TIGA belas tahun lalu saya kedatangan tamu laki-laki yang mengaku penginjil. Saya ragu akan statusnya. Karena dari penampilannya, tidak mengesankan dan meyakinkan bahwa dia seorang agamis.
Potongan tubuhnya atletis dengan otot-otot yang padat disertai sorot mata yang tajam.
Sulit menolaknya sebagai tamu. Karena ketika bertemu dengan Sekretarisku, dia mengaku direkomendasi oleh Maya Rumantir, seorang seleb cantik yang ketika itu aktif dalam penginjilan. Maya ketika itu juga belum menikah.
Tamu ini rupanya bisa membaca bahasa tubuh saya yang tidak begitu nyaman. Sebabnya dia mengaku pendeta, tetapi kedua tangannya penuh dengan tatoo.
Untuk membuat saya nyaman, akhirnya dia ceritakan masa lalunya, secara apa adanya.
Dimulai dengan cerita mengapa dia bertatoo. Ternyata bukan hanya kedua tangannya yang ditatoo. Tapi sekujur tubuhnya. Bagian punggung, perut dan dada.
Dia seorang bintara polisi yang digembleng oleh Kapolri (1984 – 1986) Anton Sudjarwo untuk memberantas perdagangan narkoba.
Untuk tugas tersebut dia bersama 11 anggota Polri pilihan Kapolri, dikirim ke luar negeri mendalami ilmu beladiri. Ke Jepang untuk ilmu beladiri Karate dan Jiu Jitsu, Korea untukTae-Kwondo  dan Hong Kong untuk Kung-fu.
Mengapa harus dalami ilmu bela diri? Karena bakal berhadapan dengan Triad pedagang narkoba. Bakal masuk ke sarang Triad dengan tangan kosong. Kalau sudah begitu hanya ilmu bela diri yang sempurna yang jadi andalan.
Lalu mengapa sekarang  menjadi penginjil ? “Saya bertobat. Keluar dari kepolisian”, ujarnya
Dia berkisah, ketika bertugas menjalankan operasi pemberantasan, dia tergoda untuk ikut berdagang narkoba. Alasannya, tidak kuat menahan godaan melihat uang banyak. Kesempatan menjadi kaya raya sangat gampang.
Karena daya tarik uangnya begitu kuat, ia pun ikut-ikut berdagang dan menjadi bagian dari jaringan Triad Narkoba.
Tapi malang tak bisa ditebak. Ia tertangkap oleh otoritas Singapura dan sempat masuk tahanan di sana. Namun berkat bantuan jaringannya, dia bisa keluar dari tahanan.
Dari Singapura ia kembali ke Indonesia dan memutuskan untuk masuk sekolah pendeta.
Dia mengira, menjadi pendeta akan menjadikan hidupnya tenang. Justru setelah punya jemaat, sudah bisa berkhotbah rutin di sebuah komunitas, dia mulai dan terus dibayangi oleh orang-orang misterius.
Berkali-kali dia menandai ada kawanan yang terus mengikutinya dari belakang.
Sampai akhirnya terjadi sebuah insiden. Dia baru masuk ke halaman gereja, dan turun dari kendaraan, tiba-tiba dihadang oleh dua laki-laki yang berseragam seperti ninja. Wajah mereka ditutup dengan kain hitam dan hanya menyisahkan dua lobang yang dibolongi untuk bisa melihat.
Kedua ninja itu mulai mengibas-ngibaskan pedang mereka ke arah badannya yang tanpa perisai. Dalam hati kecilnya, hari itu merupakan hari kematiannya. Karena di sekitar itu tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Dan kalau pun ada yang mau menolong, belum tentu bisa mengalahkan kedua ninja yang sudah menghunus pedang alat pembantai.
Sambil mengawasi gerak-gerik kedua ninja, si pendeta komat kamit berdoa. Pada saat yang sama, ia coba mengingat-ingat ilmu bela diri yang pernah dia pelajari.
“Kehendak Mu jadilah”, teriaknya sambil mengeluarkan jurus beladiri yang masih bisa dipraktekkannya. Salah satu dari kedua ninja berhasil ditaklukannya.
“Puji Tuhan”, katanya lagi, akhirnya kedua ninja tersebut berhasil ditaklukannya.
Kedua pedang yang mau digunakan untuk membantainya, Â berhasil dia rampas. Dan mau tidak mau kedua ninja harus menuruti apa saja perintahnya.
Kedua ninja mengaku bahwa mereka memang dikirim oleh pimpinan puncak , untuk melenyapkan dari muka bumi. Si pendeta dianggap penghianat.
Percakapan kami kemudian beralih pada anatomi dari jaringan narkoba dan kegiatan sosialnya.
Dia berpendapat, memberantas narkoba merupakan sebuah pekerjaan yang bisa dikatakan hampir mustahil. Tak satupun negara di dunia ini yang mungkin bisa memberantas narkoba. Itu semua terjadi karena omzet perdagangan narkoba secara global, sangat dan luar biasa besar.
Persoalan politik, ekonomi dan apa saja yang rumit bisa diatasi oleh pemerintah. Tapi tidak, dengan masalah narkoba.
Persoalannya pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan itu sangat kuat  dan telah bergurita. Setiap anggota jaringan belum tentu saling kenal. Mereka baru bisa saling kenal kalau ada barang dan uang.
Semua kegiatan diudukung oleh kekuatan finansil yang tak terbatas.
Dia tidak berani menyebut perkiraan omzetnya pada waktu itu. Kecuali mengatakan bahwa para pemakai narkoba di Indonesia pada tahun 2003 itu sudah mencapai 3 juta orang. Dan mereka terdiri dari anak-anak ingusan sampai kakek-nenek yang sudah bau tanah.
Perkiraan dia, setiap konsumen membelanjakan tidak kurang Rp. 100,- ribu per hari. Itu berarti dalam sehari omzet yang diraup sang bandar mencapai Rp. 300,- milyar per hari.
Dengan kekuatan dana tersebut, manusia mana yang tidak bisa dibeli ?
Sadar bahwa tidak gampang memerangi jaringan dan perdagangan narkoba dengan cara kekerasan, maka diputuskannya untuk mendirikan yayasan rehabilitasi. Yayasan nirlaba itu menampung para korban narkotika untuk pengobatan.
Prinsipnya kalau tidak bisa mematikan jaringan, paling tidak dia bisa menghidupkan sang korban. Menyelamatkan nyawa orang lain.
Saya menyesal tidak sempat mennyimpan alamatnya. Karena saya pikir dia yang perlu pada saya. Dia berjanji akan kembali sebab kedatangannya untuk membicarakan kemungkinan adanya program di RCTI yang membahas soal bahaya narkoba.
Dia beranggapan, sebagai Pemimpin Redaksi saya bisa berbuat segala-galanya di televisi swasta tersebut.
Dia juga meninggalkan brosur yang berisi keterangan tentang kegiatan yayasannya yang merawat para korban narkotika.
Saya menunggu kedatagannya kembali. Tapi hingga saya keninggalkan RCTI pada Agustus 2005, bekas polisi anti narkoba itu, tak pernah kembali.
Entah mengapa. Saya cuma berharap, semoga dia tidak mengalami insiden kedua kalinya, dihadang oleh dua ninja.
Catatan Tengah Jurnalis Senior Derek Manangka