POLITIK pencitraan adalah cara-cara berpolitik yang mengedepankan citra. Sebagian besar usaha diarahkan untuk menciptakan citra yang baik, bahkan diusahakan sekuat tenaga untuk bisa menciptakan citra yang lebih baik dari kondisi yang sebenarnya.
Berbeda dengan cara berpolitik pada umumnya yang mengejar prestasi kerja maksimal dulu agar bisa membuahkan citra yang bagus di mata masyaakat, jadi bekerja baik dulu kemudian akan membuahkan citra yang baik.
Namun politik pencitraan berkonsentrasi untuk menciptakan citra yang baik , walaupun sebenarnya prestasi kerjanya sedang-sedang saja ataupun tidak berprestasi.
Adapun teniknya bermacam-macam, antara lain dengan memanfaatkan momentum dengan cara membesar-besarkannya, atau dengan cara menempelkan diri dan bekerja sama dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya, yang kemudian mereka yang jauh lebih besar tersebut menggelembungkan citranya.
Alat untuk pencitraan itu ialah dengan media sosial yang sekarang sudah sangat maju, mudah, cepat dan dimiliki oleh hampir setiap orang. Sehingga apabila suatu berita atau suatu rekayasa pencitraan yang telah dibuat bisa dengan mudah dan cepat disebarkan ke masyarakat luas.
Bahkan oleh tim pencitraannya yang sering disebut sebagai tim buzzer bisa segera disebarkan ke ratusan ribu pemilik handphone yang sekarang harganya sudah tidak terlalu mahal lagi.
Salah satu contoh kasus rekayasa pencitraan yang saat ini sedang menjadi topik pembicaraan yang hangat adalah penyerangan para ustadz bahkan ada juga pastor yang sedang ada di dalam gereja. Rentetan kejadian tersebut terlihat sistimatis sehingga dapat disimpulkan bahwa kejadian-kejadian itu merupakan suatu gerakan yang bertujuan menciptakan opini atau citra bahwa terjadi konflik di masyarakat dan pemerintah tidak berdaya untuk mengatasinya.
Hebatnya lagi terlihat rekayasa pencitraannya sehingga berita yang beredar mengabarkan peristiwa jauh lebih banyak dari pada kejadian sesungguhnya. Pada wakru seorang pengurus suatu organisasi Islam diwawancarai di suatu TV berita mengatakan bahwa ketika ada berita kejadian penyerangan seorang ustadz di suatu daerah, maka ketika dia sedang menelepon kesana kemari untuk konfirmasi tentang kejadian tersebut, ternyata pada saat yang sama telah beredar berita tersebut di banyak whatsapp grup.
Selain itu beredar pula berita-berita bahwa terjadi di banyak tempat disertai dengan foto-foto pelakunya yang disebut-sebut sebagai orang gila. Jadi sangat terlihat upaya pencitraannya untuk menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak mampu membuat rasa aman di masyarakat.
Contoh pencitraan lainnya adalah yang dibuat untuk melambungkan ketokohan Anies Baswedan Gubernur DKI oleh para pendukungnya. Ketika terjadi peristiwa penghadangan Anies agar tidak dapat bersanding dengan Presiden Jokowi dalam pertandingan final Piala Presiden di Stadion Gelora Bung Karno hari beberapa waktu lalu, maka momentum ini benar-benar dimanfaatkan oleh para pendukungnya, dibuat viral di medsos sehingga pembicaraan berhari-hari dan partisipan pembicaraannya mencapai lebih dari 500 ribu netizen.
Hal ini akan membuat ketokohan Anies melambung tinggi walaupun hanya sesaat, beberapa hari. Padahal bila disurvei elektabilitasnya untuk jadi capres hanya kurang dari 3%. Tapi inilah usaha dari politik pencitraan dengan menggunakan medsos yang sekarang sedang marak.
Contoh pencitraan selanjutnya yang berskala internasional adalah yang dilakukan oleh Ernst & Young salah satu konsultan keuangan terbesar di dunia, dalam acara World Government Summit di Dubai 11 Februari 2018. Dalam acara itu EY sebagai penyeleksi menteri terbaik sedunia memilih Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan RI sebagai yang terbaik sedunia.
