Artikel ini ditulis oleh Karel Susetyo, Analis Politik, CEO Point Indonesia.
Permasalahan Papua masih terus diupayakan penyelesaiannya. Rumit, karena kompleksnya faktor-faktor penyebab permasalahan yang ada.
Terakhir, penyanderaan pilot Maskapai Susi Air menjadi permasalahan yang dilematis bagi Indonesia. Karena dapat berakibat buruk bagi Indonesia jika ditangani dengan sembroni dan tidak hati-hati.
Hal tersebut tampaknya sudah jauh-jauh hari direncanakan oleh Kelompok Separatis Teroris (KST)/Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan para proxynya. Apapun tindakan yang diambil pemerintah Indonesia, mereka akan dapat mengambil keuntungan dibalik tindakan tersebut.
Hal tersebut terkesan membuat pemerintah “mati langkah” menghadapi KST/OPM. Pemerintah juga terkesan menyerahkan permasalahan tersebut kepada TNI. Jadilah Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang pasang badan menerima caci maki sebagian kelompok yang merasa lebih mengetahui penyelesaian masalah Papua tanpa tahu permasalahan secara komprehensif.
Sementara itu tokoh-tokoh politik semua seakan bungkam dalam masalah ini. Tampaknya mereka lebih mengkhawatirkan popularitas mereka menjelang Pemilu 2024 daripada memikirkan atau mencari solusi permasalahan Papua.
Kembali ke permasalahan penyanderaan pilot Maskapai Susi Air oleh KST/OPM. Tampaknya hal tersebut, dijadikan pintu masuk campur tangan luar negeri oleh KST/OPM. Proxy-proxy mereka di dalam dan luar negeri, termasuk si pilot yang disandera mulai “bernyanyi” tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI pada operasi pembebasan pilot Maskapai Susi Air. Padahal mereka sendiri yang telah menyerang dan membunuh prajurit TNI yang sedang bertugas pencarian pilot.
Bak gayung bersambut, pada 17 April 2022, parlemen Inggris melaksanakan sidang khusus yang membahas permasalahan ini. Mereka membahas tentang pentingnya intervensi PBB dalam permasalahan ini. Mereka beralasan bahwa intervensi PBB dalam masalah Papua terkait permasalahan HAM.
Namun, apakah alasan tersebut murni untuk HAM? Kita punya pengalaman buruk tentang campur tangan PBB yang bekedok misi kemanusiaan dan HAM pada permasalahan Timor Timor (Timor Leste). Kita semua sama-sama tahu bahwa masuknya PBB dengan alasan tersebut merupakan langkah awal lepasnya Timor Timor dari Indonesia.
Masuknya PBB tak lain adalah gerbang masuknya intervensi Barat yang sejatinya ingin terus memperluas dan memastikan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik. Berbagai konflik yang terjadi di kawasan Asia Pasifik besar kemungkinannya akibat upaya perluasan hegemoni Barat pimpinan Amerika Serikat.
Indonesia yang mempunyai letak strategis di kawasan sejatinya merupakan target yang harus dikuasai sepenuhnya berbagai kepentingan baik Barat maupun Timur. Namun, dengan gerakan Nonblok yang digagas Presiden Soekarno, menjadi sulit bagi kedua kekuatan utama tersebut untuk mempengaruhi Indonesia. Gerakan Nonblok yang dulu menjadi kekuatan ketiga, kini meredup dan sudah tidak lagi mempunyai pengaruh di dunia. Hal yang dulu menguntungkan bagi Indonesia, kini mulai dirasakan dampak negatifnya.
Indonesia tak lagi punya daya tawar di pergaulan internasional. Kekuatan-kekuatan dunia seenaknya mengobok-obok urusan dalam negeri Indonesia, termasuk kasus Timor Timur, Sipadan – Ligitan, dan Papua. Mereka dapat seenaknya bermain di Indonesia karena Indonesia tak lagi punya kekuatan politik di dunia internasional. Indonesia terksesan sendirian dengan prinsip Nonbloknya. Sehingga nega-negara lain yang bersekutu dengan kekuatan dunia dapat mempermainkan Indonesia sesuka hati, terutama kekuatan Barat.
Belajar dari kasus Timor Timur dan Sipadan – Ligitan, sudah waktunya bagi Indonesia untuk mengevaluasi prinsip Nonblok yang dianutnya. Nonblok memang baik, tapi jika itu lebih banyak merugikan maka ada baiknya kita evaluasi.
Kembali ke permasalahan Papua bahwa kekuatan Barat sangat dominan berpengaruh pada isu-isu yang berkembang. Kita harus waspada bahwa hal-hal terkini yang terjadi di Papua merupakan upaya untuk mengulang tragedi Timor Timur melalui masuknya PBB dengan dalih HAM. Jika hal tersebut terjadi, maka tinggal menghitung hari Papua akan terpisah dari NKRI.
Untuk mencegah hal tersebut terjadi Indonesia tampaknya harus mencari sekutu ke kekuatan penyeimbang yakni Rusia, sehingga kekuatan Barat berfikir dua kali, bahkan seribu kali, sebelum melangkah lebih jauh di Papua. Memang hal tersebut akan menjadikan Indoensia tak lagi menjadi negara Nonblok.
Mungkin memang sudah saatnya Indonesia berhenti menjadi negara Nonblok dan mulai bergabung dengan kekuatan yang lebih besar agar Indonesia kembali disegani dan tidak diperlakukan seenaknya oleh negara-negara lain.
[***]