MEDIA massa bisa menentukan moral bangsa. Tontonan menjadi tuntunan. Media dalam teori jarum hipodermik, memberi makna bahwa tak ada penolakan masyarakat terhadap informasi yang disampaikan masyarakat.
Masyarakat yang justru harus dituntut cerdas dalam menerima informasi dari media massa, namun jelas bahwa literasi media pun harus turut andil menekankan kualitas dari informasi yang disampaikan ke khalayak.
‘Gatekeeper’ media dalam hal ini redaksi, yang sejatinya menjadi penentu kualitas berita dan kelayakan pemuatan atau tidaknya berita, seharusnya menjadi tumpuan yang dapat diandalkan.
Fakta yang disajikan kepada publik bukan hanya sesuatu yang sebagaimana adanya, namun fakta-faktanya yang dikonstruksi atau pesanan yang dipaksakan tuannya menjadi bumbu atas hidangan kepentingannya sendiri.
Kelompok kepentingan yang menguasai media tentu dimudahkan aksesnya khususnya dalam berpolitik. Apalagi kita tahu betul dan masyarakat bisa mengklasifikasikan media yang “ditunggangi” kepentingan partai politik, karena beberapa alasan. Salah satunya ialah pemilik medianya ketua umum atau petinggi partai politik.
Mana media massa yang dapat dipercaya dan dijadikan rekomendasi untuk sajikan informasi yang benar-benar murni fakta? Manakah media massa yang berprinsip ABS (Asal Bapak Senang)? Dua pertanyaan yang sulit untuk dijawab dan seolah kita berdiri diatas gemuruh ombak yang semakin menelan kita ketengah lautan.
Di tengah arus era digital yang tengah berkecambuk di dunia maya, dan menciptakan arus informasi baru bagi masyarakat, tentu hal ini menjadi santapan hangat bagi para tuan media untuk melebarkan sayapnya dengan istilah konvergensi media. Semakin banyak media semakin besar peluang untuk menguasai media.
Dalam salah satu diskusi dengan pemimpin redaksi salah satu televisi nasional, saya mengungkapkan kegelisahan dan dilematisnya menjadi penonton yang tak suka gaya media massa yang mengedepankan kepentingan pemilik media, yang sejatinya media massa sebagai sumber informasi bagi seluruh masyarakat.
Namun, sayang sekali jawabannya tak memuaskan bahkan terkesan, tak memperlihatkan pelaku media yang memiliki tanggungjawab untuk menjaga moral bangsa. Jawabannya hanya “kalau tidak suka ya tinggal ganti channel”. Sungguh pukulan keras bagi insan media tanah air.
Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia dan institusi lain yang menjadi penjaga dan pengawas bagi seluruh jenis media massa mainstream tengah berlawanan dengan kekuatan para tuan-tuan media yang berlidah manis untuk menjadi sumber informasi masyarakat namun kerap menyisipkan bentuk frontal dari kepentingan pribadi, kelompok dalam konteks pemberitaan maupun dalam segi iklan.
Miris rasanya ketika memprediksi media massa kini telah membabi buta dalam menyebarkan informasi yang seolah memenuhi kebutuhan informasi masyarakat tapi malah mencekoki paksa masyarakat dengan informasi yang didesain hanya untuk kepentingan para tuan-tuan media.
Media massa kini layaknya boneka kayu yang digerakkan oleh pemilik modal untuk dijadikan alat perjuangan dirinya sendiri dan menutupinya dengan balutan media yang merendahkan telinganya untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat.
Kepiluan yang seakan merangsek dalam kalbu masyarakat yang terluluhlantahkan sehingga masyarakat tak menganggap kesalahan itu tetap kesalahan.
Saya khawatir propaganda NAZI era Hitler yang menyatakan bahwa kebohongan yang diulang-ulang akan dianggap sebuah kebenaran dan dipercaya masyarakat sehingga kesalahan akan menjadi kebenaran itu terwujud dan ada di dunia media massa Indonesia.
Oleh Safarianshah Zulkarnaen, Presiden Mahasiswa Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta