INDUSTRI penyiaran sedang mengalami masa-masa genting pada saat ini menjelang pengesahan RUU Penyiaran 2017. Hal ini disebabkan polemik yang dimunculkan oleh Menkominfo yang berusaha mengenakan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Penyiaran (USO) yang dihitung dari Pendapatan Kotor LPS pertahun. Usulan ini muncul didasari dari fakta bahwa setoran PNBP LPS kepada negara dirasa masih sedikit bila dibandingkan dengan setoran PNBP dari industri telekomunikasi. Hal ini merupakan sebuah perbandingan yang blunder dan memunculkan pemahaman yang salah karena Menkominfo mengabaikan nature dan perbedaan-perbedaan mendasar pada kedua industri tersebut.
Masalah lain yang menjadi sumber perdebatan dalam RUU Penyiaran 2017 terkait penetapan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) menjadi penyelenggara tunggal penyiaran multipleksing digital atau lebih dikenal dengan Single Mux. Pemerintah dan DPR harus benar-benar menaruh telinga dan perhatiannya pada masyarakat dan pemain dalam industri Penyiaran bila ingin merumuskan dan memutuskan aturan baru terkait industri tersebut. Hal ini untuk mencegah mati nya iklim kompetisi pada industri Penyiaran kelak.
Terdapat resiko-resiko yang harus ditanggung oleh semua pihak, baik itu LPS, Pemerintah dan masyarakat bila kelak RUU Penyiaran disahkan dan menetapkan LPP RTRI menjadi multiplekser tunggal, di antaranya:
1. Bertentangan dengan semangat Demokrasi yang dijunjung tinggi di negara ini, seperti yang dinyatakan dalam Huruf b Poin Menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyebutkan, “bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasa yang wajar;â€
2. Merusak iklim kompetisi dan persaingan usaha yang sehat dan wajar serta bertentangan dengan tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang dengan jelas dinyatakan dalam poin Menimbang huruf c yang menyatakan sebagai berikut, “bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional;â€
3. RUU Penyiaran 2017 tidak sejalan dengan Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, di antaranya:
– Pasal 2, yang berbunyi sebagai berikut, “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.â€
– Pasal 3, yang berbunyi, “Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
– Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), yang berbunyi:
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Melihat pada isi Pasal-pasal yang disebutkan diatas dihubungkan dengan RUU Penyiaran yang akan menetapkan LPP RTRI sebagai Multiplexer Tunggal tentu sudah jelas tidak sesuai dengan semangat UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pemerintah dalam hal ini Menkominfo tidak memperhatikan betul keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum. Penetapan LPP RTRI menjadi Multiplexer Tunggal juga akan berakibat pada menurunnya iklim usaha yang kondusif serta jaminan kepastian dan kesempatan berusaha tidak ada karena sudah terjadi praktek monopoli oleh LPP RTRI melalui RUU Penyiaran ini.
4. Kebebasan LPS untuk berinovasi dan berkreasi menjaditerbatas dikarenakan harus menyesuaikan dengan stadard yang nantinya ditetapkan oleh LPP RTRI. Hal ini menjadi salah satu faktor yang akan menurunkan iklim persaingan yang sehat serta lambat laun akan mendorong kearah penguasaan LPS melalui standard yang ditetapkan sehingga media menjadi terkekang secara tidak langsung;
5. Bilamana dalam industri Penyiaran menerapkan Single Mux, artinya Pemerintah mengabaikan infrastruktur-infrastruktur eksisting yang sudah dibangun oleh LPS yang akan menjadi mubazir dan akhirnya merugikan LPS karena harus tetap merawat dan melakukan maintenance serta akan terjadi pengurangan tenaga kerja transmisi pada LPS karena pekerjaannya sudah diambil alih oleh LPP RTRI.
Poin-poin mendasar seperti ini terlihat tidak menarik dan terlihat diabaikan dalam penyusunan RUU Penyiaran 2017, akibatnya dibebankan kepada LPS dan Menkominfo terlihat lepas tangan atas dampak yang muncul nantinya.
Pemerintah melalui Menkominfo seharusnya menjadi pihak yang menjamin tumbuhnya iklim kompetisi yang sehat dalam industri Penyiaran, namun malah menjadi pihak yang berusaha merusak iklim kompetisi dan mengabaikan prinsip demokrasi dalam industri Penyiaran.
Dalam hal industri Penyiaran masih lebih sedikit memberikan kontribusi PNBP kepada negara, hal ini harus dipahami bahwa pemain dalam industri Penyiaran lebih dari 1000 stasiun TV dan hanya mengandalkan pemasukan dari iklan saja, sedangkan karakter layanan mereka adalah Free To Air atau Cuma-Cuma.
Berbeda dengan industri Telekomunikasi, yang jumlah pemainnya hanya 7 operator dan karakter layanannya adalah subscription payment basis atau konsumen membayar untuk mendapatkan konten atau layanannya.
Pemahaman yang tidak komprehensif serta tidak mempertimbangkan aspek persaingan usaha dan semangat demokrasi tentu akan menghasilkan regulasi yang tidak tepat bahkan menghancurkan industri Penyiaran.
Tugas negara adalah menjamin setiap orang bebas untuk berusaha dan menjalankan usahanya sehingga iklim kompetisi yang baik terbentuk dalam pengawasan pemerintah, bukan mengambil alih atau menguasai industri tersebut. Pemerintah harus menjaga agar tidak terjadi kebingungan dan ketidakpastian berinvestasi pada industri Penyiaran di negara ini, regulasi yang muncul nanti diharapkan mendorong tumbuh kembang industri Penyiaran dan menjadikan industri ini tetap dalam koridor iklim usaha yang sehat serta sesuai semangat demokrasi.
Menkominfo jangan mengabaikan kepentingan LPS demi ego sektoral dan hanya melihat kepentingan Pemerintah saja, padahal geliat industri Penyiaran mengharuskan adanya kerjasama yang baik antara LPS dan Pemerintah.
Oleh Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPMII) Kamilov Sagala