Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Mei, bulan perjuangan. Label itu dilekatkan sejumah orang. Bukan tanpa alasan.
Pada bulan ini terdapat hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei. Sebagai dokumentasi kesejarahan dari spirit perjuangan melawan kebodohan dan keterbelakangan. Spirit perjuangan memajukan pendidikan untuk semua.
Ada hari kebangkitan nasional (Harkitnas) tanggal 20 Mei. Sebagai tonggak menghidupkan spirit perlawanan melepaskan diri dari penjajahan. Spirit perlawanan anti kolonialisme. Baik penjajahan fisik maupun idiologi. Penjajahan politik maupun ekonomi.
Generasi 90-an mengenal bulan Mei lebih berwarna. Bulan perjuangan demokrasi. Bulan memuncaknya tuntutan-tuntutan demokratisasi di segala bidang. Termasuk perlawanan terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Generasi 90-an, tiada hari tanpa parlemen jalanan. Aksi demontrasi tiada henti. Datang dari berbagai elemen silih berganti. Isu besarnya sama. Demokratisasi. Pada akhirnya pendulum rezim bergeser. Rezim orde baru berganti rezim reformasi.
Apakah reformasi sudah berhasil mewujudkan misi besarnya itu. Demokratisasi?. Peradaban KKN telah punah?.
Perlu telaah tersendiri untuk menemukan jawaban. Pada usianya menjelang dekade ke-3 gerakan reformasi.
Ada satu hal dilupakan oleh gerakan reformasi. Ialah warung kopi. Beserta janji-janjinya. “Janji Warung Kopi”.
Tidak berlebihan jika dikatakan warung Kopi merupakan ibu asuh gerakan reformasi. Terutama warung-warung kopi di sekitar kampus. Kok bisa?.
Warung kopi merupakan fasilitas konsolidasi mahasiswa-mahasiswa kritis. Baik konsolidasi pemikiran, isu kontemporer, maupun teknis gerakan. Berjam-jam mahasiswa ngobrol banyak hal di tempat itu. Mulai siang hingga menjelang subuh.
Terkadang hanya menghabiskan satu dua cangkir kopi dan makanan pengganjal perut. Mie instan. Untuk kemudian diteruskan melalui aksi jalanan. Maupun forum-forum lebih formal, seperti sarasehan dan seminar-seminar.
Warung-warung kopi menyediakan tempat tak berbayar, untuk para aktivis melakukan konsolidasi. Mematangkan pemikiran-pemikiran idealistik dan aksi-aksi teknis. Bisa menggunakan warung kopi itu leluasa tanpa durasi. Tanpa dikenakan over time charge. Hanya perlu membayar kopi dan makanan secukupnya. Itupun kadang diutang pula. Dibayar belakangan. Satu praktek bisnis yang tidak diketemukan kalkulasi untung ruginya pada era sekarang.
Hampir semua ruas jalan dan gang di sekitar kampus banyak bertebaran warung kopi. Sebanyak itu pula fasilitas konsolidasi murah tersedia bagi para aktivis. Di tempat ini para aktivis mahasiswa menyusun janji-janji perubahan. Untuk diperjuangkan melalui aksi-aksi jalanan.
Warung kopi merupakan cerminan rakyat kecil. Lapisan ekonomi terbatas dalam masyarakat. Bukan kaum berkelimpahan harta.
Mereka dengan sukarela menjadi investor perubahan. Menyediakan arena konsolidasi murah bagi penggerak perubahan. Dari waktu ke waktu. Dari Angkatan mahasiswa yang satu ke angkatan mahasiswa yang lain.
Gerakan reformasi berhasil mengganti rezim orde baru. Telah berjalan lebih dari 2 dekade. Bahkan menjelang 3 dekade. Bagaimana nasib warung-warung kopi itu. Nasib lapisan orang-orang kecil. Nasib para investor-investor perubahan skala mikro itu. Nasib para penanam saham perubahan. Tempat para aktivis menyandarkan nasib perjuangannya sehari-hari. Kala itu.
Apakah taraf hidupnya sudah membaik. Lepas dari atmosfer ketidakadilan. Dari kejamnya KKN yang memenderitakan rakyat?. Dari kebutuhan pokok yang sudah tidak menjerat lagi.
Ataukah mereka kini justru ditinggalkan para aktivis yang pernah berutang itu. Mereka dilupakan. Para aktivis itu kini sibuk dengan karir pragmatisnya. Lupa misi perjuangan yang mereka janjikan di warung-warung kopi itu. Utang janji perbaikan yang tidak kunjung terwujud?.
Jika kondisi lapisan masyarakat bawah belum membaik, para mantan aktivis itu kini masih utang utang janji. Janji “warung kopi”.
Sudah seharusnya janji itu dipenui. Setidaknya berusaha dipenuhi.
ARS ([email protected]), Jaksel, 01-05-2024
[***]