KedaiPena.Com – Terkait pelabelan Barkode kepada media, Ketua Umum PPWI Nasional (Persatuan Pewarta Warga Indonesia), Wilson Lalengke, menyatakan bahwa dewan pers sedang linglung.
“Saat ini dewan pers kebingungan dan linglung menghadapi perkembangan dunia jurnalisme di tanah air. Rakyat di seluruh tanah air, terutama kalangan jurnalis dan pewarta warga tidak perlu resah, panik, dan reaktif. Tanggapi dengan biasa saja,” himbau lulusan pascasarjana dari Utrecht University, Belanda itu dalam siaran persnya kepada wartawan, Minggu (5/2).
Wilson menuturkan, kebijakan dewan pers itu berpotensi kontraproduktif terhadap apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh dewan pers dan pemerintah Indonesia. Kebijakan barkode itu bukanlah solusi yang benar dan efektif dalam menghadapi hoax atau berita bohong.
“Bahkan sebaliknya, kebijakan tersebut akan menghasilkan hoax versi baru, yakni berita penuh rekayasa dari pihak pemerintah dan TNI/Polri dan instansi lainnya karena informasi dari mereka hanya bisa diakses oleh media yang sudah “diatur” oleh dewan pers, hal ini akan membuka pintu bagi proses kongkalikong antara sumber berita dengan media yang terbarkode tersebut,” imbuh lulusan PPRA Lemhannas tahun 2012 itu.
Lebih jauh Wilson menambahkan, bahwa dewan pers saat ini sudah semestinya dibubarkan dan diganti dengan sebuah lembaga yang lebih representatif untuk kondisi dunia jurnalisme dan media massa saat ini.
Pasalnya, perkembangan teknologi informasi dan publikasi yang telah maju begitu jauh dari era 90-an lalu, dengan berkembangnya ribuan media online, munculnya jutaan pewarta independen di mana-mana, mengakibatkan eksistensi dewan pers sudah ketinggalan zaman.
“Dari namanya saja, sudah tidak relevan dengan kondisi jurnalisme dan publikasi hari ini. Pers berasal dari kata press yang artinya cetak. Jadi konotasinya, dewan pers adalah lembaga yang mengurusi media-media cetak. Wajarlah jika saat ini dewan pers linglung menghadapi media massa di tanah air yang didominasi oleh media non-cetak alias media online,” ujar pria yang juga menyelesaikan pendidikan masternya di Birmingham University, England dan di Linkoping University, Swedia ini.
Masyarakat itu, kata Wilson, bukan butuh barkode, tapi edukasi jurnalistik. Pendidikan jurnalisme dibutuhkan semua pihak, baik wartawan profesional maupun masyarakat umum. Melalui pendidikan dan pelatihan jurnalistik, semua orang akan dimampukan untuk mencerna segala informasi yang diterimanya dengan baik dan benar. Ketika warga sudah cerdas dalam mencerna informasi, mereka juga akan cerdas dalam merespon atau bereaksi terhadap informasi yang mereka terima itu.
“Warga yang cerdas informasi juga akan cerdas menyampaikan dan mempublikasikan informasi yang dia miliki termasuk dalam hal menyampaikan gagasan dan idealisme mereka, tidak serampangan, penuh pertimbangan, dan mudah dipahami maksudnya, tidak menimbulkan salah paham bagi pembacanya,” papar Wilson.
Terkait dengan langkah dewan pers yang akan mensosialisasikan kebijakan “media terverifikasi dan terbarkode” nantinya ke berbagai instansi pemerintah dan TNI/Polri,
Dirinya menghimbau agar Pemda, TNI/Polri, dan semua pihak meresponnya dengan bijaksana, jangan sampai menimbulkan kegaduhan baru di lapangan terutama dikaitkan dengan semangat transparansi dan akuntabilitas publik yang sedang dibangun oleh semua pihak di semua tempat di negeri ini.
“Saya justru menghimbau agar jajaran pemerintah di semua level, TNI dan Polri, berani menolak surat edaran dari dewan pers itu,” pungkas trainer jurnalistik bagi ribuan anggota TNI, Polri, guru, mahasiswa dan masyarakat umum ini.
Diketahui, Dewan Pers mengeluarkan surat edaran tertanggal 3 Februari 2017 berisi daftar media yang sudah terverifikasi dan akan mendapatkan ‘Barcode’
Hal itu merupakan realisasi dari langkah dewan pers untuk melabeli media-media di tanah air dengan kode tertentu yang disebut dengan barkode. Langkah itu ditempuh dalam rangka mengantisipasi berita hoax atau berita bohong yang belakangan ini banyak dipersoalkan.
Laporan: Muhammad Hafidh