GEBRAKAN dilakukan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang baru, Letjen TNI Doni Monardo. Ia meminta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar alat pendeteksi dini bencana atau ‘early warning system’ (EWS) dijadikan sebagai kawasan obyek vital nasional.
Ini dilakukan untuk melindungi peralatan tersebut baik dari kerusakan hingga kehilangan. BNPB juga sudah mengundang sejumlah lembaga yang berhubungan dengan penyiapan EWS.
Kenapa sekarang ini banyak alat-alat itu tidak berfungsi, karena sebagian hilang sehingga walau pun alat itu secara fisik masih ada tetapi tidak berfungsi.
Selain itu Doni mengaku meminta pada Jokowi agar lokasi alat pendeteksi bencana masuk dalam wilayah obyek vital nasional, harus dijaga dan diamankan TNI.
Karena kalau alat ini tidak berfungsi, maka mata dan telinga masyarakat yang ada di kawasan pesisir pantai itu tidak mendapatkan informasi. Artinya kalau terjadi sesuatu tsunami korbannya sangat banyak. Korban bisa saja melampaui korban tsunami yang sebelumnya.
Atas permintaannya itu, Presiden Jokowi sudah menugaskan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menindaklanjutinya. Presiden sudah menugaskan Panglima TNI agar mengeluarkan surat perintah bahwa alat-alat ini dijaga oleh unsur TNI.
Jokowi juga memerintahkan agar memasang tanda-tanda peringatan di seluruh kawasan yang rawan bencana, terutama tsunami. Lokasi bencana tsunami tersebut berada di Selat Sunda sampai kawasan bagian timur dan selatan Pulau Jawa serta bagian barat Pulau Sumatera.
Perkumpulan Relawan Nusantara (Prens) mengkritisi beberapa hal terkait gebrakan ini. Pada intinya Prens mengapresiasi langkah Kepala BNPB.
Ditetapkannya alat pendeteksi dini bencana sebagai obyek vital nasional sangat penting, lantaran perawatan diperlukan secara berkala. Namun, yang harus diperhatikan adalah fakta lapangan bahwa ada hal-hal yang juga diperhatikan dari EWS. Pertama adalah pengetahuan masyarakat sekitar terhadap EWS.
Observasi Prens di daerah bencana Selat Sunda menegaskan, masyarakat lokal tidak mengetahui tentang alat ini. Jadi jangankan untuk mencuri, mengetahui saja tidak. Lagipula, ketika mengambil EWS, mereka pun bingung akan menjualnya ke mana.
Selanjutnya, Prens mencoba menanyakan lebih lanjut, jika ada pihak yang meminta untuk mencuri, maka mereka akan melakukannya. Sebab sudah ada yang menampung. Dugaan ini yang harus dibongkar. Kalau perlu bawa ke ranah hukum karena melanggar UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Selanjutnya, EWS yang kerap hilang selama ini lantaran tidak adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah.
Hal lain yang juga menjadi masalah adalah pelibatan Tentara Nasional Republik Indonesia (TNI) sebagai pengawas alat pendektesi dini tersebut. Karena tentara tugas pokoknya bukan itu. Sebaiknya dari sipil dan terlatih atau profesional yang melakukan pengawasan tersebut.
Memang, muncul masalah selanjutnya dari opsi ini, yakni keterbatasan anggaran. Tetapi hal itu bisa diminimalisir dengan mengambil anggaran lain. Harus ada kementerian atau lembaga lain yang mengalihkan anggarannya untuk menutup pengeluaran itu. Jangan malah anggaran tersebut malah jadi bancakan korupsi.
Opsi kedua adalah dana desa. Bukan hal yang mustahil jika dana desa dialokasikan ke mitigasi bencana. Hal ini sudah pernah dilakukan di Sembalun Lawang, Nusa Tenggara Barat. Kepala Desa di daerah itu membangun parit baru dan memperdalam parit lama untuk mengurangi dampak banjir bandang.
Solusi lain yang juga bisa dikedepankan adalah melibatkan pihak swasta. Seperti diketahui, begitu banyak ‘corporate social responsibilty’ (CSR) perusahaan dan dana publik yang mengalir ke daerah bencana. Namun jarang terdengar dana itu dipakai untuk mitigasi bencana termasuk perawatan EWS.
Sebenarnya, ada beberapa alat tradisional yang bisa dijadikan opsi lain EWS. Semisal speaker masjid, lonceng gereja, kentongan. Asalkan pihak otoritatif seperti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan BNPB bisa memberikan data valid. Jangan ulangi kesalahan ketika terjadi tsunami Palu dan Selat Sunda. Karena gagal memberikan informasi, korban jiwa tidak dapat diminimalisir.
Sumber daya manusia yang ada pun harus di-upgrade menjadi fasilitator mitigasi bencana. Sebab, secanggih apapun EWS akan menjadi sia-sia jika SDM tidak memadai. Aparat hingga titik terendah, kelurahan, desa, bahkan RT dan RW juga harus dibekali.
Berkaca di beberapa daerah tanggap bencana, para aparat malah menghilang. Dengan alasan mencari anggota keluarganya yang menjadi korban. Di Palu malah, walikotanya sempat menghilang beberapa saat.
Prens juga meminta pihak terkait agar transparan terkait. Berulang kali BMKG menjelaskan hilang atau rusaknya ‘buoy’, tapi terkendala dengan anggaran. Tapi tidak pernah hal itu disuarakan sebelum terjadi bencana. Jika memang seperti itu, BMKG harusnya bercerita ke publik untuk dicarikan solusi bersama.
Pun soal hilangnya buoy, bisa dilengkapi dengan ‘global positioning system’ (GPS) untuk mengetahui ke mana ‘buoy’, alakah dicuri atau terbawa arus. Penyu yang jadi korban tsumani Selat Sunda saja bisa ditemukan setelah terombang-ambing di lautan.
Oleh Ketua Harian Perkumpulan Relawan Nusantara (PREN), Fajar Kuntarto