga saat ini, dan menjadi bagian dalam ‘working group’ yang menangani pendidikan anak-anak dan pelatihan keterampilan pengungsi. Pun menjadi penyedia kebutuhan listrik dan air minum bagi pengungsi Rohingya.
Sedangkan program pemberdayaan yang masih berjalan hingga hari ini adalah pelatihan menjahit bagi penngungsi, utamanya para perempuan Rohingya. Tak ingin melupakan peran warga sekitar shelter program ini juga melibatkan masyarakat sekitar dari Desa Blang Adoe untuk mengikuti pelatihan.
Hingga saat ii, para relawan tangguh dari Lhokseumawe, Aceh Utara juga masih setia menemani para tamu-tamu bangsa itu. Mereka menyatakan merasa bangga dapat terlibat selama setahun penuh dalam menangani pengungsi Rohingya, para pencari suaka yang mengalami penderitaan begitu hebat di negari asalnya.
Mereka orang-orang Myanmar dari etnis Rohingya, yang disebutkan PBB sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia. Pemerintah Myanmar tidak mengakui etnis muslim minoritas Rohingya ini di antara 134 etnis resmi Myanmar.
Sesungguhnya keterlibatan ACT dalam menangani pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh telah dimulai sejak 2007 silam, ketika sejumlah etnis Rohingya terdampar di Sabang. Pada tahun 2013, ACT bahkan turun langsung ke Myanmar untuk membangun ratusan barak di Kamp Setha Ma Ghi, Sitwee.
Atas nama lembaga, kami juga ingin menyampaikan terimakasih kepada seluruh donatur, masyarakat dan pemerintah yang telah membantu kami, sehingga bisa berperan demikian besar dalam membantu saudara-saudara muslim Rohingya di Aceh.
Oleh Zainal Bakri, Media Relations Komite Nasional untuk Solidaritas Rohingya (KNSR)/ACT Aceh