Artikel ini ditulis oleh Imam Wahyudi, Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jabar.
Narasi “rezim oligarki” bukan lagi rahasia di kalangan rakyat. Sebuah kekuasaan di tangan segelintir orang. Lantas pemimpin (baca: presiden) tak lebih dari boneka yang bisa dimainkan sesuai kehendak.
Itulah intisari Dialog Kebangsaan bersama Dr. Rizal Ramli di kediamannya, Bandung, Sabtu sore hingga malam kemarin (27/5/2023). Diskusi melibatkan mantan aktivis Perjuangan Mahasiswa 1977/78 dan mahasiswa ITB tersebut.
Kedaulatan di tangan rakyat, kembali hanya dalam angan-angan. Sebatas lips service yang mengecoh ruang publik. Karuan, rezim Jokowi harus dihentikan. Momentum mulai menggelinding, justru pada saat “matahari sudah mau terbenam”.
Rizal menegaskan, perubahan sistem adalah keniscayaan. Pemilu 2024 bersamaan pilpres tak lebih formalitas belaka. Serupa “Demokrasi Akal-akalan” yang kembali memupus harapan rakyat seutuhnya.
Pilpres 2024 sebagai agenda demokrasi sejati tak akan terjadinya. Cuma mimpi. Geliat kedaulatan rakyat bakal dipatahkan dengan berbagai cara. Pilpres tak akan berlangsung amanah dan kompetitif.
Upaya penjegalan terhadap calon kandidat yang berseberangan, sudah bukan lagi skenario di balik layar. Terbuka dan jadi santapan publik.
Intervensi tanpa delegasi. Langsung aksi Jokowi. Tanpa risih, bahkan seolah tak ada urusan dengan demokratisasi yang mesti dijaga marwahnya.
Pilpres berpotensi tak lebih dari reka dongeng belaka. Tak bermutu. Hanya akan menghasilkan presiden standar KW. Mirip barang tiruan, bukan produk original. Sistem sudah dan mulai disiapkan. Seolah hendak mengulang kecurangan Pilpres 2019.
Cenderung kasat mata. Sejalan arah kepentingan rezim Jokowi. Sistemik, terstruktur dan masif. Di semua lini yang memungkinkan aksi simsalabim dan abra kadabra.
Tak cuma penguasaan politik mayoritas di parlemen. Membuat oposisi yang minoritas tak berdaya. Peran dan fungsi representasi rakyat kadung runtuh. Tak cukup peran inlejen negara. Lantas, kendali KPU yang idealnya terdiri dari representasi parpol peserta pemilu.
Bahkan Mahkamah Konstitusi pun diintervensi. Ketua MK, Anwar Sanusi adalah adik ipar Jokowi. Hal yang seharusnya tidak boleh terjadi. Hampir pasti bakal terjadi konflik kepentingan. MK tak bisa diharapkan berlaku netral pada saat sengketa hasil pemungutan suara. Terakhir lewat kebijakan Polisi RW yang kian menegaskan pendekatan police state.
Sejarah berulang. Rezim Soeharto yang otoriter dijatuhkan lewat Gerakan Reformasi 1998. Rezim oligarki Jokowi juga sudah harus dijatuhkan. Eskalasi kian memanas di antara harapan pupus harapan Pemilu Jurdil.
Kata Rizal lagi, Pemilu Serentak 2024, utamanya pilpres dalam bingkai kepentingan rezim. Siapa pun yang terpilih haruslah menjamin pengamanan Jokowi pascalengser. Kandidat yang beredar dan cenderung mengerucut, sejatinya tak berbekal kompetensi kepemimpinan negara berpenduduk 270 juta jiwa. Parameternya cuma uang dan uang. Peran bandar tak terhindar.
Itulah sebab, koalisi tak kunjung jadi dan bunyi. Partai-partai berorientasi transaksi (uang) sebagai prasyarat koalisi. Selebihnya cuma mengolah konsumsi publik lewat media. Presiden sesungguhnya, ya para bandar. Dibumbui peran lembaga survei berbayar yang siap mendongkrak elektabitas menjadi gebyar. Semata elektabitas untuk mengecoh dan menggiring. Tak peduli soal etikabilitas
[***]
Noted:
Sebelumnya tulisan ini adalah berita dengan narasumber Rizal Ramli. Redaksi merevisi karena terjadi miss persepsi. Yang benar, ini adalah artikel dengan penulis Imam Wahyudi, Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jabar.