Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Dalam Rapat bersama anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, utang Indonesia mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sri Mulyani memberi contoh, selama periode 2018-2022, utang Indonesia naik 206,5 miliar dolar AS, dan ekonomi (PDB) nominal naik 276,1 miliar dolar AS. Tetapi, yang mengejutkan, Sri Mulyani kemudian menyatakan, setiap 1 dolar AS tambahan utang membuat ekonomi naik 1,34 dolar AS (= 276,1 miliar dolar AS / 206,5 miliar dolar AS). Lihat gambar yang diambil dari slide presentasi Menteri Keuangan di Banggar: “Kebijakan Fiskal Indonesia Efektif Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Termasuk di Masa Pandemi”
Pernyataan Sri Mulyani secara eksplisit mengatakan, bahwa utang merupakan satu-satunya faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi naik: semua pertumbuhan ekonomi sebesar 276,1 miliar dolar AS disebabkan oleh tambahan utang 260,5 miliar dolar AS.
Seolah-olah, faktor atau variabel lainnya, seperti konsumsi rumah tangga atau investasi, menurut Sri Mulyani, tidak berperan sama sekali, alias nihil, dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Tentu saja, pernyataan Sri Mulyani ini tidak benar, bermakna membodohi publik, dan membohongi anggota Banggar DPR secara langsung. Karena, seolah-olah, pertumbuhan ekonomi hanya bersumber dari utang. Seolah-olah, tanpa utang, tidak ada pertumbuan ekonomi.
Padahal, faktanya, sebagian besar pertumbuhan ekonomi bersumber dari konsumsi rumah tangga, investasi dan net ekspor (ekspor-impor), dengan kontribusi masing-masing 39,8 persen, 19,1 persen dan 18,2 persen, untuk periode 2018-2022. Lihat tabel 1.
Sedangkan sumber pertumbuhan ekonomi dari konsumsi pemerintah hanya 3,5 persen, atau Rp168,2 triliun dari total pertumbuhan ekonomi sebesar Rp4.751,0 triliun.
Perlu dicatat, pertumbuhan konsumsi pemerintah Rp168,2 triliun tersebut sudah termasuk penambahan utang pemerintah sebesar Rp3.272,2 triliun, untuk periode 2018-2022.
Dengan kenaikan konsumsi pemerintah sebesar Rp168,2 triliun, dan kenaikan ekonomi sebesar Rp4.751 triliun, tidak berarti, setiap kenaikan Rp1 konsumsi pemerintah, membuat ekonomi naik Rp27,2 (= Rp4.751 / Rp168,2). Pernyataan seperti itu sangat menyesatkan. Karena, banyak faktor lainnya yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yaitu konsumsi rumah tangga, investasi dan net ekspor.
Lebih menyesatkan lagi, kalau mengatakan, penambahan utang (atau defisit anggaran) Rp3.272,2 triliun tersebut (yang sebenarnya sudah termasuk bagian dari penambahan konsumsi pemerintah sebesar Rp168,2 triliun) membuat ekonomi naik Rp4.751 triliun. Seolah-olah ada hubungan langsung, dan satu-satunya faktor, antara tambahan utang dengan kenaikan ekonomi. Atau setiap Rp1 tambahan utang membuat ekonomi tumbuh Rp1,45, seperti diilustrasikan di tabel 5, dengan mengikuti logika dari pernyataan Sri Mulyani di rapat bersama Banggar DPR.
Oleh karena itu, Banggar DPR harus memanggil Sri Mulyani untuk menjelaskan bagaimana cara kerja ekonomi, atau model ekonomi, yang dimaksud olehnya, bahwa setiap RpX tambahan utang dapat membuat ekonomi naik RpY, dan sekaligus memberi notasi dan persamaan model matematikanya.
Kalau tidak ada penjelasan lebih lanjut, maka pernyataan Sri Mulyani bermakna membohongi publik dan Banggar DPR. Sebagai konsekuensi, Sri Mulyani harus diberhentikan dari semua jabatan publik.
Terakhir, untuk tahun 2022, konstribusi konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi negatif 2,6 persen, atau negatif Rp68,8 triliun dari total pertumbuhan ekonomi Rp2.611,7 triliun. Lihat tabel 3.
Padahal, di dalam kenaikan konsumsi pemerintah yang negatif 2,6 persen tersebut, atau negatif Rp68,8 triliun, sudah termasuk tambahan total utang pemerintah sebesar Rp825 triliun pada tahun 2022, dari Rp6.909 triliun (2021) menjadi Rp7.734,0 triliun.
Bagaimana Sri Mulyani mengartikan data tersebut?
Semoga Sri Mulyani dapat menjelaskan dan mempertanggungjawabkan pernyataannya di Banggar DPR.
[***]