Artikel ini ditulis oleh Tulus Sugiharto, Pemerhati Sosial
Ngopi di akhir pekan, seorang kawan berbisik, beritanya bang RR di-banned oleh media mainstream, kalau di media tier dua sih masih jalan.
Media mainstream itu memang punya bouwheer (baca bohir), pemilik modal yang kuat. Jadi memang redaksi itu (sebenarnya) sebuah ruang yang kosong, bisa diintervensi oleh pemilik media.
Kalau tidak setuju ya silahkan keluar, cari media lain atau bikin sendiri. Di sini kita bisa berdebat, tapi kagak ada independensi itu.
Pemilik media itu biasanya tunduk pada dua pelaku yaitu pengiklan dan pemerintah yang berkuasa.
Pengiklan itu memiliki uang yang besar sehingga jika produk mereka dirugikan oleh sebuah pemberitaan maka intervensi itu pun akan muncul.
Ancamannya jelas, sorry ya kalau masih diberitakan terus, ditayangkan terus kami akan mencabut iklan kami dari media anda.
Itu secepat kilat yang namanya direktur sales, bahkan dirut bisa meminta agar redaksi segera mencabutnya.
Pilihannya cabut berita yang merugikan client atau loe yang cabut atau loe enggak gajian, masih untung kalau cuma ancamnya enggak dapat bonus.
Intervensi pada pemilik media juga bisa disebabkan pemilik media sudah memiliki pilihan politik.
Kalau dia menentang pemerintah, redaksi akan selalu mengkritik apapun yang kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tapi sebaliknya, jika sudah satu jalur atau hengki pengki ya apa kebijakan pemerintah itu dia dukung, baik ataupun buruk.
Ada perlawanan dari redaksi media? Mungkin ada, istilahnya sikat dulu beritanya baru kalau dilarang ya diembargo beberapa waktu, kalau pemilik media udah lupa ya mainkan lagi.
Masalahnya jika larangan itu satu kali dan tidak ada batas waktunya atau pemilik media tegas-tegas menyatakan eh ini larangan dari atas, atau dari pemerintah yang berkuasa, sulit redaksi untuk melakukan perlawanan.
Era Pak Harto jargon media bebas tapi bertanggung jawab, memang bebas tapi kebebasan itu harus ada tanggung jawabnya, bukan sekedar jawab tapi ada yang ditanggung jika dianggap membuat kesalahan.
Era Pak Harto berita yang dikategorikan salah dalam konteks “bebas tapi bertanggung jawab“ itu jika menyangkut Pak Harto dan keluarganya.
Kalau ada yang salah, jangan diekspose. Tapi diluar itu boleh-boleh saja media memberitahukan secara kritis pada pejabat negara, tingkat menteri sekalipun.
Waktu era Pak Harto, Bang RR pernah dipenjara di Sukamiskin 1,5 tahun, tapi boleh sekolah keluar negeri dengan jaminan DR. Buyung Nasution SH dan Pak Haryono SH Ketua Peradin, balik lagi mengkritik pemerintah melalui Econit.
Waktu peringatan 25 tahun reformasi, disebuah media online (bukan media utama ya) di hadapan mahasiswa UI pada 25 Mei 2023, Bang RR menyebutkan kalau ada mahasiswa (dan) rakyat mengkritik menteri, gubernur, bupati, anggota DPR bisa dipenjarakan.
Ini jauh lebih sadis daripada zaman Soeharto (Presiden kedua RI). Ada enggak ya? Coba tanya Jumhur Hidayat yang 2021 lalu sempat dipenjara beberapa bulan.
Buat bang RR, jika dibatasi di media mainstream ini bukanlah end of the road untuk menyuarakan kepentingan rakyat melalui media baru, meski kalau dia nge-tweet maka Twitternya akan dibanjiri kecaman oleh para BuzzerRp.
Ciri BuzzerRp gampang kok, ketika mengisi balasan komentar isinya cuma makian yang melecehkan, bukan mendebat isi atau konten yang dikeluarkan oleh Bang RR.
Kalau benar kita ini menjunjung tinggi demokrasi, kebebasan untuk mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan, harusnya Bang RR itu diajak debat terbuka, oleh para pemimpin yang terkena kecamannya.
Bang RR itu bukan tipe romantis ketika bicara ekonomi dan politik. Dia romantis hanya pada orang yang dikasihinya, ketika dulu pacaran naik Vespa berkeliling melihat-lihat arsitektur di Jogja dan Bali.
Buat Bang RR ini bukan end of the road dalam berjuang, banyak yang dukung seperti lirik awal, melukis senjanya Budi Doremi:
“Aku mengerti perjalanan hidup yang kini kulalui, Ku berharap meski berat kau tak merasa sendiri”.
Dear, media mainstream, loe romantis dengan yang punya kuasa, ini end of the road buat demokrasi.
Jangan mengaku independen, masih mending kalau gue bilang cuma jadi PR (public relations) pemerintah, (tapi) sebenarnya loe bagian dari BuzzerRp bos?
[***]