Namun di dalam kriteria dan argumentasinya sebagai dasar pemilihannya yang terpampang dalam backdrop sebagai latar belakang panggung pemilihannya, banyak yang salah atau kacau. Misalnya dinyatakan bahwa dalam 5 tahun terakhir telah mengurangi angka kemiskinan sebanyak 40%.
Padahal SMI baru menjabat sebagai Menteri Keuangan 1,5 tahun dan angka kemiskinannya baru menurun 4,25%. EY juga menyatakan bahwa utang Indonesia telah turun 50% padahal kenyataannya hanya dalam 2,5 tahun pemerintahan Jokowi utang pemerintah RI malah naik tajam, jauh lebih besar dari pada 5 tahun pemerintahan SBY 2004-2009. Jadi utangnya tambah naik pesat.
Pernyataan EY sungguh salah dan tidak sesuai dengan kenyataan. Yang paling konyol EY menyatakan bahwa cadangan devisa kita tertinggi sepanjang masa yaitu sebesar USD 50 miliar, padahal cadangan devisa kita sebesar USD 130 miliar.
Statemen-statemen EY yang salah kaprah tersebut menunjukkan bahwa penunjukkan Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri terbaik sedunia sangat dipaksakan, sampai-sampai menggunakan data yang salah sekaligus juga merupakan bukti bahwa semua itu hanya rekayasa untuk mengorbitkan SMI, dan mencegah agar SMI tidak di-reshuffle dari kabinet Jokowi.
Hal ini dilakukan supaya badan-badan keuangan internasional tersebut tetap dapat menaruh kaki tangannya dalam elit kekuasaan di Indonesia. Patut diduga bahwa IMF dan World Bank turut bermain di dalam even ini untuk mengorbitkan SMI mengingat bahwa SMI memang pernah mengabdikan loyalitasnya kepada kedua lembaga keuangan internasional tersebut selama 8 tahun, yaitu 2002-2004 di IMF dan 2010-2016 di World Bank.
Tidak mengherankan SMI yang terbiasa menerima perintah, melaksanakan perintah, melaporkan hasil kerjanya yang sesuai dengan perintahnya dan menerima imbalan atas pekerjaannya itu menjadi kepanjangan tangan kedua badan internasional itu untuk mengendalikan kebijakan perekonomian di Indonesia.
Ini terbukti antara lain dalam menentukan kebijakan bunga kupon obligasi RI yang sangat tinggi dibandingkan dengan Filipina dan Vietnam yang mempunyai rating utang lebih rendah atau sama (Vietnam lebih rendah) sehingga sangat merugikan Indonesia dan sangat menguntungkan asing dan investor obligasi lainnya.
Jadi sangat jelas bahwa politik pencitraan itu sangat merugikan bangsa dan negara, namun demikian lebih aneh lagi bahwa pencitraan yang diperkuat dengan medsos banyak ditelan mentah-mentah oleh masyarakat luas bahkan termasuk kalangan masyarakat yang sangat terdidik sampai level yang paling atas dan paling senior sekalipun.
Pencitraan itu bisa dipercayai begitu saja oleh kaum terdidik itu bahkan bisa beredar berhari-hari, dibahas dalam konotasi dipercayai, di WA grup mereka. Bukannya dibahas dengan kritis tapi dipercaya sebagai kebenaran.
Bilamana masyarakat dan terutama kaum terpelajarnya tidak mau mengubah sikapnya dalam menerima berita pencitraan dan hasil rekayasa itu, tetap tidak kritis, maka politik pencitraan yang merusak itu akan berlangsung terus. Bangsa ini tidak akan pernah maju. Bangsa lain mengisi waktu dan pikirannya dengan mendiskusikan ilmu pengetahuan terbaru, bangsa ini menghabiskan waktunya dengan mendiskusikan dan mempercayai pencitraan.
Oleh Abdulrachim K, Analis Kebijakan Publik