KedaiPena.com – Upaya pemerintah untuk mendorong ekosistem kendaraan listrik dinilai masih cenderung hanya untuk alasan bisnis semata. Belum sepenuhnya karena kesadaran untuk mencegah emisi karbon.
Koordinator Nasional, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar menyatakan masih banyak PR yang harus diselesaikan pemerintah terkait industri nikel dan kendaraan listrik.
“Konteks besar yang diangkat pemerintah mendorong kendaraan berbasis listrik itu adalah krisis iklim akibat emisi karbon. Penyumbang terbesarnya, energi dan alat transportasi. Tapi faktanya, proses produksi nikel dan kendaraan listrik itu sendiri menimbulkan kerusakan lingkungan dan menyumbang karbon yang tidak kecil,” kata Melky saat dihubungi, Senin (12/9/2022).
Belum lagi, jika dikaitkan dengan potensi akses masyarakat di sekitar lokasi penambangan pada pangan dan air bersih.
“Kenapa saya bilang menyumbang karbon ke alam dalam jumlah tidak sedikit, karena untuk menggerakkan industri nikel ini, baik tambang maupun smelter, menggunakan listrik yang basisnya adalah batu bara, melalui PLTU,” ucapnya.
Tercatat, di kawasan ada lebih dari tiga PLTU yang ada di Morowali. Rencananya akan bertambah hingga 10 PLTU untuk memastikan keberlangsungan industri nikel di wilayah tersebut.
“Kita tidak bisa menyebutkan satu produk rendah karbon hanya dari hasil akhirnya. Tapi juga perlu melihat proses produksinya secara keseluruhan,” ucapnya lagi dengan tegas.
Melky juga menyatakan pemerintah juga harus memperhitungkan dampak yang diterima masyarakat dan lingkungan saat memutuskan untuk mengembangkan industri nikel.
“Untuk memastikan ketersediaan batu bara, Kalimantan dan Sumatera tetap dibongkar. Untuk membangun tambang, harus ada ketersediaan lahan yang luas, artinya akan ada pengalihan lahan. Saat terjadi pengalihan lahan, akan ada masyarakat yang tak hanya kehilangan lahan tapi juga berubah orientasi ruang hidupnya,” tuturnya.
Ia menjelaskan perubahan orientasi ruang hidup ini menyangkut akses pada pangan, akses pada air bersih dan sumber mata pencaharian.
“Sebagai contoh di Sulawesi dan Maluku Utara, alih fungsi lahan memicu produktivitas pangan warga menurun. Warga kehilangan akses kepemilikan lahan dan produktivitas. Mereka yang dulu bertani dan mendapatkan pangan dari tanah mereka sendiri, kini harus berganti mata pencaharian. Akhirnya, masyarakat yang dulu mandiri pangan, akhirnya bergantung pada ekonomi uang. Belum akses air bersih, yang menjadi urusan sensitif dan rebutan antara masyarakat, buruh dan industri. Jadi kita bicara bukan pencemaran saja, aksesnya juga susah,” tuturnya lagi.
Hal yang sama juga akan mempengaruhi wilayah pesisir, pantai dan ekosistem perairan. Dimana pencemaran limbah yang ditimbulkan menyebabkan para nelayan kehilangan mata pencaharian, produk laut yang tercemar dan rusaknya ekosistem pesisir, seperti terumbu karang.
“Ini bukan hanya masalah tata kelola tambang saja dan tak bisa diselesaikan hanya dengan mekanisme pengelolaan tambang ramah lingkungan atau CSR. Karena ada hal yang tak bisa diselesaikan,” kata Melky.
Dicontohkan, masalah lahan petani, tak bisa diselesaikan dengan ganti rugi kepemilikan lahan. Karena saat lahan petani beralih maka petani bukan hanya kehilangan kemandirian pada pangan tapi juga ada perubahan pola hidup. Dari kesejahteraan yang berasal dari ketersediaan lahan dan produktivitas lahan menjadi ekonomi uang.
“Dari petani, misalnya menjadi buruh. Dari makan hasil pertanian, harus membeli produk pangan. Bahkan, ada perubahan jenis makanan. Dari yang dulunya makan sagu yang mereka olah sendiri, sekarang jadi harus membeli beras untuk dimasak menjadi nasi. Contohnya, di salah satu pulau kecil di Maluku Utara,” paparnya.
Dan dampak ini, bukan hanya diterima oleh masyarakat di sekitar daerah pertambangan. Tapi juga masyarakat perkotaan.
“Jangan salah, sebagian besar hasil tangkapan ikan di perairan sekitar penambangan itu dikirimkan ke Jakarta. Padahal, ikan itu sudah tercemari oleh limbah. Ini tidak pernah disadari, karena tak pernah terpublikasi,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa