KedaiPena.Com – Selama beberapa tahun terakhir, tercatat beberapa persoalan mendasar yang berpotensi meruntuhkan wibawa Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi. Dari mulai pengangkatan Hakim MK, sampai sejumlah putusan yang dianggap kontroversial dan berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi.
Di antaranya adalah pengangkatan sejumlah Hakim MK yang tidak transparan dan bertentangan dengan UU. Pada tahun 2013 lalu, Koalisi Selamatkan MK melayangkan gugatan terhadap Keppres No 87/P Tahun 2013. Salah satunya bunyi Keppres berisikan pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi.
“Koalisi menuntut agar Keppres yang diterbitkan oleh Presiden SBY segera dicabut. Alasannya karena bertentangan dengan Pasal 15, 19 dan 20 Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011,” kata Demikian dikatakan Veri Junaidi, Direktur Kode Inisiatif dalam keterangannya kepada KedaiPena.Com, Jumat (27/1).
Dalam Peraturan Perundang-Undangan, yakni Pasal 15 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disebutkan tentang integritas, kepribadian adil, tidak tercela, dan mampu berlaku adil serta negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan
“Pelanggaran yang terjadi, karena tidak dipublikasikan, terhadap calon Hakim Konstitusi, sehingga mengakibatkan persyaratan di Pasal 15 tidak terpenuhi dengan baik,” kata dia.
Lalu pada Pasal 19 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tentang transparansi dan partisipatif. Pelanggaran yang terjadi adalah tidak dilaksanakannya transparansi dalam pemilihan calon hakim konstitusi oleh tergugat dan tidak terpenuhinya partisipasi masyarakat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan serta memberikan masukan kepada calon-calon hakim konstitusi yang akan diusulkan.
“Pada pasal 20 Ayat 2 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disebutkan tentang pemilihan hakim konstitusi wajib diselenggarakan secara objektif dan akuntabel. Pelanggaran yang terjadi, tidak terbukanya partisipasi publik dan transparansi menegasikan objektivitas dan akuntabilitas pencalonan hakim,” imbuhnya.
Kemudian pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Pelanggaran yang terjadi, pelanggaran terhadap azas tertib penyelenggaraan negara dan azas keterbukaan.
Masih kata dia, pada pasal 9 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Pelanggaran yang terjadi, melanggar hak amasyarakat untuk berperan serta mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara.
“Meskipun gugatan sempat dimenangkan pada PTUN tingkat pertama, namun upaya Koalisi akhirnya kandas pada tingkat kasasi,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh
Foto: Istimewa