LEMBAGA Survei milik Denny JA kembali membuat publikasi hasil survei pilpres. Hasilnya? Tidak usah kaget. Jokowi-Ma’ruf unggul jauh di atas Prabowo-Sandi. 58,7 persen lawan 30,9 persen. Selesihnya 27.7%. Amazing!
Kalau kita percaya dengan hasil survei Denny, sesungguhnya Pilpres 2019 sudah selesai. Dengan waktu tinggal sekitar 40-an hari, tidak mungkin bagi Prabowo mengejar Jokowi. Jarak elektabilitasnya terlalu jauh. Hanya orang sakti mandraguna saja bisa mengubahnya.
Itu memang target yang diinginkan Denny agar publik terpengaruh oleh publikasinya. Dalam teori marketing itu disebut sebagai ‘band wagon effect’. Sebuah efek dimana seorang pemilih yang masih belum memutuskan, akan ikut memilih calon yang paling banyak dipilih.
Sayangnya publik saat ini jauh lebih cerdas. Sebaliknya reputasi Denny juga sudah telanjur tercemar. Jadi survei Denny ini hanya usaha sia-sia. Dia cuma ingin menyenangkan klien yang membayarnya.
Ada beberapa alasan mengapa kita bisa menyimpulkan survei Denny sebagai upaya menggarami air laut.
Pertama, kredibilitas Denny sudah sangat tercemar. Beberapa surveinya, mulai dari Pilkada DKI 2017, sampai Pilkada Serentak 2018, semuanya meleset jauh.
Di Pilkada DKI Denny menjadi konsultan pasangan Agus-Silvy. Silakan dibuka kembali jejak digitalnya. Sangat jelas dia mencoba men-‘spin’ hasil survei.
Salah satu yang paling menggelikan ketika dia mengumumkan hasil survei elektabilitas paslon dengan rentang terendah dan rentang tertinggi. Bagi Anda yang pernah belajar metodologi penelitian di kampus, pasti akan bingung dan kemudian terbahak-bahak membaca survei Denny.
Kurang dari sebulan dari Pilkada DKI Putaran Pertama (15 Februari 2017), Denny memprediksi Anies-Sandi akan tersingkir, dan Agus-Silvy elektabilitasnya tertinggi.
Setelah itu hanya sekitar empat hari sebelum putaran pertama (11 Februari 2017) Denny kembali mengunggulkan Agus-Silvy. Anies-Sandi tersingkir.
Hasilnya seperti kita ketahui, Ahok-Djarot di tempat pertama dan Anies-Sandi di tempat kedua. Agus-Silvy tersingkir.
Setelah gagal total di putaran pertama, Denny segera banting stir. Dia langsung menempel Anies Baswedan. Dia menawarkan bantuan tanpa bayar. Sebab dari beberapa survei yang obyektif sudah diketahui Anies-Sandi akan menang.
Benar saja, Anies-Sandi menang. Denny kemana-mana mengklaim bahwa Anies-Sandi menang karena bantuannya. Kemenangan Anies-Sandi dimasukkan dalam daftar rekor kemenangannya. Orang seputar Anies yang tahu kelakukan Denny marah besar.
Pada Pilkada Serentak Jabar dan Jateng LSI Denny JA kembali membuat kesalahan besar. Hasil surveinya salah total dengan ‘margin error’ lebih dari 20 persen. Jejak digitalnya juga dengan mudah dicari.
Kedua, gagal dalam mempertahankan reputasi sebagai ahli survei, pada Pilpres 2019 Denny mengejar karir sebagai ahli meme. Setiap hari dia membanjiri medsos dengan berbagai meme.
Sayangnya di bidang keahlian baru ini Denny juga gagal. Banyak orang yang sebal dengan memenya. Memenya tidak obyektif. Sangat kentara meme pesanan. Setiap hari dia memuji-muji Jokowi dan men-‘downgrade’ Prabowo.
Dari meme yang dibuat Denny sangat jelas bahwa dia ingin mempengaruhi opini publik. Dengan begitu bisa disimpulkan, publikasi survei dan meme Denny dalam rangka mempengaruhi opini publik.
Ketiga, sejumlah publikasi yang lebih kredibel, bukan dilakukan oleh tim sukses paslon, menyatakan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf sudah di bawah 50 persen. Sudah lampu merah.
Lembaga Survei Median menyebut elektabilitas Jokowi-Ma’ruf hanya 47,7 persen. Sebuah publikasi terbaru dari lembaga survei Polmark yang dibesut oleh Eep Saefullah Fatah malah menyebutkan elektabiltas Jokowi-Ma’ruf hanya 40,4 persen.
Angka itu memang lebih unggul dibanding Prabowo-Sandi sebesar 25,8 persen. Yang perlu dicatat Polmark menyebut angka yang belum menentukan pilihan (‘undecided voters’) sebanyak 33,8 persen. Angka itu sangat besar dan bisa mengubah konstelasi.
Dengan posisi Jokowi sebagai petahana dan telah berkampanye selama lima tahun, besarnya pemilih yang belum menentukan pilihan sangat menakutkan. Mereka cenderung akan memilih Prabowo karena tidak puas dengan Jokowi.
Pergeseran suara ‘undecided voters’ ke Prabowo juga terlihat setelah debat kedua. Banyaknya kebohongan Jokowi yang diungkap media, membuat mereka beralih ke Prabowo, atau setidaknya tidak lagi mau memilih Jokowi. Potensi Golput membesar.
Fakta inilah yang dibaca Denny. Dia mencoba mempengaruhi ‘undecided voters’, jangan sampai golput, apalagi beralih memilih Prabowo.
Publikasi survei, sekali lagi digunakan untuk mempengaruhi publik agar memilih Jokowi. Obyektivitas dan akal sehat dia korbankan demi mengejar gepokan rupiah yang dibayarkan kliennya. Sikap ini sungguh sangat disayangkan dilakukan oleh figur terdidik sekelas Denny.
Ada baiknya Denny mengingat kembali sebuah frasa yang sangat terkenal “money can’t buy everything.” Kecuali bila dia punya prinsip sebaliknya. “Bahwa uang bisa membeli segalanya.” Termasuk kehormatan gelar sebagai “Pelopor Puisi Esai Indonesia.”
Oleh Djadjang Nurjaman, Pemerhati Media dan Ruang Publik