KedaiPena.Com- Kasus gagal bayar yang terjadi pada semua jenis perusahaan asuransi, mulai dari BUMN, mutual, maupun swasta-nasional terkait dengan tata kelola atau GCG [good corporate governance] yang tidak berjalan dengan baik. Masalah makin serius karena pengawasan internal lemah, demikian juga dengan pengawasan lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Demikian disampaikan anggota Komisi XI DPR RI Marwan Cik Asan di kantor DPR RI, Senayan, Jakarta (06-02-2023). Pandangan ini terkait rilis OJK bahwa ada setidaknya 13 perusahaan asuransi yang masuk dalam pengawasan khusus. Penyebabnya, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami kesulitan keuangan, baik karena rugi maupun nilai RBC (risk base capital) sudah berada di bawah 120% sebagai batas minimum.
“Rilis OJK ini menegaskan bahwa daftar panjang perusahaan asuransi yang bermasalah akan terus bertambah,”kata Marwan dalam keterangan tertulis, Kamis,(9/2/2023).
Sekretaris FPD itu meminta OJK sebagai lembaga negara yang diamanahkan UU untuk mengatur dan mengawasi seluruh sektor jasa keuangan melakukan reformasi industri keuangan non bank. Tentu, tujuannya agar industri ini berkembang dengan sehat, berkelanjutan dan mampu menerapkan tata kelola secara baik serta manajemen risiko yang efektif.
“OJK harus bekerja dalam konteks demikian. Ia bertanggungjawab memastikan lembaga-lembaga keuangan bekerja dengan adil, transparan, dan akuntabel,” tegas Marwan lagi.
Ditambahkan, OJK perlu mengembangkan sistem pengawasan berbasis deteksi dini (early warning sistem) untuk industri asuransi. Sebab jika tidak, akan selalu muncul masalah yang terlanjur besar dan merugikan banyak pihak.
“Cobalah berkaca dari kasus-kasus sebelumnya. Contohnya Jiwasraya dan Bumiputera. Itu kan sudah bermasalah sejak beberapa tahun sebelumnya, tapi dibiarkan berlarut-larut. Akhirnya terjadi gagal bayar dan mengorbankan masyarakat,”katanya.
Dalam penanganan perusahaan asuransi bermasalah, OJK harus mengedepankan perlindungan nasabah pemegang polis.
“Ini prinsip penting sih. Kedepankan perlindungan nasabah pemegang polis. Jangan sampai ketika gagal bayar, ribuan orang jadi korban dan penyelesaiannya terkatung-katung,”tutur legislator asal Lampung itu.
Menurut Marwan, kasus gagal bayar dan terlantarnya nasabah harusnya tidak terulang setelah OJK diberi kewenangan lebih sebagaimana diatur dalam UU No 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dalam undang-undang ini, OJK diberikan tambahan tugas dan kewenangan untuk penyidikan atas tindak pidana disektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK.
Sementara untuk mempersiapkan efektifnya program penjamin polis pada tahun 2028 oleh LPS, OJK perlu memperkuat pengawasan market conduct dan upaya perlindungan konsumen. Jika tidak beban LPS akan menjadi berat dalam menjamin polis nasabah. Apalagi jika mencermati isi pasal 85 ayat (2) UU P2SK yang memungkinkan LPS menggunakan pembayaran premi sektor perbankan untuk membayar penjaminan sektor asuransi. Kondisi ini tentu tidak adil bagi sektor perbankan yang telah mengumpulkan premi puluhan tahun namun digunakan untuk pembayaran jaminan polis nasabah asuransi yang gagal bayar.
“Dan agar penjaminan polis efektif, LPS perlu mempersiapkan cakupan program penjaminan, limit program penjaminan, pendanaan program penjaminan, mitigasi kemungkinan terjadinya moral hazard dan mekanisme penanganan perusahaan asuransi yang gagal,” urai Marwan lagi.
Beberapa waktu lalu publik dikagetkan dengan skandal gagal bayar asuransi Jiwasraya mencapai 16,8 triliun, dilanjutkan dengan kasus gagal bayar Kresna Life, Wanaarta, dan Bumiputera. Karena itulah, tambah Marwan, kasus-kasus ini harusnya tidak terulang. Tanpa keinginan kuat untuk mengevaluasi kegagalan, perkembangan industri asuransi yang pada tahun 2021 telah memiliki aset mencapai Rp.850 triliun akan kembali terpuruk dan mengorbankan masyarakat sebagai pemegang polis asuransi.
“Saya bicara berdasarkan data ya. BPK pada semester II 2021 juga sudah bilang bahwa salah satu masalahnya adalah pengawasan yang lemah. Karena pengawasan lemah, maka tidak ada pencegahan atau antisipasi. Masalah terus menumpuk dan akhirnya benar-benar kacau, merugikan nasabah,” tutup Marwan.